SEKILAS KOTA PATI Jawa Tengah


Kabupaten Pati, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah Pati. Kabupaten ini berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Kabupaten Rembang di timur, Kabupaten Blora dan Kabupaten Grobogan di selatan, serta Kabupaten Kudus dan Kabupaten Jepara di barat.
Sejarah Pati
Sejarah Kabupaten Pati berpangkal tolak dari beberapa gambar yang terdapat pada Lambang Daerah Kabupaten Pati yang sudah disahkan dalam Peraturan Daerah No. 1 Tahun 1971 yaitu Gambar yang berupa: "keris rambut pinutung dan kuluk kanigara".
Menurut cerita rakyat dari mulut ke mulut yang terdapat juga pada kitab Babat Pati dan kitab Babat lainnya dua pusaka yaitu "keris rambut pinutung dan kuluk kani" merupakan lambang kekuasan dan kekuatan yang juga merupakan simbul kesatuan dan persatuan.
Barangsiapa yang memiliki dua pusaka tersebut, akan mampu menguasai dan berkuasa memerintah di Pulau Jawa.
Adapun yang memiliki dua pusaka tersebut adalah Raden Sukmayana penggede Majasemi andalan Kadipaten Carangsoka.
Kevakuman Pemerintahan di Pulau Jawa
Menjelang akhir abad ke XIII sekitar tahun 1292 Masehi di Pulau Jawa vakum penguasa pemerintahan yang berwibawa. Kerajaan Pajajaran mulai runtuh, Kerajaan Singasari surut, sedang Kerajaan Majapahit belum berdiri.
Di Pantai utara Pulau Jawa Tengah sekitar Gunung Muria bagian Timur muncul penguasa lokal yang mengangkat dirinya sebagai adipati, wilayah kekuasaannya disebut kadipaten.
Ada dua penguasa lokal di wilayah itu yaitu.
1. Penguasa Kadipaten Paranggaruda, Adipatinya bernama Yudhapati, wilayah kekuasaannya meliputi sungai Juwana ke selatan, sampai pegunungan Gamping Utara berbatasan dengan wilayah Kabupaten Grobogan. Mempunyai putra bernama Raden Jasari.
2. Penguasa Kadipaten Carangsoka, Adipatinya bernama: Puspa Andungjaya, wilayah kekuasaannya meliputi utara sungai Juwana sampai pantai Utara Jawa Tengah bagian timur. Adipati Carangsoka mempunyai seorang putri bernama Rara Rayungwulan
Kadipaten Carangsoka dan Paranggaruda akan Berbesanan
Kedua Kadipaten tersebut hidup rukun dan damai, saling menghormati dan saling menghargai untuk melestarikan kerukunan dan memperkuat tali persaudaraan, Kedua adipati tersebut bersepakat untuk mengawinkan putra dan putrinya itu. Utusan Adipati Paranggaruda untuk meminang Rara Rayungwulan telah diterima, namun calon mempelai putri minta bebana agar pada saat pahargyan boja wiwaha daup (resepsi) dimeriahkan dengan pagelaran wayang dengan dalang kondang yang bernama "Sapanyana".
Untuk memenuhi bebana itu, Adipati Paranggaruda menugaskan penggede kemaguhan bernama Yuyurumpung agul-agul Paranggaruda. Sebelum melaksanakan tugasnya, lebih dulu Yuyurumpung berniat melumpuhkan kewibawaan Kadipaten Carangsoka dengan cara menguasai dua pusaka milik Sukmayana di Majasemi. Dengan bantuan uSondong Majerukn kedua pusaka itu dapat dicurinya namun sebelum dua pusaka itu diserahkan kepada Yuyurumpung, dapat direbut kembali oleh Sondong Makerti dari Wedari. Bahkan Sondong Majeruk tewas dalam perkelahian dengan Sondong Makerti. Dan Pusaka itu diserahkan kembali kepada Raden Sukmayana. Usaha Yuyurumpung untuk menguasai dan memiliki dua pusaka itu gagal.
Walaupun demikian Yuyurumpung tetap melanjutkan tugasnya untuk mencari Dalang Sapanyana agar perkimpoian putra Adipati Paranggaruda tidak mangalami kegagalan (berhasil dengan baik).
Pada Malam pahargyan bojana wiwaha (resepsi) perkawinan dapat diselenggarakan di Kadipaten Carangsoka dengan Pagelaran Wayang Kulit oleh Ki Dalang Sapanyana. Di luar dugaan pahargyan baru saja dimulai, tiba-tiba mempelai putri meninggalkan kursi pelaminan menuju ke panggung dan seterusnya melarikan diri bersama Dalang Sapanyana. Pahargyan perkimpoian antara " Raden Jasari " dan " Rara Rayungwulan " gagal total.
Adipati Yudhapati merasa dipermalukan, emosi tak dapat dikendalikan lagi. Sekaligus menyatakan permusuhan terhadap Adipati Carangsoka. Dan peperangan tidak dapat dielakkan. Raden Sukmayana dari Kadipaten Carangsoka mempimpin prajurit Carangsoka, mengalami luka parah dan kemudian wafat. Raden Kembangjaya (adik kandung Raden Sukmayana) meneruskan peperangan. Dengan dibantu oleh Dalang Sapanyana, dan yang menggunakan kedua pusaka itu dapat menghancurkan prajurit Paranggaruda.
Adipati Paranggaruda, Yudhapati dan putera lelakinya gugur dalam palagan membela kehormatan dan gengsinya.
Karena jasanya Raden Kembangjaya diangkat menjadi pengganti Carangsoka. Sedang dalang Sapanyana diangkat menjadi patihnya dengan nama " Singasari ".
Kadipaten Pesantenan
Untuk mengatur pemerintahan yang semakin luas wilayahnya ke bagian selatan, Adipati Raden Kembangjaya memindahkan pusat pemerintahannya dari Carangsoka ke Desa Kemiri dengan mengganti nama " Kadipaten Pesantenan dengan gelar " Adipati Jayakusuma di Pesantenan.
Adipati Jayakusuma hanya mempunyai seorang putra tunggal yaitu " Raden Tambra ". Setelah ayahnya wafat, Raden Tambra diangkat menjadi Adipati Pesantenan, dengan gelar " Adipati Tambranegara ". Dalam menjalankan tugas pemerintahan Adipati Tambranegara bertindak arif dan bijaksana. Menjadi songsong agung yang sangat memperhatikan nasib rakyatnya, serta menjadi pengayom bagi hamba sahayanya. Kehidupan rakyatnya penuh dengan kerukunan, kedamaian, ketenangan dan kesejahteraannya semakin meningkat.
Kabupaten Pati
Untuk dapat mengembangkan pembangunan dan memajukan pemerintahan di wilayahnya Adipati Raden Tambranegara memindahkan pusat pemerintahan Kadipaten Pesantenan yang semula berada di desa Kemiri menuju ke arah barat yaitu, di desa Kaborongan, dan mengganti nama Kadipaten Pesantenan menjadi Kadipaten Pati.
Dalam prasasti Tuhannaru, yang diketemukan di desa Sidateka, wilayah Kabupaten Majakerta yang tersimpan di musium Trowulan. Prasasti itu terdapat pada delapan Lempengan Baja, dan bertuliskan huruf Jawa kuna. Pada lempengan yang keempat antara lain berbunyi bahwa : ..... Raja Majapahit, Raden Jayanegara menambah gelarnya dengan Abhiseka Wiralanda Gopala pada tanggal 13 Desember 1323 M. Dengan patihnya yang setia dan berani bernama Dyah Malayuda dengan gelar "Rakai", Pada saat pengumuman itu bersamaan dengan pisuwanan agung yang dihadiri dari Kadipaten pantai utara Jawa Tengah bagian Timur termasuk Raden Tambranegara berada di dalamnya.
Pati Bagian dari Majapahit
Raja Jayanegara dari Majapahit mengakui wilayah kekuasaan para Adipati itu dengan memberi status sebagai tanah predikan, dengan syarat bahwa para Adipati itu setiap tahun harus menyerahkan Upeti berupa bunga.
Bahwa Adipati Raden Tambranegara juga hadir dalam pisuwanan agung di Majapahit itu terdapat juga dalam Kitab Babad Pati, yang disusun oleh K.M. Sosrosumarto dan S.Dibyasudira, diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1980. Halaman 34, Pupuh Dandanggula pada : 12 yang lengkapnya berbunyi : ..... Tan alami pajajaran kendhih, keratonnya ing tanah Jawa angalih Majapahite, ingkang jumeneng ratu, Brawijaya ingkang kapih kalih, ya Jaka Pekik wasta, putra Jaka Suruh, Kyai Ageng Pathi nama, Raden Tambranegara sumewa maring Keraton Majalengka.
Artinya Tidak lama kemudian Kerajaan Pajajaran kalah, Kerajaan Tanah Jawa lalu pindah ke Majapahit, adapun yang menjadi rajanya adalah Brawijaya II, yaitu Jaka Pekik namanya, putranya Jaka Suruh. Pada waktu itu Kyai Ageng Pati, yang bernama Tambranegara menghadap ke Majalengka, yaitu Majapahit.
Berdasarkan hal tersebut, jelaslah bahwa Raden Tambranegara Adipati Pati turut serta hadir dalam pisowanan agung di Majapahit. Pisowanan agung yang dihadiri oleh Raden Tambranegara ke Majapahit pada tanggal 13 Desember 1323, maka diperkirakan bahwa pindahnya Kadipaten Pesantenan dari Desa Kemiri ke Desa Kaborongan dan menjadi Kabupaten Pati itu pada bulan Juli dan Agustus 1323 M (Masehi). Ada tiga tanggal yang baik pada bulan Juli dan Agustus 1323 yaitu : 3 Juli, 7 Agustus dan 14 Agustus 1323.
Hari Jadi Pati
Kemudian diadakan seminar pada tanggal 28 September 1993 di Pendopo Kabupaten Pati yang dihadiri oleh para perwakilan lapisan masyarakat Kabupaten Pati, para guru sejarah SMA se Kabupaten Pati, Konsultan, Dosen Fakultas Sastra dan Sejarah UNDIP Semarang, secara musyawarah dan sepakat memutuskan bahwa pada tanggal 7 Agustus 1323 sebagai hari kepindahan Kadipaten Pesantenan di Desa Kemiri ke Desa Kaborongan menjadi Kabupaten Pati.
Tanggai 7 Agustus 1323 sebagai HARI JADI KABUPATEN PATI telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Pati Nomor : 2/1994 tanggal 31 Mei 1994, sehingga menjadi momentum Hari Jadi Kabupaten Pati dengan surya sengkala " KRIDANE PANEMBAH GEBYARING BUMI " yang bermakna " Dengan bekerja keras dan penuh do'a kita gali Bumi Pati untuk meningkatkan kesejahteraan lahiriah dan batiniah ". Untuk itu maka setiap tanggal 7 Agustus 1323 yang ditetapkan dan diperingati sebagai "Hari Jadi Kabupaten Pati".
Sumur Gumuling
Merupakan salah satu petilasan sejarah Kab. Pati yang terletak di RT 1/I Dk. Bantengan Ds. Trangkil Kab. Pati. Di lokasi ini merupakan peninggalan dari Raden Kembang Joyo yaitu berupa kebon semangka yang dijaga oleh 2 abdinya yaitu Ki Sabdopalon dan Noyogenggong. Di lokasi ini terdapat sumur yang dipakai untuk pengairan tanaman pada kebon tersebut. Sumur tersebut riwayatnya digunakan untuk ngaso Dalang Soponyono pada saat melarikan anak Adipati Carangsoko. Dalang Soponyono adalah dalang yang sangat terkenal pada saat itu terutama di kawasan Kadipaten Mojosemi/ Majoasem, Bantengan, Carangsoko, Pesantenan, Paranggarudo dan sekitarnya. Dalang Soponyono adalah adik dari Adipati Mojosemi. Dalam legenda tersebut Dalang Soponyono melarikan anak Adipati Carangsoko pada saat manggung di Kadipaten Carangsoko pada upacara pernikahan Putri Adipati Carangsoko dan Putra Adipati Paranggarudo. Dikarenakan Putra dari Kadipaten Paranggarudo tersebut buruk rupa dan cacat maka sang Putri Kadipaten Carangsoko enggan dijodohkan dengan Putra Pangeran tersebut, alkisah maka pada saat Dalang Soponyono manggung di pesta perkawinan tersebut Sang Putri jatuh hati dengan sang dalang, kemudian dengan membawa perasaan kecewanya atas perjodohan itu maka sang Putri rela melarikan diri dari pesta pernikahan tersebut. Pelarian tersebut dikisahkan dari Kadipaten Carangsoko ke arah utara, dan sampailah di Pedukuhan Bantengan,karena perjalanan yang cukup jauh maka haus dahaga dan lelah pun dirasa, maka Sang Putri dan Sang Dalang berhenti untuk beristirahat. Ditemuilah sebuah kebon semangka ada sumurnya, oleh Sang Dalang bermaksud mengambil air minum dari sumur tersebut. Namun ketika ditengok ternyata sumur tersebut tidak terdapat timba dan tali untuk mengambil airnya. Dengan melihat keadaan tersebut sang dalang dengan kesaktian yang dimilikinya dan atas izin Tuhan maka sumur tersebut digulingkan sehingga airnya dapat mengalir untuk diminum. Sulit dibayangkan bagaimana sumur yang berada di bumi digulingkan, percaya ato tidak itulah cerita yang beredar di kalangan masyarakat sekitar. Untuk saat ini terhadap sumur tersebut tidak dapat dilihat miring dengan posisi terguling sebagaimana yang dikisahkan.
by paad
Sumber :
1. Alm. Mbah Darmo;
2. Alm. Mbah Karto Djas;
3. Bupati Ketoprak Bpk. Sengor Hadiwijoyo;
4. dan masyarakat Pedukuhan Mbantengan tercinta.
Legenda Sendang Sani di Pati
Desa Sani tidak begitu dikenal oleh masyarakat kebanyakan. Walaupun begitu Desa Sani mempunyai kenangan tersendiri yang tidak mudah dilupakan oleh penduduknya. Desa Sani sebenarnya berasal dari sebuah sendang yang ditempati oleh seekor bulus, penjelmaan dari seorang abdi Sunan Bonang.
Pada Zaman dahulu, khususnya di Jawa, banyak berdiri kerajaan-kerajaan Islam. Khususnya kerajaan Demak yang didirikan oleh Raden Patah. Di Demak terkenallah para wali yang giat menyebarkan agama islam. Para Wali itu berjumlah sembilan orang dengan sebutan “Wali Songo”. Di antara kesembilan wali itu terdapatlah seorang wali bernama Sunan Bonang. Pada suatu hari Sunan Bonang akan pergi ke Gunung Muria untuk menjumpai Sunan Muria. Beliau ditemani oleh dua orang abdinya. Di tengah perjalanan beliau merasa haus dan kegerahan karena matahari yang begitu teriknya bersinar. Kemudian beliau menyuruh salah seorang abdinya mencari air untuk minum dan wudlu.
Abdi tersebut diberi petunjuk oleh Sunan Bonang untuk mencari sumber air di bawah sebuah pohon rindang. Untuk memudahkan pekerjaan, Sunan Bonang membekali abdinya dengan sebuah tongkat sakti untuk ditancapkan di bawah pohon tersebut. Maka dalam waktu yang tidak terlalu lama, abdi itu pun berhasil menemukan pohon rindang seperti yang diinginkan oleh Sunan Bonang. Dengan segera ditancapkannya tongkat sakti ke tanah. Dan ajaib! Dari tempat itu keluarlah air yang memancar terus-menerus. Maka dalam waktu yang singkat tempat itu telah menjadi sebuah sendang. Karena gembiranya lupalah ia akan pesan Sunan Bonang. Ia segera turun ke sendang untuk minum dan mandi , menghilangkan dahaga dan kegerahannya.
Karena dirasa abdinya tak junjung kembali, maka Sunan Bonang memutuskan untuk mencarinya. Setelah mencarinya kesana kemari, akhirnya ditemukan juga abdinya itu. Betapa terkejutnya Sunan Bonang ketika melihat abdinya sedang asyik mandi. Maka dengan segera ditegurnyalah abdi itu. Dikutuknya abdi itu, “Lho kamu saya suruh, tidak membawa air, malah mandi seperti Bulus”. Maka dalam sekejap saja abdi Suanan Bonang berubah menjadi seekor bulus. Ketika bulus bercermin di air sendang, menangislah ia melihat bentuk tubuhnya dari manusia menjadi seekor bulus. Ia minta maaf kepada Sunan Bonang, tetapi perkataan atau kutukan tidak mungkin ditarik kembali. Tidak mungkin sudah meludah dijilat balik, demikian pepatah mengatakan. Abdi Sunan Bonang yang telah menjadi bulus tidak diperkenankan ikut menuntaskan perjalanan ke Gunung Muria. Ia disuruh tinggal di sendang untuk menjaga sendang tersebut.
Sunan Bonang berujar, “Aku namakan sendang ini Sendang Sani dan kelak tempat ini akan diberi nama desa Sani”. Setelah berujar demikian maka Sunan Bonang pun kembali menuntaskan perjalanan bersama abdinya yang seorang lagi. Beliau melanjutkan perjalanan ke Gunung Muria untuk berunding dengan Sunan Muria mengenai masalah keagamaan. Demikian sekelumit cerita tentang asal-usul desa Sani. Tentang kebenarannya belum diketahui secara pasti. Sampai sekarang Sendang itu masih tetap asri seperti dulu.
Untuk menghormati penghuni sendang tersebut, maka oleh masyarakat dibuatkanlah suatu tempat khusus. Konon, barang siapa yang berani mengganggu tempat tinggal bulus tersebut, maka orang yang mengganggunya akan jatuh sakit. Dari cerita di atas hendaknya kita dapat mengambil hikmah. Bahwa apabila kita mendapat suatu kepercayaan untuk melaksanakan suatu pekerjaan hendaknya kita laksanakan sebaik-baiknya dan dengan penuh rasa tanggung jawab. Pepatah mengatakan “Sekali Lancang, seumur hidup orang tak akan percaya”. Sekali orang melakukan kesalahan atau berdusta orang tidak akan mempercayainya lagi.
Legenda Punden Kemiri di Kota PATI
Punden Kemiri merupakan tempat keramat peninggalan nenek moyang. Kemampuannya tidak hanya sebatas mampu memberi petunjuk gaib. Di lokasi yang sama terdapat gentong kemiri berisi air. Konon air tersebut dapat berubah-ubah menurut penglihatan masing-masing peziarah. Air tersebut tentu saja menyimpan banyak khasiat. Kadangkala air di dalam gentong di punden Kemiri terlihat penuh, sementara pada saat yang sama pengunjung lainnya melihat air yang mulai menyusut. Pemandangan yang berubah-ubah itu semakin menyakinkan para peziarah. Ketika mereka mulai memasuki kawasan punden yang berada di Desa Kemiri, Kecamatan Pati Kota, Kabupaten Pati ini merasakan adanya hawa mistis yang meresap dalam sukma.“Tinggi rendahnya air itu menjelaskan takaran rezeki seseorang,” terang juru kunci Punden Kemiri, Mbah Ahmad. Air dari dalam gentong juga diyakini dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Asal usul Kabupaten Pati Keberadaan punden Kemiri sebagai tempat wingit memang sudah lama diyakini warga. Konon menurut cerita sejarah sebelum berdirinya kota Pati yang dipimpin oleh Bupati Tombronegoro, pusat kekuasaan Pati masih berada di Desa Kemiri. Pada saat itu kerajaan berbentuk perdikan masih bernama Pesantenan dengan raja bernama Raden Kembangjoyo. Kata Pati dan Pesantenan sendiri diambil dari nama bahan baku dawet Ki Onggo, penjual dawet kepada Raden Kembangjoyo. Setelah peralihan kekuasaan dari Kembangjoyo ke tangan Tombronegoro, lokasi pemerintahan dipindah dari Desa Kemiri ke Desa Kauman dengan nama daerah menjadi Pati. Meski telah berpindah sebagai pusat kekuasaan namun Desa Kemiri yang juga menjadi tempat makam Eyang Kembangjoyo masih diyakini sebagai tempat bersejarah yang menyimpan wingit.Selain makam eyang Kembangjoyo di lokasi yang sama terdapat gentong Kemiri milik Ki Onggo yang juga menjadi tempat menyimpan keris Rambut Pinutung dan Kuluk Kanigoro. Menjadi tempat laku paranormal keberadaan punden Kemiri sebagai tempat wingit memang diakui oleh kalangan paranormal/spiritualis. Paranormal kondang asal Pati, Mbah Roso mengungkapkan adanya kerajaan ‘gaib’ yang berdiri ditengah pohon beringin belakang aula. Konon sebelum aula digeser beberapa meter ke depan, pohon yang menjadi simbol pusat kekuasaan kadipaten Pati berada tepat di titik tengah aula. “Di tempat itu pula, kekuasaan raja gaib di wilayah Pati bersemayam,” tuturnya. Meskipun telah berpindah lokasi, namun kekuasaan kerajaan gaib masih bertempat di lokasi tersebut. Selain itu seluruh pengikut eyang Kembangjoyo baik dari kalangan jin maupun manusia tetap setia menunggui makam pemimpinnya hingga meninggal dunia. “Itu makanya tempat itu dikenal sangat keramat,” tambahnya..Kekeramatan punden Kemiri ternyata tidak hanya menjadi tempat ‘jujugan’ bagi masyarakat awam. Beberapa kalangan ‘berilmu’ konon sering mengasah keparanormalannya di punden Kemiri. Tidak hanya dari wilayah Pati dan sekitarnya, paranormal dari daerah Jawa Barat seperti Banten dan Serang diketahui juga sering melakukan tirakat di punden Kemiri. Mereka berkeyakinan bahwa Raden Kembangjoyo adalah salah satu bangsawan di tanah Jawa yang merupakan keturunan dari raja-raja di Jawa. “Khadam kesaktiannya itulah yang ingin diwariskan,” tandas Mbah Roso. (mus/*) SUMBER : MISTERI ONLINE
Prabu Angling Dharma Ada di Pati ?????? Bukannya di Bojonegara...
Siapa yang tak tahu sosok Angling Dharma? Beliau adalah seorang tokoh legenda dalam tradisi Jawa, yang dianggap sebagai titisan Batara Wisnu. Apalagi sejak film Angling Dharma ditayangkan di salah satu televisi swasta, Indosiar. Masyarakat luas menjadi lebih kenal beliau sebagai sosok raja di kerajaan Mlowopati. Salah satu keistimewaan beliau adalah kemampuannya untuk mengetahui bahasa segala jenis binatang. Selain itu, ia juga disebut sebagai keturunan Arjuna, seorang tokoh utama dalam kisah Mahabharata. Beliau bersama patihnya, Batik Madrim mampu menjadikan Mlowopati menjadi besar dengan memenangi beberapa peperangan penting.
Selain itu beliau juga dikenal sebagai seorang raja yang arif dan bijaksana juga tersohor bisa menundukan bangsa jin.Tersohor juga dengan berbagai macam benda pusaka peninggalanya seperti : Keris Polang Geni, Panah Pasopati, dan lain sebagainya.
Akan tetapi siapa yang tahu bahwa makam dan beberapa peninggalan penting dari Prabu Angling Dharmo berada di kota Pati Jawa Tengah, tepatnya di desa Mlawat (Mlowopati) kecamatan Sukolilo. Kalau dari desa saya, kira-kira berjarak 15 Km-an. Selain itu, di sana juga terdapat makam sang Patih, Batik Madrim. Terdapat juga gua yang sangat dalam yaitu gua Eyang Pikulun Naga Raja Guru Prabu Angling Darma juga tempat pemandian yang sampai sekarang masih di sakralkan oleh penduduk setempat. Dan desa Mlawat sampai sekarang masih menjadi salah satu objek wisata sebagai peninggalan bersejarah yang kerap dikunjungi wisatawan.
Tapi sungguh perihal ini, sepertinya sangat perlu diadakan penelitian lebih lanjut dan kemudian menjadi bagian kekayaan sejarah Indonesia karena semua tertuliskan dan didukung data-data yang valid. Selama ini tentang keberadaan makam Prabu Angling Dharma masih simpang siur karena hanya bersifat sejarah dari mulut ke mulut. Mungkin jika Anda adalah warga Bojonegoro akan menolak dengan keras dan bersikukuh mengatakan bahwa makam Prabu Angling Dharma berada di Bojonegoro. Jika tidak demikian, sebutan “Laskar Angling Dharma” sebagai warga Bojonegoro mungkin akan ditarik kembali.
Dari beberapa literatur yang saya baca, memang Prabu Angling Dharma pernah bersinggah di Bojonegoro saat mengalami masa hukuman dan kutukan menjadi burung Belibis. Beliau dihukum oleh Dewi Uma dan Dewi Ratih karena melanggar janji sendiri untuk tidak menikah lagi sebagai wujud cintanya kepada Dewi Setyowati yang mati bunuh diri. Dianggap melanggar janji saat Dewi Uma dan Dewi Ratih menguji keteguhan janji itu dengan cara menyamar menjadi nenek-nenek dan gadis cantik menyerupai Dewi Setyowati. Dan runtuhlahlah iman sang Prabu. Kemudian beliau dikutuk kedua kalinya oleh seorang putri raksasa yang cantik dan pemakan manusia sebagai burung Belibis. Dan pada perjalanan selanjutnya sampailah beliau di Wonosari, Bojonegoro dan kisah selanjutnya beliau memperistri Dewi Srenggono, Trusilo, dan Mayangkusuno dan kemudian mempunyai beberapa putra.
Dan hal terpenting yang perlu dicatat adalah sang Prabu pernah kembali ke kerajaan Mlowopati beserta istri dan putranya karena saat itu Mlowopati diserang Raja Raksana Pancadnyono. Dan atas kembalinya sang Raja Mlowopati, dimenangilah peperangan itu walaupun Batik Madrim dan pasukanya sempat kwalahan.
Akan tetapi belum diketahui secara pasti apakah sang Prabu menetap di Mlowopati sampai akhir hayat atau tidak. Sehingga sampai saat ini masih menjadi perdebatan yang panjang perihal letak makam Prabu Angling Dharma.
Selain di Bojonegro, tak sedikit yang menganggap bahwa makam Angling Dharma terdapat di tanah Sunda beserta kerajaanya. Dan lebih menarik lagi oleh beberapa orang juga disebutkan Angling Dharma pernah di Temanggung (lereng Gunung Sumbing), tepatnya di daerah Kedu, arah ke Parakan.
Ah, sepertinya memang sangat dibutuhkan penelitian untuk mengetahui kebenaran dari letak makam Prabu Angling Dharma beserta kerajaanya. Walaupun begitu, saya masih meyakini bahwa makam Prabu Angling Dharma berada di desa Mlawat, kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pat, Jateng. Selain memang di sana sudah menjadi tempat wisata yang bayak wisatawan berkunjung, di sana juga terdapat Sendang Nogorojo dan Sendang Nogogini (Nogogini adalah istri dari Naga Pertala, sahabat Angling Dharma).
Jika Anda suatu saat melewati Pati, cobalah bersinggah sebentar dan menengok makam di Sukolilo. Tentang kebenaranya, wallohua`lam. Semoga bermanfaat.
Ahmad Zahid
Penemuan Situs Kayen: Memaknai Kendeng Lebih Dalam
Pegunungan Kendeng Utara seakan tak pernah berhenti mengundang decak kagum banyak orang. Makam Gedong, Pertapaan Watu Payung, Makam Syeh Jangkung merupakan beberapa situs yang menjadi episentrum ketertarikan orang dari banyak tempat untuk mendatangi daerah ini. Legenda-legenda zaman pewayangan, seperti makam semar dan pertapaan Dewi Kunti di Watu Payung, berkait singgung dengan cerita-cerita para wali seperti Syeh Jangkung dan Sunan Geseng yang juga tertanam kuat di benak orang-orang Pati Selatan. Ternyata bukan warga yang ingin “ngalap berkah” dengan bertapa saja yang tertarik untuk datang tetapi juga investor besar seperti beberapa pabrik semen juga ingin “ngalap berkah” Pegunungan Kendeng Utara dengan rencana eksploitasi besarnya. Tulisan ini ingin mengajak pembaca untuk memaknai lebih jauh keberadaan pegunungan kapur yang terletak di perbatasan Kabupaten Pati dengan beberapa kabupaten seperti Blora, Grobogan dan Kudus ini.
Berawal dari hasil peninjauan yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta (Balar Yogyakarta) pada 4 Mei 2011 di Dusun Miyono (Mbuloh), Desa Kayen, Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati Jawa Tengah; tim yang dipimpin oleh dra. TM. Rita Istari dengan anggota Hery Priswanto, SS., Agni Sesaria Mochtar, SS., dan Ferry Bagus berhasil mengidentifikasikan beberapa temuan Benda Cagar Budaya (BCB). Di antaranya struktur bata yang masih intact, arca, serta beberapa artefak dari logam dan keramik. Kedatangan tim Balar Yogyakarta ini atas laporan dari warga sekitar Situs Kayen yang di wakili oleh Nur Rohmad (Pengurus Makam Ki Gede Miyono) dan Subono (Kepala Desa Kayen) mengenai tindak lanjut keberadaan Situs Kayen. Secara astronomis Situs Kayen terletak pada 111 derajat 00’ 17,0” BT 06 derajat 54’ 31.8” LS berada di dataran alluvial yang cukup datar dan Pegunungan Kendeng di Selatannya. Kondisi lingkungan Situs Kayen cukup subur dengan didukung keberadaan Sungai Sombron yang berhulu di Pegunungan Kendeng dan bermuara di Sungai Tanjang.
Penemuan Situs Kayen ini berawal dari rencana pembangunan mushola di sebelah barat makam Ki Gede Miyono. Warga disekitar makam tokoh yang dalam cerita ketoprak disebut sebagai musuh dari Syeh Jangkung atau Saridin ini merasa sangat terganggu karena hampir tiap malam lokasi makam yang terletak di tengah sawah ini digunakan untuk ajang perjudian.Warga berharap dengan dibangunnya mushola ini lokasi yang kerap didatangi peziarah ini akan menjadi aman. Saat melakukan penggalian warga menemukan bata-bata kuna yang berukuran besar yang kemudian dimanfaatkan untuk membangun makam Ki Gede Miyono yang sebelumnya hanya bernisankan sebuah batu. Temuan ini kemudian diteliti oleh BP3 Jawa Tengah yang kemudian diteliti kembali oleh Balai Arkeologi Yogyakarta.
Dari penelitian tersebut didapat beberapa temuan. Sebuah monumen berbahan bata kuna yang berukuran tebal 8-10 cm, lebar 23-24 cm dan panjang 39 cm masih utuh terpendam dalam tanah. Di sekitar bangunan ini juga ditemukan berapa komponen bagian candi seperti antefiks dan kemuncak sehingga terdapat kemungkinan bahwa bangunan ini adalah sebuah candi. Selain itu juga ditemukan artefak berbahan bata seperti wadah peripih, antefiks, kemuncak candi, bata candi berpelipit, dan bata tulis. Kemudian artefak berbahan batu putih seperti Arca Mahakala, Umpak dan kemuncak candi. Benda-bena lain yang berbahan logam dan keramik juga ditemukan seperti darpana, piring, mangkuk dan lampu gantung.
Berdasarkan hasil peninjauan Tim Balar Yogyakarta di Situs Kayen, diperoleh kesimpulan bahwa temuan BCB tersebut mempunyai nilai arkeologi dan kesejarahan yang cukup tinggi dalam kaitan penyusunan historiografi di Indonesia, terutama temuan struktur bata yang diduga sebagai candi ini merupakan temuan baru karena berada di wilayah Pantai Utara Jawa. Temuan candi berbahan bata sejenis banyak dijumpai di wilayah pedalaman Jawa seperti di poros Kedu – Prambanan dan Trowulan.
Walaupun masih harus dibuktikan keabsahannya secara “ilmiah’, narasi yang tertulis dalam buku “Sejarah Kawitane Wong Jawa lan Wong Kanung” memberikan gambaran awal tentang kondisi awal pulau Jawa sebelum menjadi yang sekarang ini. Dalam buku tipis berbahasa jawa yang mulai ditulis pada tahun 1931 itu digembarkan sebuah peta kuna yang menggambarkan beberapa gugusan pulau yang membentuk Jawa. dalam peta ini digambarkan sebuah pulau tanpa nama yang disitu terdapat Dieng, Gunung Merapi, Peunungan Sewu, Pegunungan Kendheng Kidul, hingga gunung Wilis. Di sebelah timur pulau besar tanpa nama ini, dengan dibatasi Bengawan Brantas, terdapat sebuah pulau bernama Jawa Pegon yang disitu terdapat Gunung Kamput, Gunung Kawi, Arjuna, Welirang dan Penanggungan. Dibagian utara pulau besar tanpa nama tersebut terdapat tiga pulau, yaitu Medunten di timur laut dan Jawa Purwa serta satu pulau tanpa nama yang lebih kecil tepat di sebelah utara.
Pada zaman ini terdapat dua Pegunungan Kendheng, Pegunungan Kendheng Selatan yang disebut Pegunungan Kendheng Tua dan Pegunungan Kendheng Utara yang disebut dengan sebutan Nusa Kendheng. Pegunungan Kendheng Selatan merupakan rangkaian dari Pegunungan Kabuh di Kabupaten Jombang dan membujur ke barat hingga Pegunungan Masaran Kabupatenn Sragen. Pegunungan Kendheng Selatan dulu berasal dari Pegunungan Watujago yang terbelah akibat gempa besar yang disertai meletusnya Gunung Lawu pada 9.000 tahun yang lalu. Letusan ii mengakibatkan terbentuknya lembah Ngawi yang sekarang ini menjadi jalur aliran Bengawan Solo. Sebelum terjadi gempa, Pegunungan Watujago telah dihuni oleh manusia yang masih telanjang dan berupa kera besar yang memakan hewan-hewan kecil dan buah-buahan yang bisa didapat dengan mudah di Pegunungan ini. Oleh orang lain yang lebih memiliki kebudayaan, orang-orang seperti ini disebut dengan “Wong Legena”, Gandaruwo atau “Monyet Limuri”. Pada waktu itu orang-orang ini belum berani tidur di goa karena masih dihuni oleh binatang buas. Mereka lebih memilih untuk tidur di celah-celah tebing atau dahan pohon yang tinggi.
Pegunungan Kendheng Utara (Nusa Kendheng) pada 5.000 tahun yang lalu, yang saat itu masih berupa pulau dengan tiga semenanjung, telah dihuni oleh “wong-suku Lingga” yang lebih maju daripada “Wong Legena” karena telah bisa membuat senjata dari batu yang diasah. Nusa Kendheng saat itu dikelilingi oleh teluk dan laut (segara). Di sebelah selatang terdapat Teluk Lodhan yang bersambungan dengan Segara Kening di sebelah Timur. Di sebelah selatan terdapat Segara selat Kendheng-Kidul dan Segara Teluk Lusi. Sedangkan di sebelah utara terdapat Teluk Juwana dan Samodra JAWA yang sangat luas. Di sebelah barat terdapat Segara teluk Serang yang bertemu dengan Segara Selat Murya yang memisahkan Nusa Kendheng dengan Gunung Murya yang saat itu masih berupa gunung berapi yang sangat besar. Deskripsi pulau Jawa pada masa-masa awal ini bisa menjadi sebuah petunjuk awal untuk terus melacak peninggalan-peninggalan bersejarah di Pegunungan Kendheng Utara.
Kini makam Ki Gede Miyono seakan tak pernah sepi dari peziarah. Ribuan peziarah, terutama pada hari minggu memadati lokasi ini untuk melihat penemuan candi yang ramai diberitakan. Warga sekitar makam pun mendapatkan keuntungan yang tidak sedikit dari penemuan ini dengan banyaknya pemasukan dari pungutan parkir sepeda motor atau mobil para peziarah. Salah satu bentuk nyata dari manfaat ekonomi yang diberikan oleh Pegunungan Kendeng Utara bagi warganya. Akan menjadi sebuah kerugian besar bagi catatan perdaban manusia jika pegunungan ini harus rusak oleh pandangan sempit pengusaha tambang dan para politisi yang melihatnya hanya sebagai gundukan batu yang menggiurkan untuk ditambang. Apakah pembaca juga akan memaknai Kendeng Utara sebagai sebuah area miskin layak tambang yang harus dikorbankan untuk menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tak jelas juntrungannya itu? Semoga tidak. (Sob)
Sumber: www.arkeologijawa.com dan catatan pribadi.
Kyai Saridin dan Ki Merogan
Anda kenal Saridin? Barangkali tidak. Tokoh yang satu ini memang tidak begitu populer dibandingkan pelaku-pelaku sejarah yang lain. Saya sendiri baru mendengar nama ini kemarin, ketika kebetulan bersua dengan orang yang menyimpan sedikit kisah tentangnya. Saya berdiam di Palembang, dan sebelumnya hidup agak lama di Jombang. Sesuatu yang nampak wajar untuk dipakai sebagai alasan ketidaktahuan perihal tokoh dari belahan tengah tanah jawa ini.
Sebagai sosok yang hidup pada masa “kejayaan” Walisongo, nama Saridin kerap kali (bahkan sama sekali) tidak muncul dalam literatur-literatur sejarah. Ya, sebagai sosok yang bahkan Anda bisa menemukan pesarean-nya di seputaran Kajen, Pati, dan yang terkenal dengan sebutan Syeikh Jangkung itu, sejarah ihwal Saridin terpacak dengan baik di benak dan mengalir dalam tutur masyarakat. Siapa Saridin? Lantas apa hubungannya dengan Palembang?
***
Seperti cerita-cerita tutur pada umumnya, obyektifitas legenda Saridin tidak atau belum bisa dipertanggungjawabkan. Bukan pada Saridin saja, sebetulnya, persoalan yang seperti ini dapat dirujuk. Kisah-kisah walisongo, dengan pelbagai bumbu mistik (keramat) yang ada di dalamnya, sesungguhnya diangkat dari cerita tutur. Ya, barangkali dulu, sejarah memang bukan dirawat dalam serat -meski tidak semuanya tak tertuliskan, tetapi ditularkan dari mulut ke mulut. Kendatipun demikian, tidak ada alasan tepat untuk tidak memercayai legenda. Terutama buat saya, penelitian obyektif terhadap sejarah hanyalah satu dari sekian metodologi untuk mengetahui keabsahan peristiwa di masa lampau (bukankah Al-Qur’an, bukankah Al-Hadits, mulanya juga ditularkan dari mulut ke mulut?). Menganggap legenda sebagai identik dengan tahayul, dan karena itu dianggap tak layak kutip, tidak lebih sebagai bentuk arogansi modernitas. Dan, dus, tak perlu menunggu bual-busa sejarawan, hanya untuk sekedar “menghidupkan” Saridin.
Tetapi ada satu masalah lagi. Bahwa cerita-cerita tutur, terutama yang tidak mendasarkan diri pada sistem klarifikasi riwayat secara ketat, laiknya hadits-hadits Nabi, menyimpan potensi bias yang amat besar. Alhasil, dalam sebuah legenda, acapkali terdapat pelbagai macam versi yang tertuturkan. Contoh yang paling bagus adalah legenda kontroversial perihal Syeikh Siti Jenar. Bagitupun cerita tentang Saridin. Kita bisa menjumpainya dalam banyak versi, umumnya memang terdiri dari beberapa fragmen kehidupan sang tokoh saja. Terkadang kita menemukan sepotong cerita, sementara kepingan yang lain tidak kita ketemukan jluntrungan-nya.
Berikut adalah legenda Saridin yang ditularkan secara tutur kepada saya. Saya tulis dengan agak telanjang, dalam arti tanpa melibatkan referensi-referensi yang saya baca belakangan.
***
Saridin murid Sunan Kalijaga. Ia sosok yang sakti mandraguna.
Suatu saat, tidak disebutkan musababnya, pemerintah kolonial menangkap sang Saridin. Ia dijebloskan ke dalam penjara. Barangkali para londho itu memang sudah mafhum, Saridin ini bukan orang biasa. Karenanyalah tugas-tugas Saridin di dalam sel pun dibedakan dari tahanan-tahanan yang lain. Saridin diperintahkan mengambil air dari sebuah sumur. Tetapi uniknya, bukan timba yang diberikan kepada Saridin. Sipir penjara memberinya keranjang. Sungguh aneh, menimba air dengan keranjang. Bagaimana mungkin air sumur bisa terangkat?
Barangkali sipir penjara hendak menjajal kedigdayaan Saridin. Dan benar saja, tak dinyana sebelumnya, Saridin berhasil mengangkat air sumur dengan keranjang tersebut.
Pada saat yang lain, Saridin menyumbarkan pernyataan, “di mana ada air di situ ada ikan”. Kontan hal itu menumbuhkan semangat para sipir untuk “menaklukkan” Saridin.
“Kalau memang ucapanmu betul, hai Saridin, tunjukkan buktinya pada kami”.
Pembuktian dilakukan. Maka semua tempat yang diduga mengandung air pun diperiksa. Kamar mandi, selokan, gentong minum, gelas, vas bunga. Semua penuh ikan.
Kini, saatnya siasat Belanda.
“Saridin!!!,” panggil sipir belanda.
“Iya tuan,” jawab Saridin.
“Kamu belum membuktikan semua. Bagaimana dengan buah kelapa itu? Terdapat air di dalamnya, bukan? Apakah ada ikan juga di sana?”.
“Benar tuan, ada ikan di sana”.
“Yang benar saja,” sergah kumpeni. “Bagaimana jika kita bertaruh? Kalau di dalam buah kelapa itu tidak ada ikan, kamu dihukum pancung?”.
“Boleh, tuan, silahkan buktikan sendiri”.
Buah kelapa dijatuhkan dari pohon. Dibelah. Dan, ikan itu melompat. Semua orang terdecak heran, tetapi sipir penjara terlanjur malu dan berang. Saridin diringkus. Ia tetap dikenai hukuman pancung.
Bukan Saridin jika ia tidak mampu melarikan diri. Konon, Saridin mampu melepaskan dirinya dari hukuman mati, dan lantas melarikan diri menuju laut. Dengan berbekal blarak (ranting pohon kelapa), Saridin mengarung laut sampai terdampar di Palembang.
Saridin berdiam untuk beberapa saat di Palembang. Di sini ia bersua dan bergumul dengan masyarakat setempat. Bahkan disebutkan, Saridin sempat menurunkan sebagian “ilmu”-nya kepada orang-orang tertentu di sana. Sebagai catatan, Saridin terdampar di sebuah tempat yang sekarang dibangun masjid Merogan (Muara Ogan) di tepian sungai musi (wilayah kecamatan Kertapati sekarang). Orang-orang yang sempat memperoleh berkah ilmu Saridin adalah salah satunya, dan terutama, Kyai Merogan (Ki Mgs. H. Abdul Hamid bin Mgs H. Mahmud alias K. Anang) yang di Palembang terkenal dengan karamah-karamah-nya.
***
Apa yang Anda pikirkan? Saya kira tidak akan terlalu jauh dari apa yang ada di benak saya. Ya, terdapat inkonsistensi dalam cerita yang saya tuliskan di atas. Salah satu inkonsistensi yang paling mencolok adalah urutan waktu.
Walisongo hidup pada masa pra penjajah. Beberapa diantaranya bahkan hidup pada masa pra kerajaan Islam Jawa (dalam hal ini kesultanan Demak). Sunan Ampel umpamanya, adalah guru dari Raden Fatah, orang yang kelak menjadi Sultan pertama Demak. Pada masa konsolidasi kekuasaan Demak itu, Sunan Ampel saya bayangkan sudah amat sepuh. Sunan Ampel, apalagi Maulana Maghribi, saya yakin tidak mencicipi rasa dijajah oleh kulit putih.
Saridin, seperti termaktub dalam cerita, adalah murid dari Sunan Kalijaga. Yang belakangan ini adalah murid dari Sunan Bonang, alias putera dari Sunan Ampel. Saya perkirakan, Sunan Kalijaga hidup pada pertengahan kekuasaan Demak. Kita masih amat ingat cerita perihal tiang masjid agung Demak yang beliau bikin dari tatal (serpihan kayu). Saya sangsi apakah sang Sunan ini masih hidup saat muridnya yang lain, si Jaka Tingkir, atau bahkan anak angkat Jaka bernama Panembahan Senopati itu “menghabisi” Demak.
Setahu saya, pada periode ini, Belanda belum datang. Paling jauh, mengutip Arus Balik Pramudya Ananta Toer, waktu itu (pada masa hidup Sunan Kalijaga dan murid-muridnya), Nusantara baru saja didatangi oleh penjajah Portugis dan Spanyol (bukan Belanda). Kalaupun pada saat itu mereka (Belanda) dimungkinkan sudah menginjak bumi ini, saya yakin mereka belum memiliki kekuasaan yang signifikan sehingga mereka mampu sewenang-wenang memenjarakan seseorang, seperti dalam kasus Saridin. Cerita pertama tentang kronik melawan Belanda, sejauh yang saya tahu, terjadi pada masa Sultan Agung, generasi ketiga kesultanan Mataram. Bisa dibilang pendiri pertama kesultanan Mataram Islam adalah cucu dari Sunan Kalijaga. Apakah mungkin Saridin memiliki kesaktian memanjangkan umur?
Tetapi mungkin saja si pencerita, entah karena tak tahu atau sebab alasan lain, tidak menganggap penting urutan kronologis. Pada umumnya, sebuah legenda lebih memerdulikan unsur pesan/amanat daripada ketepatan waktu. Hal terpenting yang saya dapat dari cerita tutur di atas adalah informasi bahwa ternyata Saridin ini pernah terdampar di Palembang.
Tetapi jika Saridin dihubung-hubungkan dengan Ki Merogan, lagi-lagi kita terbentur pada inkonsistensi kronologis. Ki Merogan adalah seorang yang bergelar Masagus (Mgs), satu dari beberapa titel keluarga kerajaan Kesultanan Palembang Darussalam. Kita tahu, jika betul bahwa Saridin termasuk murid dari Sunan Kalijaga, maka pada saat itu Kesultanan Palembang Darussalam belum lagi diproklamirkan (Pada masa kesultanan Demak, Palembang tak lebih dari “provinsi”. Ia baru memroklamirkan kemerdekaannya selang beberapa generasi Kesultanan Mataram).
Sebetulnya, menyikapi silang sengkarut seperti ini, saya punya analisa (yang mungkin saja “agak ngawur”) sebagai berikut:
Saridin memang terdampar di Palembang. Tetapi sebetulnya ia tak sendirian, atau sendirian sebab ia datang lebih belakangan. Pada saat itu, pada masa ketika kesultanan Demak diguncang konflik perebutan kekuasaan, beberapa anggota keluarga Demak memang disebutkan mengungsi ke Palembang. Keturunan dari orang-orang inilah yang kelak memproklamirkan Palembang Darussalam sebagai kesultanan independen, lepas dari Mataram.
Saridin barangkali tidak menetap lebih lama, oleh sebab itu ia kembali lagi ke tanah jawa. Tetapi sebelum itu, saya menduga, ia meninggalkan sekelumit “ilmu”-nya di tanah Sriwijaya ini. Ini tidak mengherankan, sebab seturut legenda, beberapa peninggalan Saridin, seperti Lulang Kebo Landoh masih menyimpan keramat bahkan ketika tuannya sudah meninggal. Kulit kerbau inilah yang menjadi sasaran perburuan para kolektor, sebab konon dengan kulit tersebut seseorang bisa kebal senjata.
Lantas bagaimana hubungan Saridin dengan Ki Merogan?
Ki Merogan merupakan keturunan, atau setidak-tidaknya murid, dari orang-orang yang pernah berguru pada Saridin (Keturunan ke berapa atau murid angkatan ke berapa, saya kurang jelas betul). Karamah-karamah Ki Merogan yang amat terkenal di Palembang, adalah satu dari beberapa ajaran yang diwariskan dari Saridin. Masalahnya adalah apa yang diajarkan Saridin? Saya yakin bukan “ilmu-ilmu hikmah” seperti yang banyak diperagakan dalam dunia persilatan dan atau medan perdebusan.
***
Bisa saja Anda tidak setuju dengan pandangan saya. Sah-sah saja. Tetapi yang membuat saya tak habis pikir adalah cerita tutur yang saya terima itu memang diniatkan oleh si pencerita untuk menunjukkan adanya “missing link” yang menghubungkan peradaban Jawa dan Sumatera, dalam hal ini geneologi intelektual. Perlu pendalaman yang lebih intens lagi untuk menggali subyek kajian yang satu ini. Kita tahu, dari Palembang juga lahir ulama-ulama hebat sekaliber Syeikh Abdus Shamad Al-Falimbani, Kemas Fahruddin, dan lain-lain. Dengan adanya kajian yang lebih jauh, saya pikir kita pada akhirnya bisa menjelaskan mengapa umpamanya, pola keberagamaan masyarakat Palembang Modern terasa lebih “kering”? Bisa jadi karena kami memang telah kehilangan Saridin?
Nyai Ageng Ngerang
Nyai Ageng Ngerang adalah Waliyullah dan Ulama wanita yang menyebarkan agama islam di wilayah Juwana Pati,Muria dan daerah Lereng Pegunungan Kendeng dan dimakamkan di Pedukuhan Ngerang Desa Tambakromo Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati Jawa Tengah Makamnya dari kota Pati ke arah Selatan sekitar 18 km.Nyai Ageng Ngerang nama kecilnya bernama Dewi Roro Kasihan [1] dan nama lainnya yakni Nyai Siti Rohmah.Beliau lebih dikenal masyarakat dengan sebutan dan gelar Nyai Ageng Ngerang karena bersuamikan Ki Ageng Ngerang I yang mempunyai wilayah kekuasaan di Ngerang Juwana.Nyai Ageng Ngerang merupakan salahsatu keturunan Bangsawan Kerajaan Majapahit,Prabu Kertabumi (Brawijaya V) dan mempunyai nasab sampai dengan Nabi Muhammad SAW generasi ke 25 dari keluarga Bani Allawi Hadramaut.Nyai Ageng Ngerang seorang waliyullah yang mumpuni dan diberi karomah Allah SWT yang luarbiasa.Karomah dan Berkahnya sampai sekarang masih dirasakan oleh masyarakat Pati Selatan dan Para Peziarah makam Waliyullah Nyai Ageng Ngerang.Nyai Ageng Ngerang merupakan Leluhur atau Pepunden Pati,Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.Nyai Ageng Ngerang diperkirakan hidup pada abad ke XV,masa hidup beliau sangat panjang.Menurut beberapa catatan Babat Tanah Jawi,Serat Centhini dan berbagai sumber buku dan juga dari Keraton Surakarta Hadiningrat berikut silsilah Nyai Ageng Ngerang :
Nama Asli Beliau:Dewi Roro Kasihan
Nama lain Beliau:Nyai Siti Rohmah
Nama Populer dimasyarakat:Nyai Ageng Ngerang
Gelar:Waliyullah Nyai Ageng Ngerang
Suami Beliau: Ki Ageng Ngerang I,Salahsatu Putra Sunan Maulana Malik ibrahim al magribi
Ayah Beliau:Raden Bondan Kejawan atau Aryo Lembu Peteng atau Ki Ageng Tarub II.
Ibu Beliau :Dewi Retno Nawangsih
Kakek Nenek: Prabu kertabumi Brawijaya V dan Putri Wandan kuning
Kakek nenek:Ki Ageng Tarub atau Joko Tarub dan Dewi Nawang Wulan,seorang bidadari kahyangan.
Saudara Kandung: Ki Ageng Wonosobo dan Ki ageng Getas Pendowo
Keturunan Nyai Ageng Ngerang sebagai berikut:
1.Nyi Ageng Ngerang II atau Nyi ageng Selo II
Putri Nyai ageng Ngerang ini menikah dengan Ki Ageng Selo[2],seorang legendaris yang mempunyai karomah dapat menangkap petir. Ki Ageng Selo adalah Keponakan dan sekaligus menantu Nyai Ageng Ngerang.
2.Ki Ageng Ngerang II Putra Nyai Ageng Ngerang ini mempunyai putra yakni;Ki ageng Ngerang III,Ki Ageng Ngerang IV dan Pangeran Kalijenar.
2.1 Ki Ageng Ngerang III Ki Ageng Ngerang III menikah dengan Raden Ayu Panengah atau Nyi Ageng Ngerang III[3] salahsatu putri Sunan Kalijaga.dan mempunyai Putra yang bernama Ki Ageng Penjawi yang juga disebut Ki Ageng Pati kaena mendapat hadiah dari Raja Pajang yakni tanah Perdikan yang sudah berbentuk wilayah yang sudah ramai.
2.2 Ki Ageng Penjawi[4] mempunyai Putra yakni Waskita Jawi yang menjadi permaisuri Panembahan Senopati Sutawijaya yang bergelar Ratu Mas.dan yang satu lagi bernama Wasis JoyoKusumo yang bergelar Adipati Pragola Pati.
2.2.19 Sunan Pakubuwono XIII dan Sultan Hamengkubuwono X adalah Keturunan Nyai Ageng Ngerang generasi ke 19.

3 komentar:

  1. Terimakasih atas postingannya, saya selaku warga pati merasa tersanjung.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Beberapa kalimat seperti mengutip Mbah Nun

    BalasHapus

SEJARAH CANDI BOROBUDUR

sesuai kajian Islam VERSI KH FAHMI BASYA. Menurut sebuah penelitian oleh Pak KH Fahmi Basya memperoleh kesimpulan bahwa kisah nabi...