Sejarah Kabupaten Nganjuk


Dari berbagai sumber sejarah diketahui bahwa, disekitar tahun 929 M, di Nganjuk, tepatnya di Desa Candirejo Kecamatan Loceret, telah terjadi pertempuran hebat antara prajurit Pu Sendok, yang pada waktu itu bergelar Mahamantri I Hino (Panglima Perang) melawan bala tentara Kerajaan Melayu/Sriwijaya.
Sebelumnya pada setiap pertempuran, mulai dari pesisir Jawa sebelah barat hingga Jawa Tengah kemenangan senantiasa ada dipihak bala tentara Melayu. Kemudian pada pertempuran berikutnya, di daerah Nganjuk, bala prajurit Pu Sendok memperoleh kemenangan yang gilang gemilang. Kemenangan ini tidak lain karena Pu Sendok mendapat dukungan penuh dari rakyat desa-desa sekitarnya. Berkat keberhasilan dalam pertempuran tersebut, Pu Sendok dinobatkan menjadi Raja dengan gelar Sri Maharaja Pu Sendok Sri Isanawikrama Dharmatunggadewa.
Kurang lebih delapan tahun kemudian, Sri Maharaja Pu Sendok tergugah hatinya untuk mendirikan sebuah tugu kemenangan atau Jayastamba dan sebuah Candi atau Jayamerta. Dan terhadap masyarakat desa sekitar candi, karena jasa- jasanya didalam membantu pertempuran, oleh Pu Sendok diberi hadiah sebagai desa perdikan atau desa bebas pajak dengan status sima swatantra :ANJUK LADANG”. Anjuk berarti tinggi, atau dalam arti simbolis adalah : mendapat kemenangan yang gilang gemilang; Ladang berarti tanah atau daratan. Sejalan dengan perkembangan zaman kemudian berkembang menjadi daerah yang lebih luas dan tidak hanya seke­dar sebagai sebuah desa.
Sedangkan perubahan kata “ANJUK” menjadi Nganjuk, karena proses bahasa, atau merupakan hasil proses perubahan morfhologi bahasa, yang menjadi ciri khas dan struktural bahasa Jawa. Perubahan kata dalam bahasa Jawa ini terjadi karena : gejala usia tua dan gejala informalisasi, disamping adanya kebiasaan menambah konsonan sengau “NG” (nasalering) pada lingga kata yang diawali dengan suara vokal, yang menunjukkan tempat. Hal demikian inilah yang merubah kata “ANJUK” menjadi “NGANJUK”.
Berdasarkan penelitian L.C Damais, angka tahun yang tertera pada prasasti Candi Lor adalah tanggal 12 bulan Caitra tahun 859 Caka atau bertepatan dengan tanggal 10 April 937 M. Kalimat yang menunjuk angka tahun tersebut berbunyi : “SWASTI QAKAWARSATITA 859 CAITRAMASA TITHI DWADASIKRSNAPAKSA”. Yang jika diterjemahkan, kurang lebih berbunyi : Selamat Tahun Saka telah berjalan 859 Tahun Pertengahan pertama bulan Caitra tanggal 12″.
Berdasarkan kajian dan analisis sejarah inilah, maka tanggal 10 April 937 M disepakati sebagai hari Jadi Nganjuk, selanjutnya dengan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Nganjuk Nomor : 495 Tahun 1993 ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Nganjuk.
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Daftar Bupati Nganjuk
1760- : KRT.Sosrokoesoemo I (Kanjeng Jimat)
1760- : KRT.Sosrodirjo
1831-1852 : KRT.Sosrokoesoemo II
1852-1866 : RNG.Pringgodigdo
1866-1878 : KRT.Soemowilojo
1878-1901 : KRT.Sosrokoesoemo III
1901-1936 : RMAA.Sosrohadikoesoemo
1936-1943 : RTA.Prawirowidjojo
1943-1947 : R.Mochtar Praboe Mangkoenegoro
1947-1949 : Mr.R.Iskandar Gondowardo jo
1949-1951 : RM.Djojokoesoemo
1951-1955 : K.I.Soeroso Atmohadiredjo
1955-1958 : M.Abdoel Sjoekoer Djojodiprodjo
1958-1960 : M.Poegoeh Tokrosoemarto
1960-1968 : Soendoro Hardjoamidjojo,SH
1968-1978 : Soeprapto,BA
1978-1983 : Drs.Soem ari
1983-1993 : Drs.Ibnu Salam
1993-2003 : Drs.Soetrisno R
2003-2008 : Ir. Siti Nurhayati
2008-2013 : Drs. H. Taufiqurrahman
Legenda Nganjuk
Candi Lor
Secara geografis Candi Lor terletak di desa Candirejo, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk, atau kira-kira 3-4 kilometer arah selatan dari pusat kota Nganjuk. Berdasarkan bukti tertulis yang ditemukan di kompleks candi ini, dapat dikemukakan bahwa Candi Lor ini didirikan oleh Pu Sindok pada tahun 859 Caka atau 937 M sebagai Tugu Peringatan Kemenangan Sindok atas musuhnya dari Melayu. Secara riil, candi yang menghadap ke barat ini wujudnya sudah tidak berbentuk lagi (sudah sangat rusak). Hal ini disebabkan usia bangunan yang memang sudah sangat tua, bahkan bangunan yang terbuat dari batu merah dan tumbuhnya pohon Kepuh di badan candi yang akar-akarnya mencengkeram dan menghunjam kesegala arah di badan candi sebelah selatan. Candi ini berdiri atas tanah seluas 42 x 39,4 meter 91654 meter persegi), luas soebasemen (alas) 12,4 x 11,5 meter (142,6 meter persegi) dan tinggi candi lebih kurang 9,3 meter. Krom berpendapat, bahwa candi ini pada awalnya bertingkat dan bersifat Siwais. Dalam candi ini terdapat beberapa area diantaranya Ganesha dan Nandi. Meskipun keadaannya sudah rusak, dapat diperkirakan bahwa candi ini dahulunya mempunyai ruang dalam yang berbentuk segi empat.. Hal ini terlihat adanya sudut siku-siku yang masih tampak di sudut timur laut ruang dalam candi ini.
Sekarang ini, di sebelah barat candi terdapat dua arca yang semuanya sudah tanpa kepala, yang satu diperkirakan arca Ganesha dan yang lain Siwa Mahadewa. Di sebelah barat arca terdapat Lingga dan Yoni, yang keadaannya telah rusak (Yoni telah pecah dan Lingga tinggal sebagian). Di sebelah baratnya lagi terdapat dua buah makam yang oleh penduduk diyakini sebagai makam Yang Karta dan Yang Kerti, abdi kinasih Pu Sindok. Jika benar bahwa benda-benda tersebut asli dari Candi Lor, maka dapat disimpulkan bahwa candi Lor bersifat Siwa.
Pada tahun 1913, di sawah sekitar candi berhasil ditemukan 4 (empat) buah arca yang terbuat dari perunggu, yang menggambarkan pantheon Budhisme, yaitu :
1. Tara Musik, berukuran 7,8 cm, menggambarkan seseorang yang sedang memainkan kecapi yang terbuat dari rotan dalam ekspresi menyanyi dan menari, dengan tugas memuja Dhyani Budha.
2. Bodhisattwa, berukuran 7,8 cm. dalam Budha Mahayana Bodhisattwa dianggap sebagai calon Budha. Tiap-tiap Dhyani Buddha mesti dikelilingi oleh Bodhisattwa. Disini Shyani Budha dikelilingi oleh 4 Bodhisattwa yang disebut Vajradathu Mandala.
3. Dhupa Tara dan Puspha Tara, berukuran 9 cm. Kedua arca ini digambarkan ramping dan sangat indah. Yang satu digambarkan sama dengan Tara Musik, dan yang satunya digambarkan sebagai Dhupa Bunga.
Patung yang diketemukan di dekat Candi Lor ini sangat penting ditinjau dari segi artistik dan ikonografinya (ilmu tentang arca). Susunan pantheonnya sangat khas, yaitu mengungkapkan tradisi kerajaan dengan patung Budha yng menghadap keempat penjuru. Beberapa patung perunggu ini karena keindahannya pernah dipamerkan di Arena Pameran Benda Seni Negeri Jajahan di Paris tahun 1931. Seorang ahli sejarah kuno Indonesia, Dr. FDK. Bosch yang terpesona dengan patung tersebut membandingkan dengan patung Budha Liran Singon di Jepang. Sedangkan ciri-cirinya yang indah itu dibandingkan dengan gambaran pada naskah ikonografi Budha yang ada di Bali. Di kompleks candi ini, diketemukan pula sebuah batu bertulis (prasasti) yang kemudia telah dikenal dengan nama Prasasti Anjuk Ladang. Prasasti ini mula-mula untuk kepentingan penelitian, yang kemudian dibawa ke Kediri (kediaman Residen Kediri) dan sekarang telah disimpan di Museum Nasional dengan nomor koleksi F-59. Prasasti ini berisi maklumat dari seorang pejabat tinggi kerajaan, yang ditulis pada bagian muka 49 baris dan pada bagian belakang terdiri dari 36 baris. Berdasarkan tulisan tersebut dapat dikatakan bahwa prasasti itu dikeluarkan Pu Sindok yang bergelar Sri Maharaja Pu Sindok Sri Isana Dharmotunggadewa pada tahun 859 C atau 937 M. Walaupun Candi Lor keadaannya telah rusak, namun ditempat inilah terdapat salah satu bukti bahwa Nganjuk pernah berperan dalam panggung sejarah nasional. Disini terdapat batu bertulis yang memuat sebutan (toponimi) yang sangat dekat sekali ucapannya dengan Nganjuk, yakni Anjuk Ladang. Candi Lor ini merupakan bukti sejarah tentang keberhasilan Pu Sindok mengalahkan musuhnya, dan sekaligus merupakan Tugu Peringatan (Jayastamba).
Candi Ngetos
Candi Ngetos a. Letak Geografis dan Wujud Fisik Terletak di Desa Ngetos, Kecamatan Ngetos, sekitar 17 kilometer arah selatan kota Nganjuk. Bangunannya terletak ditepi jalan beraspal antara Kuncir dan Ngetos. Menurut para ahli, berdasarkan bentuknya candi ini dibuat pada abad XV (jaman Majapahit). Dan menurut perkiraan, candi tersebut dibuat sebagai tempat pemakaman Raja Hayam Wuruk dari Majapahit. Bangunan ini secara fisik sudah rusak, bahkan beberapa bagiannya sudah hilang, sehingga sukar sekali ditemukan bentuk aslinya. Berdasarkan arca yang ditemukan di candi ini, yaitu berupa arca Siwa dan arca Wisnu, dapat dikatakan bahwa Candi Ngetos bersifat Siwa–Wisnu. Kalau dikaitkan dengan agama yang dianut Raja Hayam Wuruk, amatlah sesuai yaitu agama Siwa-Wisnu. Menurut seorang ahli (Hoepermas), bahwa didekat berdirinya candi ini pernah berdiri candi berukuran lebih kecil (sekitar 8 meter persegi), namun bentuk keduanya sama. N. J. Krom memperkirakan bahwa bangunan candi tersebut semula dikelilingi oleh tembok yang berbentuk cincin. Bangunan utama candi tersebut dari batu merah, sehingga akibatnya lebih cepat rusak. Atapnya diperkirakan terbuat dari kayu (sudah tidak ada bekasnya). Yang masih bisa dilihat tinggal bagian induk candi dengan ukuran sebagai berikut : Panjang candi (9,1 m), tinggi badan (5,43 m), tinggi keseluruhan (10 m), saubasemen (3,25 m), besar tangga luar (3,75 m), lebar pintu masuk (0,65 m), tinggi undak menuju ruang candi (2,47 m) dan ruang dalam (2,4 m). b. Relief Terdapat empat buah, namun sekarang hanya tinggal satu, yang tiga telah hancur. Pigura-pigura pada saubasemennya (alasnya) juga sudah tidak ada. Dibagian atas dan bawah pigura dibatasi oleh loteng-loteng, terbagi dalam jendela-jendela kecil berhiaskan belah ketupat, tepinya tidak rata, atau menyerupai bentuk banji. Hal ini berbeda dengan bangunan bawahnya yang tidak ada piguranya, sedankan tepi bawahnya dihiasi dengan motif kelompok buah dan ornamen daun. Disebelah kanan dan kiri candi terdapat dua relung kecil yang diatasnya terdapat ornamen yang mengingatkan pada belalai makara. Namun jika diperhatikan lebih seksama, ternyata suatu bentuk spiral besar yang diperindah. Dindingnya terlihat kosong, tidak terdapat relief yang penting, hanya diatasnya terdapat motif daun yang melengkung ke bawah dan horisaontal, melingkari tubuh candi bagian atas. Yang menarik, adalah motif kalanya yang amat besar, yaitu berukuran tinggi 2 x 1,8 meter. Kala tersebut masih utuh terletak disebelah selatan. Wajahnya menakutkan, dan ini menggambarkan bahwa kala tersebut mempunyi kewibawaan yang besar dan agaknya dipakai sebagai penolak bahaya. Motif kala semacam ini didapati hampir pada seluruh percandian di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Motif ini sebenarnya berasal dari India, kemudian masuk Indonesia pada Jaman Hindu. Umumnya, di Indonesia motif semacam ini terdapat pada pintu-pintu muka suatu percandian. c. Arca Candi Di Candi Ngetos sekarang ini tidak didapati lagi satu arcapun. Namun menurut penuturan beberapa penduduk yang dapat dipercaa, bahwa didalam candi ini terdapat dua buah arca, paidon (tempat ludah) dan baki yang semuanya terbuat dari kuningan. Krom pernah mengatakan, bahwa di candi diketemukan sebuah arca Wisnu, yang kemudian disimpan di Kediri. Sedangkan yang lain tidak diketahui tempatnya. Meskipun demikian bisa dipastikan bahwa candi Ngetos bersifat Siwa-Wisnu, walaupun mungkin peranan arca Wisnu disini hanya sebagai arca pendamping. Sedangkan arca Siwa sebagai arca yang utama. Hal ini sama dengan arca Hari-Hara yang terdapat di Simping, Sumberjati yang berciri Wisnu. d. Cerita Rakyat Candi Ngetos, yang sekarang tinggal bangunan induknya yang sudah rusak itu, dibangun atas prakarsa Raka Hayam Wuruk. Tujuan pembuatan candi ini sebagai tempat penyimpanan abu jenasahnya jika kelak wafat. Hayam Wuruk ingin dimakamkan disitu karena daerah Ngetos masih termasuk wilayah Majapahit yang menghadap Gunung Wilis, yang seakan-akan disamakan dengan Gunung Mahameru. Pembuatannya diserahkan pada pamannya Raja Ngatas Angin, yaitu Raden Condromowo, yang kemudian bergelar Raden Ngabei Selopurwotoo. Raja ini mempunyai seorang patih bernama Raden Bagus Condrogeni, yang pusat kepatihannya terletak disebelah barat Ngatas Angin, kira-kira berjarak 15 km. Diceritakan, bahwa Raden Ngabei Selopurwoto mempunyai keponakan yang bernama Hayam Wuruk yang menjadi Raja di Majapahit. Hayam Wuruk semasa hidup sering mengunjungi pamannya dan juga Candi Lor. Wasiatnya kemudian, nanti ketika Hayam Wuruk wafat, jenasahnya dibakar dan abunya disimpan di Candi Ngetos. Namun bukan pada candi yang sekarang ini, melainkan pada candi yang sekarang sudah tidak ada lagi. Konon ceritanya pula, di Ngetos dulu terdapat dua buah candi yang bentuknya sama (kembar), sehingga mereka namakan Candi Tajum. Hanya bedanya, yang satu lebih besar dibanding lainnya. Krom juga berpendapat, bahwa disekitar candi Ngetos ini terdapat sebuah Paramasoeklapoera, tempat pemakaman Raja Hayam Wuruk. Mengenai kata Tajum dapat disamakan dengan Tajung, sebab huruf “ng” dapat berubah menjadi huruf “m” dengan tanpa berubah artinya. Misalnya Singha menjadi Simha dan akhirnya Sima. Hal ini sesuai dengan pendapat Soekmono yang menyatakan bahwa setelah Hayam Wuruk meninggal dunia, maka makamnya diletakkan di Tajung, daerah Berbek, Kediri. Selanjutnya diceritakan, bahwa Raja Ngatas Angin R. Ngabei Selupurwoto mempunyai saudara di Kerajaan Bantar Angin Lodoyo (Blitar) bernama Prabu Klono Djatikusumo, yang kelas digantikan oleh Klono Joyoko. Raja-raja ini ditugaskan oleh Hayam Wuruk untuk membuat kompleks percandian. Raden Ngabai Selopurwoto di kompleks Ngatas Angin menugaskan Empu Sakti Supo (Empu Supo) untuk membuat kompleks percandian di Ngetos. Karena kesaktiannya maka dalam waktu yang tidak terlalu lama tugas tersebut dapat diselesaikan sesuai petunjuk
Disajikan oleh Asosiasi Pengawas Sekolah Indonesia (APSI)
KISAH AIR TERJUN RORO KUNING NGANJUK JAWA TIMUR
Air Terjun Roro Kuning berada di ketinggian 600 m dpl dan memiliki tinggi antara 10-15 m. Air terjun ini mengalir dari tiga sumber dari Gunung Wilis yang mengalir merambat di sela-sela bebatuan padas di bawah pepohonan hutan pinus. Kemudian menjadi air terjun yang membentuk trisula. Dan karena proses mengalirnya itulah maka masyarakat Desa Bajulan menamakan air terjun merambat.
Di sekitar lokasi air terjun ini juga bisa dijumpai Air Terjun Ngunut setinggi ± 55 m, Air Terjun Pacoban Ngunut setinggi ± 95 m dan Air Terjun Pacoban Lawe setinggi ± 75 m. Jarak dari air terjun Roro Kuning menuju air terjun Pacoban Ngunut sekitar 4 km. Sedangkan untuk Coban Lawe dan Air Terjun Ngunut, harus berjalan kurang lebih 3 km lagi. Untuk menuju ke tiga air terjun tersebut sebaiknya mempersiapkan fisik sebelum kesana, karena jalannya cukup terjal.
Air terjun merambat Roro Kuning letaknya sekitar 27-30 km selatan kota Nganjuk, di tengah hutan pinus dengan ketinggani sekitar 600 meter dari permukaan air laut tepatnya di kaki Gunung Wilis di Desa Bajulan, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk.
Air terjun desa Bajulan baru dibuka untuk umum tahun 2005. Pemkab Nganjuk sudah melengkapinya dengan kolam renang, tempat perintirahatan para wisatawan, tempat bermain untuk anak-anak dan pentas pertunjukan musik dan kesenian tradisional.
Selain keindahan alam, air terjun Roro Kuning juga memiliki nilai sejarah.
Di sekitar lokasi ini terdapat monumen perjuangan Panglima Besar Jenderal Sudirman. Monumen ini dibangun untuk mengenang perjuangan Jenderal Sudirman saat memimpin perang gerilya melawan Belanda pada tahun 1949. Selain menumen, di tempat ini juga terdapat sebuah rumah sangat sederhana yang pada masa perjuangan dahulu sempat ditempati Pak Dirman selama satu minggu. Karena itulah selain menikmati keindahan alam, pengunjung air terjun Roro Kuning juga bisa sekaligus mengenang perjuangan Panglima Besar Sudirman.
Legenda
Nama Roro Kuning berasal dari Ruting dan Roro Kuning putri raja Kadiri dan Dhoho yang berkuasa sekitar abad ke 11-12. Ruting yang aslinya bernama Dewi Kilisuci dan Roro Kuning yang sebenarnya Dewi Sekartaji adalah putri semata wayang Lembu Amiseno dari Kerajaan Doho.
Ketika kedua putri raja itu sakit, di kerajaan tidak ada yang bisa menyembuhkan. Runting sakit kuning dan Roro Kuning sakit gondok dan kulit. Untuk mencari kesembuhan kedua putri raja mengembara masuk keluar hutan belantara, naik gunung turun gunung dan akhirnya singgah di lereng Gunung Wilis Desa Bajulan. Ketika sedang merenungi nasibnya sang putri bertemu dengan Resi Darmo dari Padepoan Ringin Putih desa Bajulan.
Di sinilah dua putri raja dirawat dan diberi obat ramuan tradisional oleh sang Resi yang sakti. Dengan ramuan dedaunan, sakit putri raja akhirnya bisa sembuh. Dalam proses penyembuhannya, putri Runting dan Kuning sering mandi di air terjun yang kemudian diabadikan oleh sang Resi menjadi nama air terjun.
Air Terjun Sedudo
Banyak Versi asal usul Air terjun Sedudo.......
Air Terjun Sedudo sudah sangat populer di kawasan Jawa Timur. Objek wisata air terjun Sesudo berada di lereng Gunung Wilis dan terletak di Desa Ngliman, Kecamatan Sawahan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Air terjun Sedudo mempunyai panorama air terjun yang hulunya berada pada ketinggian 1.438 meter di atas permukaan laut. Mirip seperti air terjun Grojogan Sewu di Tawangmangu.
Air terjunnya sendiri meluncur dari ketinggian 105 meter. Dari kejauhan jalan menuju lokasi wisata ini terlihat sangat indah. Sejuknya udara pegunungan Gunung Wilis di tambah tamparan titik-titik air terjun membuat suasana damai dan nyaman sehingga anda merasa lebih rileks. Tepat di bawah jatuhnya air, terdapat kolam yang bisa Anda gunakan untuk mandi bahkan berenang.
Pada hari-hari biasa, tempat wisata air terjun Sedudo tidak seberapa ramai. Akhir pekan dan libur nasional barulah bertambah banyak pengunjungnya. Namun harap dicatat, kunjungan teramai adalah di bulan Sura tanggal satu. Sura adalah bulan pertama penanggalan jawa. Setiap 1 Sura biasanya diadakan ritual siraman. Dan lucunya, yang disiram adalah arca. Ritual ini dinamakan Parna Prahista. Entah kenapa di jaman sekarang masih saja banyak yang percaya takhayul semacam ini .
Asal mula Air Terjun Sedudo
Menurut sejarah, saat itu Air Terjun Sedudo dibuat oleh salah satu tokoh warga sekitar bernama Sanak Pogalan. Ia merupakan petani tebu yang harus menelan kecewa dari penguasa jaman itu. Karena kekecewaannya inilah, ia kemudian menjadi pertapa di sekitar sumber Air Terjun Sedudo. Dalam tapanya, ia berniat untuk menenggelamkan Kota Nganjuk dengan membuat sumber air yang sangat besar.
Karena kesucian Sanak Pogalan inilah, sebagian warga meyakini jika sumber air terjun Sedudo, mengandung beberapa khasiat, salah satunya menjadi obat awet muda. Secara ilmiah khasiat obat awet muda dari Air Terjun Sedudo ini bisa dirunut.
Pada jaman kerajaan dulu, ada tokoh bernama Resi Curigonoto yang sengaja mengasingkan diri di atas lokasi air terjun. Dalam pengasingannya itu, Resi Curigonoto berniat untuk menjadikan hutan itu sebagai kebun rempah-rempah. Karena menganggap jika tanah hutan, bisa menjadi media yang sangat bagus untuk mengembangkan rempah-rempah yang saat itu menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Resi Curigonoto lantas meminta Raja Kerajaan Kediri untuk mengirim rempah-rempah ke tempat pengasingannya itu.
Namun, tak begitu jauh dari tujuannya, tiba-tiba gerobak-gerobak yang mengangkut rempah-rempah ini terguling diantara sumber air terjun Sedudo. Lalu rempah-rempah ini tumbuh subur hingga memenuhi hutan yang menjadi tempat sumber Air Terjun Sedudo sehingga air yang mengalir keair terjun Sedudo banyak mengandung rempah-rempah itu yang secara otomatis, rempah-rempah ini mampu menjadi obat yang multi khasiat, salah satunya adalah membuat wajah tampak bersih sehingga kelihatan awet muda.
Akses Air Terjun Sedudo
Air terjun kebanggan warga nganjuk ini terletak 30km dari pusat kota Nganjuk. Dengan sepeda motor, bisa ditempuh selama 45menit saja. Kalo beruntung, malah bisa hanya 30 menit. Nganjuk berada ±110km dari Surabaya dan ±200km dari Yogyakarta.
Untuk memasuki kawasan air terjun Sedudo, anda cukup membayar Rp 2.500,- saja. Fasilitas lain yang bisa anda nikmati antara lain hotel, toko penjual souvernir, dan sayur plus buah-buhan khas Nganjuk seperti jeruk, durian, dan pisang.
Posting terkait dengan Air Terjun Sedudo
VERSI LAIN.....
Legenda asal Usul Air Terjun Sedudo.
Pada zaman kerajaan Kediri, sang raja memiliki seorang putri yang mempunyai penyakit aneh seperti cacar namun sangat menjijikan bagi yang melihatnya, akhirnya oleh sang raja yang tidak lain ayahnya sendiri putri tersebut di suruh untuk berobat ke sebuah padepokan yang berada di daerah Pace. Pemilik padepokan sekaligus teman dari raja ini disuruh menyembuhkan dan menyembuyikan identitas sang putri dari rakyat sekitar, akhirnya setiap pagi putri di mandikan di air terjun Roro Kuning untuk menyembuhkan penyakit sekaligus pada pagi hari air terjun roro kuning belum dipakai oleh rakyat sekitar.
Kian hari penyakit putri berangsur – angsur sembuh, paras cantiknya kian terlihat kembali, anak dari pemilik padepokan tersebut mulai mengetahui siapa si putri ini. Bahwa si putri tersebut adalah anak dari raja Kediri yang sedang berobat di padepokan milik ayahnya.
Akhirnya kedua anak dari pemilik padepokan tersebut mengejar hati dari putri kerajaan Kediri.
Pada akhirnya ketiga insan tersebut merajut cinta, namun cerita barulah bermulai ketika si putri tersebut sembuh dari penyakitnya, akhirnya sang raja dari kerajaan Kediri menjodohkan putri tersebut dengan calon pilihan sang ayah yang tidak lain adalah raja dari kerajaan Kediri, lalu kedua anak dari pemilik padepokan tesebut patah hati berat, akhirnya sampai berbulan - bulan kedua anak tersebut mengurung diri di sebuah kamar,hingga suatu ketika mereka keluar dari kamar dengan sikap yang berubah total. Dulu yang begitu ramah dengan orang sekitar kini kedua anak tersebut tidak memiliki sopan santun sama sekali terhadap orang lain semenjak peristiwa tesebut.
Karena sikap yang dimiliki oleh kedua anaknya, akhirnya membuat pemilik padepokan tersebut yang tidak lain adalah ayahnya sendiri mengutus kedua anak tersebut bersemedi untuk melupakan jalinan kasih dengan putri kerajaan Kediri, namun sebelum melakukan semedi kakak beradik ini mengucapkan sebuah ikrar sang adik tidak akan pernah sopan santun lagi kepada orang lain sedangkan sang kakak akan selalu hidup melajang.
Sang kakak bertapa di sebuah air terjun tertinggi maka dari itu air terjun yang berada paling tinggi di namakan air terjun Sedudo yang artinya “Sing mendudo” atau dalam bahasa Indonesian artinya “yang melajang”, sedangkan adiknya bertapa di air terjun SingoKromo yang artinya “Sing Ora Kromo” atau dalam bahasa Indonesia artinya “yang tidak memiliki sopan santun”. Letak dari air terjun SingoKromo berada di bawah air Sedudo. Nama dari kedua air terjun tersebut di ambil dari janji mereka sewaktu akan melakukan semedi dulu.
Dibalik Mitos Air Terjun Sedudo Nganjuk
AWET MUDA : Diyakini, jika memakai airterjun Sedudo untuk mandi, maka akan berkhasiat sebagai obat awet muda.
Dibalik Mitos Air Terjun Sedudo Nganjuk
Kaya rempah-rempah, Bisa jadi Obat Awet Muda
Banyak yang menyakini jika air terjun Sedudo mampu membuat awet muda siapa saja yang mandi disana. Ada apa dibalik mitos itu?
Jika kita mendengar wisata air terjun Sedudo yang terletak di Desa Ngliman Kec Sawahan, akan selalu muncul dibenak kita jika air terjun ini mempunyaibanyak khasiat, salah satunya adalah menjadi obat awet muda. Hal ini banyak diyakini masyarakat sekitar, juga masyarakat diluar Nganjuk. Terbukti jika wisata airterjun ini tak pernah sepi dari pengunjung. Baik yang hanya sekedar ingin menikmati pemandangannya yang indah, atau memang sengaja ingin membuktikan mitos yang banyak berkembang itu.Namun tak banyak yang tahu apa yang menyebabkan airterjun yang berada di Kab Nganjuk bagian selatan itu mempunyai mitos seperti ini. Kalangan sejarah menilai,mitos ini berdasar atas sejarah terbentuknya airterjun itu dan kajian ilmiah.Harimintadji, salah satu tokoh sejarah di Nganjuk mengungkapkan ada sejarah dan perkiraan secara ilmiah tentang mitos itu. Dari tinjauan sejarah, saat itu airterjun Sedudo dibuat oleh salah satu tokoh warga sekitar bernama Sanak Pogalan. Ia merupakan petanitebu yang harus menelan kecewa dari peenguasa jamanitu. Karena kekecewaannya inilah, ia kemudian menjadi pertama disekitar sumber air terjun Sedudo. Dalam tapanya, ia berniat untuk menenggelamkan Kota Nganjuk dengan membuat sumber air yang sangat besar.
’’Dia bersumpah untuk menggelamkan desanya itu. Dan dibuatlah sumber air yang sangat besar,’’ tuturHarmintadji, yang pernah menjabat sebagai Wedono KabNganjuk itu.Karena kesucian Sanak Pogalan inilah, sebagian warga meyakini jika sumber air terjun Sedudo, mengandung eberapa khasiat, salah satunya menjadi obat awet muda.
’’Menurut sejarahnya begitu,’’ tambah Harmintadji. Selain tentang sejarah, ia juga menduga jika secara ilmiah khasiat obat awet muda dari air terjun Sedudo ini bisa diraba. Menurutnya, pada jaman kerajan dulu, ada tokoh bernama Resi Curigonoto yang sengaja mengasingkan diri di atas lokasi air terjun.
Dalam pengasingannya itu, Resi Curigonoto berniat untuk menjadikan hutan itu sebagai kebun rempah-rempah. Karena menganggap jika tanah hutan, bisa menjadi mediayang sangat bagus untuk mengembangkan rempah-rempah yang saat itu menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Resi Curigonoto lantas meminta Raja Kerajaan Kediri untukmengirim rempah-rempah k gerobak-gerobak yang mengangkut rempah-rempah terguling diantara sumber air terjun Sedudo. ’’Lalu rempah-rempah ini tumbuh subur hingga memenuhi hutannya menjadi tempat sumber air terjun Sedudo,’’tambahnya.Sehingga, lanjut pria yang menjadi pegawai negeri sipil (PNS) sejak tahun 1964 itu, air yang mengalir keair terjun Sedudo banyak mengandung rempah-rempah itu.’’Secara otomatis, rempah-rempah ini mampu menjadi obat yang multi khasiat, salah satunya adalah memmbuatwajah tampak bersih. Sehingga kelihatan awet muda,’’katanya.Mitos ini juga sdijunjung tinggi oleh Pemkab Nganjuksendiri. Buktinya, setiap bulan Syuro, Pemkab Nganjuk menggelar ritual ‘Siraman’. Dimana akan banyakmasyarakat Nganjuk yang mandi bersama di lokasi wisataair terjun ini. ’’Memang budaya siraman ini menjadi agenda tahunan Pemkab Nganjuk. Selain untuk menarik wisatawan, juga untuk melestarikan budaya yang sudah ada ratusan tahun silam itu,’’ kata Ujang Zalkadri , Ka Sub Din Obyekdan Daya Tarik Wisata Disparbuda Nganjuk
ASAL-USUL AIR TERJUN SEDUDO
versi lain
Dahulu hiduplah sebuah keluarga diDesa Ngliman, Kecamatan Sawahan,Kabupaten Nganjuk. Mereka adalah Begawan, istri nya Dewi Sri serta adik ipar nya Barata. Mereka adalah keluarga yang disegani masyarakat sekitar bahkan sebagai panutan dan sesepuh di desa tersebut. Mereka sangat taat pada agama. Segudang ilmu agama telah ia kuasai sehingga bila ada orang yang memerlukan mereka dengan senang membantunya. Dalam kehidupan sehari - hari mereka sangat baik sukamenolong rela berkorban demi kepentingan umum atau orang lain. Tidak pernah berfikir tentang kepentingan pribadi. Mereka berpandangan hidup adalah milik Alloh dan akankembali kepada-Nya.
Oleh karena itu banyak orang yang datang untuk belajar agama minta nasehat maupun minta berkah do’a darinya. Namun suatu ketika situasi
sedikit berubah, entah setan dari mana yang telah merasuki salah satu darinya,
Barata sering melakukan hal hal tercela. Ia tidak suka lagi membantu orang yang sedang susah bahkan menghinanya. Bahkan ia sering mengganggu ketentraman warga sekitarnya. Pernah suatu ketika Begawan melihat Barata bercakap – cakap
dengan seseorang.
” Den tolong saya den. Berilah saya sesuatu, anak dan istriku seharian belum makan. ” kata si fakir miskin.”Kalau belum makan, pergi saja ke warung. Jadi orang jangan malas. Mana mungkin kamu punya sesuatu kalau tidak mau bekerja. Lalu apa urusan nya dengan ku ?” jawab Barata.
” Tolong saya den berikan saya sedikit makanan untuk keluarga saya den kali ini saja.” Kata si miskin.
” enak saja kamu mintamakanan padaku. Memangkamu siapa? Pergi sana. Dasar orang miskin kerjaan nya cuma minta – minta saja.
” Apakah tidak ada rasa kasihan den..melihat saya dan keluarga saya Den?”pinta si fakir miskin itu dengan belas kasihan.
” aku tidak peduli! Kamu mau kelaparan pun aku tak pedulisama kamu.”
Gertak Barata.
Mendengar hal itu Begawan sangat marah kepada Barata karena tindakan Barata
sangat tidak terpuji dan tidak seharus nya di lakukan. Oleh karena itu Begawan ingin
menasehati Barata. Pada suatu hari Begawan memanggil Barata di ajak duduk berdua.
” Barata pantaskah perbuatanmu kemarin sebagai orang yang hidup di dunia ini
memperlakukan sesama dengan semena mena?
” Dia itu orang malas kalau tidak diberi pelajaran mana mungkin ia berubah?
Terjadilah perang mulut diantara mereka. Mereka berbeda pandangan,
maka tidak pernah lagi ada kecocokan. Dipuncak kemarahanya, Begawan terpaksa harus mengusir adik iparnya dari rumah.
” Kalau memang demikian maumu lebih baik kamu pergi
dari rumah ini atau aku yang pergi, kita tidak sejalan lagi.”kata Begawan.
” Baiklah aku akan pergi sekarang!” jawab Barata. Barata pergi dan mengembara
jauh meninggalakan Gunung Wilis. Dewi Sri sangat sedih karena Begawan mengusir
adiknya.Padahal Barata sudah tidak punya siapa –siapa kecuali kakaknya Dewi Sri. Ia bingung harus berbuat apa. Lebih berat adiknya atau suaminya, keduanya sangat
dicintainya.
” Kanda mengapa kanda tega mengusir Barata dari sini?
tanya Dewi Sri.
” Karna dia sudah tidak pantas disini, tidak bisa dijadikan contoh masyarakat,semua ilmu yang sudah aku ajarkan diabaikan.”
” Kanda aku mohon jangan usir dia.. Aku mohon kanda.” Pinta Dewi Sri kepada
suaminya.
” Aku tak bisa istriku, dia sudah keterlaluan dan tidak bisa dinasehati lagi. Biar ia
dapat mengambil pelajaran dari semua ini, kalau memang kamu berat dengan adikmu dan semua sifat tercelanya itu, terserah kamu. Berat mana antara suami dan
adik?”
Dewi Sri pun bingung untuk memilih. Dan akhir nya Dewi Sri memutus kan untuk pergimengembara mencari adik satu satunya itu.Tinggalah Begawan sendiri di rumah.
Begawan berusaha untuk mencegah kepergian istrinya tetapi gagal ia sudah bertekat
bulat untuk mencari adiknya. Begawan merenungi semuakejadian ini. Dia tidak punya
pilihan lain kecuali harus hidup menyendiri sebagai seorang duda.
Dia pun bergi untuk membersihkan diri mohon petunjuk kepada Alloh dengan cara bertapa di bawah air terjun yang sangat tinggi untuk selamanya. Orang –
orang sekitar yang memerlukan bagawan sering mengunjungi untuk minta nasehat atau petuahnya.
Anehnya selama bertapa begawan tidak pernah berubah ia selalu tampak muda
terutama di awal tahun baru hijriah Muharam atau bulan Suro. Semenjak itulah banyak orang yang berdatangan untuk mensucikan diri dan mencari berkah di sana.
Mereka percaya barang siapa yang melakukan ritual dibawah air terjun tersebut
akan mendapat berkah dan awet muda terutama di awal tahun baru hijriah atau bulanSuro.
Dan air terjun tersebut di kenal dengan nama SEDUDO yang artinya seorang dudo.
Sampai sekarang masyarakat masih percaya dengan mitostersebut. Banyak masyarakat yang datang ke air terjun sedudo untuk mandi mensucikan diri agar
mendapat berkah dan awet muda. Terutama di tahun baru Hijriah atau bulan Suro.
VERSI LAIN LAGI....
Legenda
Dulu kawasan Sedudo merupakan tempat pertapaan Ki Ageng Ngaliman, tokoh pelopor penyebaran agama Islam di Nganjuk waktu itu. Sebagai penghormatan atas jasa-jasanya, maka setiap bulan Suro sebuah upacara ritual selalu digelar. Ritual yang diberin nama pengambilan Air Sedudo itu diisi dengan acara iring-iringan gadis berambut panjang yang berbusana adat Jawa, berjalan perlahan menuju kolam yang berada tepat di bawah air terjun.
Mereka percaya, air yang mengalir tak henti-hentinya mengalir di Sedudo, bersumber dari tempat keramat, yakni tempat di mana para dewa bersemayam. Tak heran, ketika malam tahun baru Hijriyah 1 Muharram, atau biasa dikenal malam 1 Suro oleh masyarakat Jawa, ribuan pengunjung selalu memadati Sedudo. Di tengah dinginnya air terjun Sedudo, mereka mandi beramai-ramai di kolamnya.
Aspek sejarah lain, khususnya tentang pemanfaatan Sedudo oleh kalangan raja dan ulama di zaman Kerajaan Majapahit dan kejayaan Islam, sangat mempengaruhi kepercayaan masyarakat tentang khasiat air terjun tersebut. Di jaman Majapahit Sedudo sering digunakan untuk mencuci senjata pusaka milik raja dan patih dalam Prana Pratista. Sementara di zaman kerajaan Islam, Sedudo sangat dikenal sebagai kawasan pertapaan Ki Ageng Ngaliman.

0 komentar:

SEJARAH CANDI BOROBUDUR

sesuai kajian Islam VERSI KH FAHMI BASYA. Menurut sebuah penelitian oleh Pak KH Fahmi Basya memperoleh kesimpulan bahwa kisah nabi...