SEJARAH KABUPATEN SLEMAN


Mengungkap sejarah merupakan perjalanan yang rumit dan melelahkan. Setidaknya pengalaman tersebut dapat dipetik dari upaya Dati II Sleman untuk menentukan hari jadinya. Setelah melalui penelitian, pembahasan, dan perdebatan bertahun-tahun, akhirnya hari jadi Kabupaten Dati II Sleman disepakati.
Perda no.12 tahun 1998 tertanggal 9 Oktober 1998, metetapkan tanggal 15 (lima belas) Mei tahun 1916 merupakan hari jadi Sleman. Di sini perlu ditegaskan bahwa hari jadi Sleman adalah hari jadi Kabupaten Sleman, bukan hari jadi Pemerintah Kabupaten Dati II Sleman. Penegasan ini diperlukan mengingat keberadaan Kabupaten Sleman jauh sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai wujud lahirnya negara Indonesia modern, yang memunculkan Pemerintah Kabupaten Dati II Sleman.
Keberadaan hari jadi Kabupaten Sleman memiliki arti penting bagi masyarakat dan pemerintah daerah untuk memantapkan jati diri, sebagai landasan yang menjiwai gerak langkah ke masa depan. Penetapan hari jadi ini akan melengkapi identitas yang saat ini dimiliki Kabupaten Sleman.
Dalam perhitungan Almanak, hari jadi Kabupaten Sleman jatuh pada hari Senin Kliwon, tanggal 12 (dua belas) Rejeb tahun Je 1846 Wuku Wayang. Atas dasar perhitungan tesebut ditentukan surya sengkala (perhitungan tahun Masehi) Rasa Manunggal Hanggatra Negara yang memiliki arti Rasa = 6, manunggal = 1, Hanggatra = 9, Negara = 1, sehingga terbaca tahun 1916. Sementara menurut perhitungan Jawa (Candra Sengkala) hari jadi Kabupaten Sleman adalah Anggana Catur Salira Tunggal yang berarti Anggana = 6, Catur = 4, Salira = 8, Tunggal = 1, sehingga terbaca tahun 1846. Kepastian keberadaan hari jadi Kabupaten Sleman didasarkan pada Rijksblad no. 11 tertanggal 15 Mei 1916. Penentuan hari jadi Kabupaten Sleman dilakukan melalui penelaahan berbagai materi dari berbagai sumber informasi dan fakta sejarah.
Adapun dasar-dasar pertimbangan yang digunakan adalah:
Usia penamaan yang paling tua Mampu menumbuhkan perasaan bangga dan mempunyai keterkaitan batin yang kuat terhadap masyarakat.
Memiliki ciri khas yang mampu membawa pengaruh nilai budaya .
Bersifat Indonesia sentris, yang dapat semakin menjelaskan peranan ciri keindonesiaan tanpa menyalahgunakan obyektivitas sejarah.
Mempunyai nilai historis yang tinggi, mengandung nilai dan bukti sejarah yang dapat membangun semangat dan rasa kagum atas jasa dan pengorbanan nenek moyang kita.
Merupakan peninggalan budaya Jawa yang murni, tidak terpengaruh oleh budaya kolonial
Periode 1916-1945
Secara administratif, keberadaan Kabupaten Sleman dapat dilacak pada Rijksblad no. 11 tahun 1916 yang membagi wilayah Kasultanan Yogyakarta (Mataram) dalam 3 Kabupaten, yakni Kalasan, Bantul, dan Sulaiman (yang kemudian disebut Sleman), dengan seorang bupati sebagai kepala wilayahnya. Secara hierarkhis, Kabupaten membawahi distrik yang dikepalai seorang Panji.
Dalam Rijksblad tersebut juga disebutkan bahwa kabupaten Sulaiman terdiri dari 4 distrik yakni : Distrik Mlati (terdiri 5 onderdistrik dan 46 kalurahan), Distrik Klegoeng (terdiri 6 onderdistrik dan 52 kalurahan), Distrik Joemeneng (terdiri 6 onderdistrik dan 58 kalurahan), Distrik Godean (terdiri 8 onderdistrik dan 55 kalurahan).
Pada tahun yang sama, berturut-turut dikeluarkan Rijksblad no.12/1916, yang menempatkan Gunung Kidul sebagai kabupaten keempat wilayah Kasultanan Yogyakarta. Kemudian disusul dengan Rijksblad no. 16/1916 yang mengatur keberadaan Kabupaten Kota. Sedangkan Rijksblad 21/1916 mengatur keberadaan kabupaten Kulon Progo. Dengan demikian, pada tahun tersebut wilayah Kasultanan Yogyakarta berkembang dari 3 kabupaten menjadi 6 Kabupaten.
Pembagian wilayah Kesultanan Yogyakarta tersebut ternyata pada tahun 1927 mengalami penyederhanaan melalui munculnya Rijksblad no. 1/1927. Enam Kabupaten yang terdapat di wilayah kasultanan disederhanakan menjadi 4 kabupaten yakni: Kabupaten Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulon Progo dan Gunung Kidul. Dalam hal ini, Kabupaten Sleman mengalami penurunan status menjadi distrik Kabupaten Yogyakarta.
Pada tahun 1940, wilayah Kasultanan Yogyakarta mengalami reorganisasi dengan munculnya Rijksblad Van Jogjakarta no. 13/1940 tanggal 18 Maret 1940. Rijksblad tersebut membagi wilayah kasultanan Yogyakarta tetap dalam 4 Kabupaten dengan pemampatan pada distrik masing-masing kabupaten.
Kabupaten Yogyakarta, terdiri 2 (dua) distrik (Distrik Kota dan Distrik Sleman).
Kabupaten Sleman yang terdiri 4 (empat) distrik.
Kabupaten Kulon Progo terbagi 2 (dua) distrik.
Kabupaten Gunung Kidul terbagi 3 (tiga) distrik.
Pembagian wilayah tersebut tidak berlangsung lama, karena pada tahun 1942 dengan Jogjakarta Kooti, Kasultanan Yogyakarta lebih memerinci wilayahnya sebagai berikut:
Kabupaten Yogyakarta dengan Bupati KRT. Harjodiningrat. Kabupaten Yogyakarta dibagi menjadi 3 (tiga) Kawedanan, yakni kawedanan Sleman dengan penguasa R. Ng. Pringgo Sumadi dan Kawedanan Kalasan dengan penguasa R. Ng. Pringgo Biyono.
Kabupaten Bantul (Ken) dengan Bupati KRT. Dirjokusumo dan wilayahnya dibagi menjadi 4 (empat) kawedanan yakni Bantul, Kotagede, Godean dan Pandak.
Kabupaten Gunung Kidul dengan Bupati KRT. Djojodiningrat dan wilayahnya terbagi menjadi 3 (tiga) kawedanan yakni Wonosari, Playen dan Semanu.
Kabupaten Kulon Progo dengan Bupati KRT. Pringgohadingrat, dengan wilayah yang terbagi menjadi 2 (dua) kawedanan yaitu Nanggulan dan Sentolo.
Pada tanggal 8 April 1945 Sri Sultan Hamengkubuwono IX melakukan penataan kembali wilayah Kasultanan Yogyakarta melalui Jogjakarta Koorei angka 2 (dua). Dalam Koorei tersebut dinyatakan wilayah Kasultanan Yogyakarta dibagi menjadi lima Kabupaten yakni Kabupaten Kota Yogyakarta (Yogyakarta Syi), Kabupaten Sleman (Sleman Ken), Kabupaten Bantul (Bantul Ken), Kabupaten Gunung Kidul (Gunung Kidul Ken) dan Kabupaten Kulon Progo (Kulon Progo Ken). Penataan ini menempatkan Sleman pada status semula, sebagai wilayah Kabupaten.
Periode 1945-1947
Jogjakarta Koorei angka 2 (8 April 1945) menjadikan Sleman sebagai pemerintahan Kabupaten untuk kedua kalinya dengan KRT Pringgodiningrat sebagai bupati. Pada masa itu, wilayah Sleman membawahi 17 kapewon (Son) yang terdiri dari 258 kalurahan (Ku). Ibu kota kabupaten berada di wilayah utara, yang saat ini dikenal sebagai desa Triharjo (Kecamatan Sleman).
Bila dibandingkan dengan pemerintahan kabupaten lainnya di tanah Jawa, infrastruktur yang dimiliki Sleman sangat terbatas. Fasilitas yang dimiliki adalah gedung pusat pemerintahan, pasar (yang saat ini dikenal sebagai pasar Sleman), masjid (masjid Sleman) dan stasiun kereta api (lokasinya sudah berubah menjadi taman segi tiga Sleman). Sedangkan infastruktur seperti alun-alun, penjara, markas prajurit dsbnya, sebagai syarat ibukota, tidak dimiliki.
Di era revolusi, para pegawai pemerintah meninggalkan ibukota Sleman ikut keluar kota mengatur strategi. Dalam keadaan demikian perkantoran pemerintahan Kabupaten Sleman menjadi sepi dan terjadi “bumi angkut” oleh gerombolan masyarakat yang tidak bertanggungjawab. Akibatnya gedung-gedung pemerintah tidak layak lagi menjadi tempat pelayanan masyarakat.
Periode 1945-1947
Dalam kondisi gedung-gedung pelayanan masyarakat yang memprihatinkan, Bupati Sleman KRT Pringgodiningrat pada tahun 1947 memindahkan pusat pelayanan kabupaten ke Ambarukmo, di Petilasan Dalem serta bekas pusat pendidikan perwira polisi yang pertama di Indonesia (saat ini pendopo hotel Ambarukmo). Dalam hal ini, Ambarukmo merupakan pusat kegiatan pelayanan pemerintahan, bukan ibukota kabupaten.
Pada tahun yang sama Bupati KRT Pringgodiningrat diganti oleh KRT Projodiningrat. Dalam periode ini, tepatnya tahun 1948, wilayah Kasultanan Yogyakarta mulai melaksanakan pemerintahan formal. Sesuai dengan UU no. 22 Tahun 1948, penyebutan wilayah Kabupaten Sleman adalah Kabupaten Sleman.
Pada tahun 1950 Bupati KRT Projodiningrat digantikan oleh KRT Dipodiningrat hingga tahun 1955. Selanjutnya, KRT Dipodiningrat digantikan oleh KRT Prawirodiningrat, yang menjabat Bupati Sleman hingga tahun 1959.
Pada masa itu pemerintah RI mengeluarkan UU no. 1 tahun 1957 mengenai Pembagian Daerah Republik Indonesia dan Aturan Otonomi Daerah, maka penyebutan Kabupaten Sleman berubah menjadi daerah Swatantra. Sebagai implementasinya Departemen Dalam Negeri menerbitkan peraturan bahwa selain memiliki seorang Bupati yang diangkat secara sektoral sebagai pegawai Kementrian Dalam Negeri, Kabupaten juga harus memiliki kepala daerah yang dipilih legislatif (DPRD).
Dengan kata lain, dalam periode pemerintahan ini, sebuah kabupaten memiliki 2 (dua) Kepala Daerah. Terpilih sebagai Kepala Daerah Swatantra adalah Buchori S. Pranotodiningrat. Seiring terbitnya Penetapan Presiden no. 6 Tahun 1959 dan no. 5 Tahun 1960, untuk memberlakukan kembali UUD 1945, pemerintahan Kabupaten Sleman kembali dikepalai seorang Bupati/Kepala Daerah, yang dijabat oleh KRT. Murdodiningrat.
Periode 1964-Sekarang
Pada tahun 1964, KRT Murdodiningrat memindahkan pusat pemerintahan ke Dusun Beran, Desa Tridadi Kecamatan Sleman. Lokasinya menempati bangunan kantor Bappeda Sleman (sekarang). Pada masa ini pula Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman mulai memiliki lambang daerah.
Munculnya UU no. 18 tahun 1965 mengenai Hak Otonomi Daerah ditindaklanjuti DPRD Gotong Royong Daerah Tingkat II Sleman dengan menerbitkan SK. no. 19/1966 yang mengubah sebutan Pemerintah Daerah Tingkat II Sleman menjadi Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman, dan DPRD Gotong Royong Tingkat II Sleman menjadi DPRD Gotong Royong Kabupaten Sleman. Pada masa tersebut ketua DPRD Gotong Royong dijabat Soekirman Tirtoatmodjo.
Seiring berakhirnya masa keanggotaan DPRD Gotong Royong pada tahun 1971, jabatan ketua DPRD digantikan oleh Soelanto. Selanjutnya pada tahun 1974, UU no. 18 tahun 1965 digantikan UU no. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah. Berorientasi pada Undang-undang ini pemerintahan daerah Sleman menggunakan penyebutan Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Sleman.
Pada tahun 1974 KRT. Murdodiningrat digantikan oleh KRT Tedjo Hadiningrat, yang hanya menjabat selama 3 bulan. Selanjutnya posisi bupati dijabat Drs. KRT. H. Prodjosuyoto Hadiningrat, yang menjabat 2 periode (th.1974-1985) dengan 2 kali penggantian ketua DPRD. Pada tahun 1977, posisi Soelanto sebagai ketua DPRD digantikan oleh R. Soelarjo hingga tahun 1982, yang selanjutnya digantikan Samingan H.S.
Pada tahun 1985 Drs. KRT. H. Prodjosuyoto Hadiningrat digantikan Drs. Samirin, yang menjabat selama satu periode (1985-1990). Pada masa jabatannya, Drs. Samirin mengalami sekali pergantian ketua DPRD Sleman yakni pada tahun 1987, Samingan H. S. digantikan Letkol. Sudiyono, yang menjabat 2 periode masa jabatan (1987-1997).
Sumber : Pemerintah Kab. Sleman
Lokasi dan Batas Wilayah
Kabupaten ini berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah di utara dan timur, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Bantul, dan Kota Yogyakarta di selatan, serta Kabupaten Kulon Progo di barat. Pusat pemerintahan di Kecamatan Sleman, yang berada di jalur utama antara Yogyakarta - Semarang.
Sleman sempat diturunkan statusnya menjadi distrik di bawah wilayah Kabupaten Yogyakarta. Dan baru pada tanggal 8 April 1945, Sri Sultan Hamengkubuwono IX melakukan penataan kembali wilayah Kasultanan Yogyakarta melalui Jogjakarta Koorei angka 2 (dua). Penataan ini menempatkan Sleman pada status semula, sebagai wilayah Kabupaten dengan Kanjeng Raden T umenggung Pringgodiningrat sebagai bupati. Pada masa itu, wilayah Sleman membawahi 17 Kapenewon/Kecamatan (Son) yang terdiri dari 258 Kalurahan (Ku). Ibu kota kabupaten berada di wilayah utara, yang saat ini dikenal sebagai desa Triharjo. Melalui Maklumat Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 tahun 1948 tentang perubahan daerah-daerah Kelurahan, maka 258 Kelurahan di Kabupaten Sleman saling menggabungkan diri hingga menjadi 86 kelurahan/desa. Kelurahan/Desa tersebut membawahi 1.212 padukuhan.
Pusaka dan Identitas Daerah
Kyai Turunsih
Kabupaten Sleman memiliki tombak "Kyai Turunsih Tangguh Ngayogyakarto", pemberian dari Raja Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X pada Sabtu Kliwon 15 Mei 1999 (Tanggal Jawa, 29 Sapar 1932 Ehe). Penyerahan Pusaka tersebut kepada Bupati Sleman, dikawal 2 bergada prajurit Kraton Yogyakarta yakni Bregada Ketanggung berbendera Cakraswandana dan Bregada Mantrijero berbendera Purnamasidi. Pusaka itu dibawa seorang abdi Keraton Yogyakarta, KRT Pringgohadi Seputra.
Tombak Kyai Turunsih memiliki dhapur (pangkal) cekel beluluk Ngayogyakarta dan pamor beras wutah (wos wutah) wengkon. Pamor pusaka itu sesuai kondisi Sleman sebagai gudang berasnya Daerah Istimewa Yogyakarta. Tombak tersebut memiliki panjang sepanjang kurang lebih 270 cm dan pangkal sepanjang 49 cm.
Menurut Sri Sultan Hamengku Buwono X, Tombak Kyai Turunsih mengisyaratkan laku ambeg paramarta, dijiwai olah rasa kasih sayang, yang mencakup wilayah se Kabupaten Sleman sebagaimana sebuah keluarga besar yang harmonis, mulat sarira sesuai hari jadinya 'Anggana Catur Sarira Tunggal' yang terbaca tahun 1846 Jawa. Candra Sengkala tersebut mengemukakan sikap kearifan tradisional di empat penjuru yang manunggal pada jiwa kesatuan, yang menjadi unsur kasepuhannya.
Salak Pondoh
Salak Pondoh (Sallaca edulis Reinw cv Pondoh) dalam kajian ilmiah termasuk divisi Spermatophyta (tumbuhan berbiji) dengan sub divisi Angiospermae (berbiji tertutup). Sedangkan klasifikasi kelasnya adalah Monocotyledoneae (biji berkeping satu), yang termasuk bangsa Arecales, suku Arecaceae Palmae (keluarga Palem) dan marga Salacca jenis Salacca edulis Reinw dengan anak jenis Salacca edulis Reinw cv Pondoh.
Tanaman ini dipilih menjadi flora identitas Kabupaten Sleman karena merupakan jenis tanaman Salak khas di wilayah Sleman dan telah menjadi kebanggaan masyarakat Sleman. Awalnya, Partodiredjo, seorang Jogoboyo desa pada Kapanewon Tempel, pada tahun 1917 menerima kenang-kenangan empat butir biji salak dari seorang warga negara Belanda yang akan kembali ke negerinya karena masa tugasnya telah berakhir. Biji Salak yang kemudian ditanam dan dibudidayakannya dengan baik ternyata menghasilkan buah yang manis dan tidak sepat, tidak seperti buah Salak yang selama itu dikenalnya. Pada tahun 1948-an tanaman Salak tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Muhadiwinarto (putra Partodiredjo) warga Sokobinangun, Merdikorejo, Tempel. Karena kelebihannya dalam hal rasa, tanaman salak tersebut cepat berkembang pesat penyebarannya.
Burung Punglor
Burung Punglor (Zootheria Citrina) yang tergolong Vertebrata marga Zootheria, bangsa passeriformes, suku Turdidae, dan kelas Aves ini memiliki bulu yang indah. Habitat Punglor adalah hutan sekunder dataran rendah dan dataran yang memiliki ketinggian hingga 900 M di atas permukaan air laut.
Di wilayah Sleman, burung yang bersuara merdu ini berhabitat kebun Salak Pondoh. Dengan makanan utama cacing tanah dan kumbang (uret), Punglor merupakan predator bagi hama tanaman Salak Pondoh.
Tempat wisata
Candi Prambanan
Candi Ratu Boko
Kaliurang
Monumen Yogya Kembali
Museum Affandi
Museum Dapur Tradisional
Museum Gunung Merapi
Museum Ullen Sentalu
Stadion Maguwoharjo
Bupati
KRT. Pringgodiningrat (1945-1947)
KRT. Projodiningrat (1947-1950)
KRT. Dipodiningrat (1950-1955)
KRT. Prawirodiningrat (1955-1959)
KRT. Murdodiningrat (1959-1974)
KRT. Tedjo Hadiningrat (1974 / 3 Bulan)
Drs. KRT. H. Prodjosuyoto Hadiningrat (1974-1985)
Drs. Samirin (1985-1990)
H. Arifin Ilyas (1990-2000)
Drs. Ibnu Subiyanto, Akt. (2000-2009)
Drs. H. Sri Purnomo, M.Si. (2009-2010/Plt Bupati)
Drs. H. Sri Purnomo, M.Si. (2010-2015)
Tokoh Terkenal
Seto Nurdiantoro, Pesepak Bola Nasional
Mbah Maridjan, Juru Kunci Merapi
Mubyarto, Ekonom Indonesia
Leo Sukoto, Uskup Agung
Doni Tata Pradita, Pebalap Indonesia
Muchdi Purwoprandjono, Komandan Jendral Kopassus
Wifqi Windarto, Pebulu Tangkis Nasional
Wahidin Soedirohoesodo, Pahlawan Nasional Indonesia
M. Arief Budiman, Ilmuwan
Sayuti Melik, Pengetik Naskah Proklamasi Kemerdekaan RI
Eross Candra, Musisi, Personil Sheila On 7
Akhdiyat Duta Modjo, Musisi, Personil Sheila On 7
Affandi, Maestro Seni Lukis Indonesia
Pendidikan Tinggi
Universitas :
UGM - Universitas Gajah Mada
UNY - Universitas Negeri Yogyakarta
UAJY - Universitas Atma Jaya Yogyakarta
UIN - Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
UPN - Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta
UII - Universitas Islam Indonesia
USD - Universitas Sanata Dharma
UP 45 - Universitas Proklamasi 45
UKRIM - Universitas Kristen Immanuel
UNRIYO - Universitas Respati Yogyakarta
UTY - Universitas Teknologi Yogyakarta
Misteri Desa Kasuran Sleman Yogyakarta
Dusun Kasuran merupakan salah satu daerah unik di tanah air. Di dusun yang masuk wilayah Sleman ini, seluruh penduduknya tidur tanpa kasur. Mereka tidak berani melanggar karena takut terkena musibah.
Namanya Dusun Kasuran. Letaknya di Desa Margodadi, Kecamatan Seyegan, Sleman, Jogjakarta. Luasnya sekitar 17 hektare. Dusun tersebut berpenduduk 618 jiwa dengan 68 kepala keluarga (KK). Dari Kota Jogjakarta, perjalanan bisa ditempuh dalam waktu sekitar satu jam.
Sekilas tidak ada yang berbeda dengan dusun-dusun lain. Mayoritas rumah warga sudah beratap genting dengan dinding batu bata. Pasokan listrik pun cukup memadai. Hampir setiap rumah memiliki televisi dan lemari pendingin. Jalanan dusun juga beraspal.
Yang membedakan Kasuran dengan dusun yang lain adalah kepercayaan dan kebiasaan penduduknya. Meski bernama Kasuran, hampir tidak ada penduduk dusun itu yang tidur beralas kasur. Mereka tidur di atas dipan kayu atau hanya di atas tikar. Hanya segelintir penduduk yang memakai kasur busa. ’’Asal ndak pakai kasur berbahan kapuk, ya ndak papa. Akhirnya ada yang diganti pakai kasur busa, tetapi itu pun jumlahnya sedikit sekali. Hanya 10 persen dari jumlah penduduk,” jelas Kepala Dusun Wartilah ketika ditemui di kediamannya kemarin (2/1).
Wartilah menuturkan, dusunnya memang memiliki kepercayaan kuat terkait larangan menggunakan kasur sebagai alas tidur. Kepercayaan tersebut sudah berlangsung turun-temurun sejak ratusan tahun lalu. Kepercayaan unik itu tidak luntur hingga kini. Meski tidak ada aturan tertulis, penduduk Dusun Kasuran, baik yang muda maupun yang sepuh, benar-benar patuh pada kepercayaan tersebut.
Ketika mengunjungi beberapa rumah warga, semua kamar tidur memang hanya memakai dipan beralas tikar. Bahkan, ada yang tidur langsung di lantai beralas tikar. Jumari, salah seorang warga, menuturkan, dirinya dan keluarga tetap merasa nyaman meski tidur tanpa kasur. ’’Saya selama hidup ndak pernah tidur pakai kasur. Rasanya tetap nyaman walaupun tidur di atas tikar atau dipan,” ujarnya.
Alasan lain Jumari dan keluarga untuk tidur tanpa kasur adalah takut melanggar kepercayaan turun-temurun tersebut. Jika kepercayaan itu dilanggar atau nekat tidur di atas kasur, mereka khawatir mendapat musibah. ’’Takut saya. Takut ada apa-apa kalau tidur di kasur,” jelas pria 50 tahun itu. http://anedidunia.blogspot.com
Hal tersebut dibenarkan Wartilah. Perempuan 49 tahun ini mengungkapkan, telah banyak kejadian janggal saat ada warganya yang melanggar kepercayaan tersebut. Tidak hanya satu atau dua kasus, tetapi ratusan kasus terjadi hanya gara-gara warganya tidur di atas kasur. ’’Ini percaya atau tidak percaya, tetapi banyak kejadian. Mulai mati muda, ada yang gila sampai sekarang, ada yang buta. Mereka tidak percaya,” tuturnya.
Wartilah yang sudah 20 tahun menjadi kepala dusun itu mencontohkan, ada seorang bidan yang berpraktik di kawasan dusun itu. Untuk memeriksa pasien, bidan tersebut menggunakan kasur di ruang praktik, seperti layaknya bidan lain. Bidan muda itu memiliki dua putra. Sejak kecil hingga dewasa, dua putranya gemar bertengkar hebat hingga ingin saling bunuh.
’’Itu terus terjadi dari kecil sampai mereka besar. Saya pernah kok disuruh misah mereka gara-gara mereka pegang celurit sama pisau dapur. Setelah dikasih tahu sesepuh desa untuk membuang kasurnya, kedua anaknya itu ya jadi akur,” kenang Wartilah.
Ibu tiga anak itu menuturkan, aturan untuk menghindari kasur tersebut juga berlaku bagi para pendatang atau tamu yang berkunjung ke dusun itu. Wartilah mengisahkan, pernah ada seorang pendatang, pembantu rumah tangga yang baru pertama tinggal di dusunnya. Pembantu tersebut sudah diperingatkan sang majikan untuk tidak tidur di kasur. Namun, dia tak menghiraukan larangan tersebut. Pada malam pertama dia tidur di kasur tidak ada yang terjadi. Namun, keesokan harinya, kasur beserta sang pembantu sudah berada di langit-langit kamar. Kasur tersangkut di kayu penyangga langit-langit. ’’Dia teriak-teriak. Banyak orang kok waktu itu yang mbantu nurunkan dia dari atap,” katanya. http://anedidunia.blogspot.com
Ada juga kisah seorang bayi yang tiba-tiba sakit setelah ditidurkan di kasur. Si bayi kecil tersebut mengalami panas dan kejang. Dia juga menjerit-jerit. ’’Tetapi setelah sama budenya si anak itu ditidurkan di lantai, langsung panasnya hilang, tidurnya pulas,” urainya.
Menurut Wartilah yang mendapat cerita secara turun-temurun, larangan tidur di kasur itu merupakan perintah Sunan Kalijaga. Menurut cerita para sesepuh, suatu ketika, Sunan Kalijaga singgah di Dusun Kasuran. Penyebar Islam pada zaman Kerajaan Demak itu mampir di kawasan Grogol, tidak jauh dari Kasuran, saat waktu Duhur. Ketika akan berwudu, dia tidak menemukan air. Lantas, Sunan Kalijaga menghantamkan tongkatnya ke tanah dan secara ajaib air keluar dari tanah. ”Mata air tersebut lalu dinamakan Tuksibeduk,” kisah Wartilah.
Sesudah salat, lanjut dia, sang sunan merasa lelah dan akhirnya mampir di Dusun Kasuran. Di sana, dia meminta pada sesepuh Dusun Kasuran, Kiai dan Nyai Kasur, untuk menyediakan kasur buat beristirahat sejenak. Setelah segar kembali, sunan berpesan pada Kiai dan Nyai Kasur agar menyuruh penduduknya untuk tidak bermalas-malasan, apalagi tidur di kasur. ’’Anak cucu saya jangan tidur di kasur. Boleh tidur di kasur kalau kesaktiannya sudah sepadan atau melebihi saya,” ujar Warsilah menirukan ucapan Sunan Kalijaga seperti yang dituturkan turun-temurun.
Sejak saat itu, seluruh penduduk Dusun Kasuran memegang erat kepercayaan tersebut. Mereka tidak pernah tidur di kasur. Para penduduk pun sudah paham konsekuensinya jika melanggar kepercayaan tersebut. Karena itu, lanjut Wartilah, setiap ada penjual kasur lewat di dusun itu, tidak pernah beruntung. ’’Saya bilang, oalah Pak, ngantos sedino nggih mboten payu kasure (meski sampai sehari ya nggak bakal laku kasurnya, Red),” ujar Wartilah lantas terbahak.
Sejarah Yang tak tertulis
Apakah anda termasuk yg suka sejarah?? ternyata tidak semua sejarah harus berupa data tertulis,berupa relief..tapi banyak bekas peninggalan-peninggalan yg sekarang kita nikmati ternyata menyimpan sejarah yang tak tertulis.
Begitulah sejarah dan para pahlawannya,para pejuang dan pahlawan tidak semuanya mencatat sejarah,namun hampir sebagian besar sejarah ditulis oleh pemegang kekuasaan atau sang pemenang perang.seandainya negeri kita ini dimenangkan oleh belanda,sangat mungkin sejarah-sejarah Indonesia akan dihilangkan terutama yang menyangkut hal-hal yg merugikan pihak mereka.
sama juga ketika kita mempelajari sejarah zaman orde baru yg ternyata tidak sesuai dengan fakta.
Sebagai contoh,apakah anda tahu kota sleman di daerah istimewa Yogyakarta??
Namun sejarah yang tak tertulis mengatakan bahwa nama “Sleman” diambil dari nama seorang aulia atau wali yang menyebarkan dakwah di sekitar daerah tersebut yang susur galur nasabnya menyambung sampai kepada Rasulullah SAW atau yang kita kenal dengan sebutan Habib atau sayyid.( wallahualam bishshawab )
Nama Sleman diambil dari nama beliau,yaitu Sayyid Sulaiman Mojoagung (bergelar pangeran kanigara ) Bin Abdurrahman Tajudin basyaiban dan para anak keturunannya banyak yang menjadi pejabat keraton Yogyakarta yang kurang lebih pada masa Sri sultan Hamengkubuwono II.
Dan ini bisa dibuktikan dengan adanya makam para anak keturunannya di komplek keraton dan beberapa lainnya tersebar di wilayah Pekalongan,Sidoresmo dan Magelang (Tepatnya di makam Khusus Keluarga Basyaiban di Payaman Kab.magelang dan di makam tersebut bersemayam makam Terkenal Kepala Regent magelang pertama atau istilah sekarang adalah Bupati Pertama Magelang yaitu Sayyid Alwi bin Ahmad Basyaiban yg bergelar Raden Ngabei Danoeningrat I).
Mungkin kebiasaan lidah jawa maka menyebut Nama Sayyid Sulaiman dengan sebutan “Sleman” saja hingga sekarang menjadi sebuah Kota yang ramai.
Dan Napak tilas Sayyid Sulaiman Mojoagung basyaiban ini ternyata masih bisa kita lihat di kota Jogjakarta dengan adanya suatu wilayah atau kecamatan Danurejan, karena nama “Danurejan” aslinya berasal dari salah satu anak keturunan dari Sayyid Sulaiman ini yang bernama Sayyid Ahmad bin Muhammad Said bin Abdul wahab bin Sulaiman Basyaiban yg bergelar Pangeran Danurejo krn menjadi salah satu menantu keraton Jogjakarta.
Dan dari pangeran Danurejo atau Sayyid Ahmad Basyaiban inilah lahir Bupati Pertama Magelang yg bergelar Raden Ngabei Danoeningrat I atau Sayydi Alwi Basyaiban yang meninggal pada Tahun 1825.
Mungkin sudah seharusnya kalau masyarakat kota Sleman juga ikut berterima kasih kepada Sayyid Sulaiman Mojoagung Basyaiban ini salah satunya dengan berziarah ke MojoAgung Jawa Timur tempat beliau dimakamkan yang tak pernah sepi peziarah dari berbagai belahan kota di Indonesia bahkan dari mancanegara.
Apa yg saya tulis ini salah satunya karena saya juga sangat mengenal dengan para anak keturunan Sayyid Sulaiman MojoAgung basyaiban yang tersebar di Tiga kota besar, Yaitu Magelang,Sidoresmo dan Pekalongan yang tergabung dalam Suatu wadah Silaturrahmi Ittihad Ansaab Basyaiban atau disingkat IAB yang berpusat di jakarta namun ada 3 cabang di Kota besar tersebut.
Selain itu mungkin anda juga kurang paham bahwa dulu sejarah pernah mencatat di Pasuruan Jawa timur di masa penjajahan ada pasukan yg kita kenal dengan “sebutan arek-arek suroboyo” ternyata mereka juga satunya dipimpin oleh para anak keturunan dari Sayyid Sulaiman Basyaiban ini juga
wallahualam bishshawab...

0 komentar:

SEJARAH CANDI BOROBUDUR

sesuai kajian Islam VERSI KH FAHMI BASYA. Menurut sebuah penelitian oleh Pak KH Fahmi Basya memperoleh kesimpulan bahwa kisah nabi...