SEJARAH NGAWI


Ngawi berasal dari kata “AWI” yang artinya bambu yang selanjutnya mendapat tambahan huruf sengau “Ng” menjadi “NGAWI” . Seperti halnya dengan nama-nama di daerah-daerah lain yang banyak sekali nama-nama tempat (desa) yang di kaitkan dengan nama tumbuh-tumbuhan.
Demikian pula halnya dengan ngawi yang berasal dari “awi” menunjukkan suatu tempat yaitu sekitar pinggir ”Bengawan Solo” dan ”Bengawan Madiun” yang banyak tumbuh pohon “awi”. Tumbuhan “awi” atau “bambu” mempunyai arti yang sangat bernilai, yaitu :
1. Dalam kehidupan sehari-hari Bambu bagi masyarakat desa mempunyai peranan penting apalagi dalam masa pembangunan ini.
2. Dalam Agama Budha , hutan bambu merupakan tempat suci :
- Raja Ajatasatru setelah memeluk agama Budha, ia menghadiahkan sebuah ” hutan yang penuh dengan tumbuh-tumbuhan bambu” kepada sang Budha Gautama.
- Candi Ngawen dan Candi Mendut yang disebut sebagai Wenu Wana Mandira atau Candi Hutan Bambu (Temple Of The Bamboo Grove), keduanya merupakan bangunan suci Agama Budha.
3. Pohon Bambu dalam Karya Sastra yang indah juga mampu menimbulkan inspirasi pengandaian yang menggetarkan jiwa.
Dalam Kakawin Siwara Trikalpa karya Pujangga Majapahit ”Empu Tanakung” disebut pada canto (Nyanyian) 6 Bait 1 dan 2, yang apabila diterjemahkan dalam bahasa indonesia, lebih kurang mempunyai arti sebagai berikut :
- Kemudian menjadi siang dan matahari menghalau kabut, semua kayu-kayuan yang indah gemulai mulai terbuka, burung-burung gembira diatas dahan saling bersaut – sautan bagaikan pertemuan Ahli Kebatinan (Esoteric Truth) saling berdebat.
- Saling bercinta bagaikan kayu – kayuan yang sedang berbunga, pohon bambu membuka kainnya dan tanaman Jangga saling berpelukan serta menghisap sari bunga Rara Malayu, bergerak-gerak mendesah, Pohon Bambu saling berciuman dangan mesranya.
4. ”awi” atau ”bambu” dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia mempunyai nilai sejarah, yaitu dalam bentuk ”bambu runcing” yang menjadi salah satu senjata untuk melawan dan mengusir penjajah yang tenyata senjata dari ”bambu” ini ditakuti dari pihak lawan (digambarkan yang ”terkena” akan menderita sakit cukup lama dan ngeri).
Pada masa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia ini ada juga ”bambu runcing” yang dikenal dan disebut dengan ”Geranggang Parakan”. Dengan demikian jelaslah bahwa ”ngawi” berasal dari ”awi” atau ”bambu”, Sekaligus menunjukkan lokasi Ngawi sebagai ”desa” di pinggir Bengawan Solo dan Bengawan Madiun.
SEJARAH HARI JADI NGAWI
Penelusuran Hari jadi Ngawi dimulai dari tahun 1975, dengan dikeluarkannya SK Bupati KDH Tk. II Ngawi Nomor Sek. 13/7/Drh, tanggal 27 Oktober 1975 dan nomor Sek 13/3/Drh, tanggal 21 April 1976. Ketua Panitia Penelitian atau penelusuran yang di ketuai oleh DPRD Kabupaten Dati Ii Ngawi. Dalam penelitian banyak ditemui kesulitan-kesulitan terutamanarasumber atau para tokoh-tokoh masayarakat, namun mereka tetap melakukan penelitian lewat sejarah, peninggalalan purbakala dan dokumen-dokumen kuno.
Didalam kegiatan penelusuran tersebut dengan melalui proses sesuai dengan hasil sebagai berikut ;
Pada tanggal 31 Agustus 1830, pernah ditetapkan sebagai Hari Jadi Ngawi dengna Surat Keputusan DPRD Kabupoaten Dati II Ngawi tanggal 31 Maret 1978, Nomor Sek. 13/25/DPRD, yaitu berkaitan dengan ditetapkan Ngawi sebagai Order Regentschap oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Pada tanggal 30 September 1983, dengan Keputusan DPRD Kabupaten Dati II Ngawi nomor 188.170/2/1983, ketetapan diatas diralat dengan alas an bahwa tanggal 31 Agustus 1830 sebagai Hari Jadi Ngawi dianggap kurang Nasionalis, pada tanggal dan bulan tersebut justru dianggap memperingati kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda.
Menyadari hal tersebut Pada tanggal 13 Desember 1983 dengan Surat Keputusan Bupati KDH Tk. II Ngawi nomor 143 tahun 1983, dibentuk Panitia/Tim Penelusuran dan penulisan Sejarah Ngawi yang diktuai oleh Drs. Bapak MOESTOFA.
Pada tanggal 14 Oktober di sarangan telah melaksanakan simposium membahas Hari Jadi Ngawi oleh Bapak MM.Soekarto K Atmodjo dan Bapak MM. Soehardjo Hatmosoeprobo dengan hasil symposium tersebut menetapkan ;
Menerima hasil penelusuran Bapak Soehardjo Hatmosoeprobo tentang Piagam Sultan Hamengku Buwono tanggal 2 Jumadilawal 1756 Aj, selanjutkan menetapkan bahwa pada tanggal 10 Nopember 1828 M, Ngawi ditetapkan sebagai daerah Narawita (pelungguh) Bupati Wedono Monco Negoro Wetan. Peristiwa tersebut merupakan bagian dari perjalanan Sejarah Ngawi pada jaman kekuasaan Sultan Hamengku Buwono.
Menerima hasil penelitian Bapak MM. Soekarto K. Atmodjo tentang Prasasti Canggu tahun 1280 Saka pada masa pemerintahan Majapahit di bawah Raja Hayam Wuruk. Selanjutmya menetapkan bahwa pada tanggal 7 Juli 1358 M, Ngawi ditetapkan sebagai Naditirapradesa (daerah penambangan) dan daerah swatantra. Peristiwa tersebut merupakan Hari Jadi Ngawi sepanjang belum diketahui data baru yang lebih tua.
Melalui Surat Keputusan nomor : 188.70/34/1986 tanggal 31 Desember 1986 DPRD Kabupaten Dati II Ngawi telah menyetujui tentang penetapan Hari Jadi Ngawi yaitu pada tanggal 7 Juli 1358 M. Dan ditetapkan dengan Surat Keputusan Bupati KDH Tk. II Ngawi No. 04 Tahun 1987 pada tanggal 14 Januari 1987. Namun Demikian tidak menutup kemungkinan untuk melakukan penelusuran lebih lanjut serta menerima masukan yang berkaitan dengan sejarah Ngawi sebagai penyempurnaan di kemudian hari.
SEPOTONG CERITA DARI ALAS KETONGGO
oleh : Umi Rosyidah (@yum_mey)
Wilayah Kabupaten Ngawi sebenarnya kaya akan potensi tempat wisata yang bisa diperdayakan. Satu di antaranya adalah Alas Ketonggo. Tempat ini adalah hutan dengan luas 4.846 meter persegi, yang terletak 12 KM arah selatan dari Kota Ngawi, Jawa Timur. Menurut masyarakat Jawa, Alas Ketonggo ini merupakan salah satu dari alas angker atau ‘wingit’ di tanah Jawa. Kepercayaanya, di tempat ini terdapat kerajaan makhluk halus. Sedangkan satu hutan lainnya yang juga dianggap angker adalah Alas Purwa yang terletak di Banyuwangi, Jawa Timur. Alas Purwa disebut sebagai Bapak, sedangkan Alas Ketonggo disebut sebagai Ibu. Kawasan Alas Ketonggo mempunyai tempat pertapaan, di antaranya Palenggahan Agung Srigati.
Eyang Srigati adalah Priyagung, seorang begawan dari Benua Hindia yang datang ketanah jawa. Beliaulah yang menurunkan Kerajaan-kerajaan di Indonesia mulai dari Pajajaran, Majapahit, Mataram dan seterusnya. Semua kisah Spiritual tertuang di Punden Srigati yang terdapat di desa Babatan kec. Paron. Kab. Ngawi.
Hutan Ketonggo, demikian sebutan masyarakat Ngawi untuk hutan yang terletak 12 kilometer arah selatan Kota Ngawi itu. Meski sebetulnya sama dengan hutan-hutan lainnya, namun Ketonggo lebih kesohor dibanding hutan-hutan lain di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Apa yang membuat Ketonggo termasyhur? Sampai-sampai kesebelasan perserikatan Ngawi yakni Persatuan Sepak Bola Ngawi (Persinga), dijuluki “Laskar Ketonggo”?
Lokasi Pesanggrahan Srigati yang terletak 12 km arah barat daya Kota Ngawi, tepatnya di Desa Babadan Kecamatan Paron, dapat ditempuh dengan berbagai macam kendaraan bermotor. Pesanggrahan Srigati merupakan obyek wisata spiritual yang menurut penduduk setempat adalah pusat keraton lelembut / makhluk halus. Dilokasi ini terdapat petilasan Raja Brawijaya. Pada hari-hari tertentu seperti Jum’at Pon dan Jum’at Legi pada bulan Syuro, Pesanggrahan Srigati banyak dikunjungi oleh para pesiarah untuk menyaksikan diselenggarakannya upacara ritual tahunan “Ganti Langse” sekaligus melaksanakan tirakatan / semedi untuk ngalap berkah.
Orbitasi :
Dengan ruas jalan Kabupaten Kecamatan Paron 6 Km
Dengan ruas jalan Provinsi Km 6 ( Ngawi – Solo )
Dengan Kota Ngawi 12 Km
Terdapat legenda seputar keberadaan alas Ketonggo. Konon tempat ini dulunya adalah tempat peristirahatan Prabu Brawijaya V setelah lari dari kerajaan Majapahit karena kerajaan diserbu oleh bala tentara Demak dibawah pimpinan Raden Patah.
Dikisahkan, ditempat itulah dalam perjalananya ke Gunung Lawu, Prabu Brawijaya V melepas semua tanda kebesaran kerajaan (jubah, mahkota, dan semua benda Pusaka), namun kesemuanya raib atau mukso. Petilasan Prabu Brawijaya V ini ditemukan mantan Kepala Desa Babadan, Somo Darmojo (alm) tahun 1963 berupa gundukan tanah yang tumbuh setiap hari dan mengeras bagaikan batu karang. Kemudian tahun 1974 didatangi Gusti Dorojatun IX dari Kasunanan Surakarta yang menyatakan bahwa petilasan tersebut bagian dari sejarah Majapahit dan petilasan tersebut diberi nama Palenggahan Agung Srigati. Palenggahan Agung Srigati ini terdapat berbagai benda-benda yang secara simbolik melambangkan kebesaran Kerajaan Majapahit, baik berupa mahkota raja, tombak pusaka, gong, dan lain-lainnya.
Di dalam ruangan ini sangat pekat aroma dupa dan wangi bunga, hal yang sangat wajar kita temukan di sebuah tempat sakral. Dupa dan taburan bunga ini berasal dari para pengunjung. Mbah Marji (juru kunci) menerangkan bahwa ”Gundukan tanah tersebut biasanya terus tumbuh dan bertambah tinggi, tapi pada saat tertentu tidak tumbuh,” terangnya. Gundukan tanah tersebut bisa dipercaya dijadikan pertanda pada bumi Indonesia.
Keberadaan Pesanggrahan Srigati-sebuah obyek wisata spiritual di Ketonggo merupakan sebab utama kemasyhuran hutan seluas 4.846 meter persegi itu. Kepercayaan masyarakat yang menganggap Ketonggo sebagai pusat keraton lelembut atau makhluk halus, dikukuhkan dengan banyaknya tempat-tempat pertapaan yang mistik dan sakral. Menurut catatan, di Ketonggo terdapat lebih dari 10 tempat pertapaan. Mulai dari Pesanggrahan Agung Srigati, Pundhen Watu Dhakon, Pundhen Tugu Mas, Umbul Jambe, Pundhen Siti Hinggil, Kali Tempur Sedalem, Sendang Drajat, Sendang Panguripan, Sendang Mintowiji, Kori Gapit, dan Pesanggrahan Soekarno.
Memasuki hutan Ketonggo, para tamu langsung dapat melihat Pesanggrahan Agung Srigati, berupa sebuah rumah kecil berukuran 4×3 meter. Di dalamnya terdapat gundukan tanah, yang dari hari ke hari terus tumbuh, sehingga makin lama makin banyak. Dinding rumah itu dikitari bendera panjang Merah-Putih. Khas tempat sakral, Pesanggrahan Srigati pekat dengan bau dupa. Di sekitar tanah, yang terlindung atap rumah itu, juga berserakan bunga tabur yang selalu disebarkan para tamu.
“Seperti pada saat terjadi krisis moneter 1997, sebelumnya gundukan tanah tersebut tidak tumbuh, sehingga sama sekali tidak ada gundukan yang menyembul ke permukaan,” Mbah Marji mengisahkan sebelum terjadi semburan lumpur Lapindo Sidoarjo, dan gelombang Tsunami Aceh, gundukan tanah tersebut terlihat ‘cekung’, katanya, sembari mengungkapkan bahwa tanah itu selalu dibawa tamu yang bertapa di situ, sehingga selalu berkurang sedikit demi sedikit.
Pada hari-hari tertentu, seperti Jumat Pon dan Jumat Legi, serta pada bulan Suro dalam kalender Jawa, ribuan masyarakat Jawa maupun luar Jawa mendatangi tempat ini berbondong-bondong ke pesanggrahan ini untuk merenung, tirakat dan berdo’a pada Sang Khaliq.. Pada saat-saat yang dianggap keramat itu, warga berdoa dan bertapa untuk meminta berkah. Baik itu berkah karier atau jabatan, keselamatan, kesehatan, jodoh, dan sebagainya.Seperti pengakuan Iwan (38) warga Purwokerto, Jawa Tengah. ”Saya di sini sudah 4 bulan untuk merenung dan mencari petunjuk tentang jati diri ,” tuturnya.
Tak hanya di Srigati. Beberapa lokasi sakral lain di Ketonggo, juga diyakini dapat mengantarkan mereka menuju cita-cita yang diinginkan. Misalnya, mandi di Kali Tempur Sedalem, sebuah sendang yang merupakan pertemuan dua sungai, dan sesudah itu memanjatkan doa di tugu di dekatnya, diyakini harapannya akan dapat terwujud. Adapun Pesanggrahan Soekarno, disebut demikian karena konon Presiden pertama RI Ir Soekarno pernah bertapa di tempat itu. Dikisahkan, ada seseorang tak dikenal yang pernah membawa foto Bung Karno yang sedang bertapa di tempat berdirinya Pesanggrahan Soekarno sekarang ini. Orang itu membawa foto Bung Karno bertapa tersebut, tahun 1977.
Setelah melalui beberapa pertimbangan, akhirnya sejumlah tokoh tua Ngawi menyepakati titik di mana Bung Karno bersemedi di Ketonggo itu dijadikan Pesanggrahan Soekarno. Dibanding Pesanggrahan Srigati, Pesanggrahan Soekarno terlihat lebih sederhana. Hanya ada lima tonggak yang menopang bilik kecil beratap asbes yang tanpa dinding itu. Di tengahnya ada beberapa batu.
Pesanggrahan Srigati yang masuk wilayah Desa Babadan, Kecamatan Paron, Kabupaten Ngawi, konon adalah tempat beristirahat Prabu Brawijaya, setelah kalah perang dari Raden Patah, tahun 1293. “Sebelum berkembang menjadi pesanggrahan dengan dibangunnya rumah kecil ini pada tahun 1975, dulu gundukan tanah ini dikenal sebagai petilasan Prabu Brawijaya dari Kerajaan Majapahit,” ujar Marji.
Sebagai tempat sakral, banyak kisah-kisah unik yang terjadi di Alas Ketonggo, terutama ketika muncul perubahan situasi politik nasional. Marji mengisahkan, saat Soeharto akan lengser pada 21 Mei 1998, sebuah pohon jati di Ketonggo tiba-tiba mengering. “Kemarin-kemarin, pohon itu tumbuh seperti biasa. Waktu Pak Harto lengser, tiba-tiba mati dan mengering,” katanya.
Pada 23 hari sebelum Ny Tien Soeharto meninggal, juga ada kejadian aneh. Sebuah dahan pohon besar di Ketonggo tiba-tiba patah dan jatuh ke tanah. Padahal, waktu itu tidak ada hujan dan tidak ada angin. Peristiwa unik juga terjadi saat Megawati Soekarnoputri akan dilantik menjadi Presiden RI, 23 Juli 2001. Tiga hari sebelum pengukuhan Mega sebagai presiden, ada cahaya berwarna biru dan putih, bak lampu lentera, di atas Kali Tempur Sedalem. Berhubungan atau tidaknya tanda-tanda itu dengan tampilnya Presiden Megawati, Anda boleh percaya boleh tidak.
Beberapa cerita menarik juga dialami mereka yang bertapa di Pesanggrahan Srigati. Sekarjati, seorang perempuan yang tinggal di Jakarta, usai bertapa di Srigati, terus terbayang-bayang wajah seorang perempuan cantik berpakaian kebaya. “Katanya, sampai sekian hari terus terbayang wajah itu. Akhirnya, Mbak Sekarjati melukis wajah dalam bayangan itu,” ucap Marji lagi.
Sekarang, lukisan tersebut dipajang di ruang pengunjung Pesanggrahan Srigati. Seorang perempuan cantik mengenakan kebaya, rambutnya bergelung konde, dengan bibir yang sedang mengembangkan senyum. Kesakralan Pesanggrahan Srigati dan beberapa tempat penting di hutan Ketonggo, membuat sudah banyak orang yang meminta berkah di sana. Termasuk beberapa tokoh dan pejabat di negeri ini. Sayang memang, jalan masuk menuju Pesanggrahan Srigati yang sakral itu tidak mulus. Hanya ada jalan berbatu yang bergelombang sepanjang empat kilometer lebih. Ada baiknya, perbaikan jalan menuju pesanggrahan itu segera dilakukan. Supaya tamu-tamu dari jauh dapat merasakan nikmatnya perjalanan, sebelum mereka meminta berkah di tempat mistis itu.
Alas Srigati ataupun dikenal dengan sebutan alas Ketonggo merupakan tempat yang bersejarah menurut dari legendanya. Dengan adanya daya tarik tersendiri itulah seperti biasanya pada saat 1 Muharam atau pergantian malam bulan hijriyah selalu dipadati ribuan pengunjung dari berbagai daerah. Sejak waktu mulai beranjak malam para pengunjung mulai berdatangan, mereka ada yang datang dengan cara berkelompok dan perseorangan. Terlihat dari plat nomor mobil yang dipakai pengunjung dapat dinyatakan mereka berasal mulai daerah Yogyakarta, Solo, Semarang, Surabaya dan daerah terdekat dengan Ngawi seperti Nganjuk, Kediri dan Malang.
Acara ritual yang dilakukan para pengunjung di Alas Srigati waktunya pun bervariasi mulai tengah malam sampai waktu shubuh. Dan begitu juga tempatnya berlainan karena dilokasi Alas Srigati sendiri ada sekitar 12 lebih tempat petilasan. Seperti Punden Krepyak Syeh Dombo atau Palenggahan Agung Brawijaya, Padepokan Kori Gapit, Palenggahan Watu Dakon, Sendang Drajat, Sendang Mintowiji, Goa Sido Bagus, Sendang Suro, dan Kali Tempur. Menurut juru kunci Alas Srigati, Ki Among Jati menjelaskan secara rinci, para pengunjung yang datang di Alas Srigati biasanya mereka ingin napak tilas mengenang sejarah dimana Raja Majapahit yaitu Prabu Brawijaya V singgah terlebih dahulu di Alas Srigati untuk melepaskan baju kebesarannya sebelum melanjutkan perjalanan ritual ke puncak Gunung Lawu.
Lanjut Ki Among Jati, pengunjung di Alas Srigati tidak melakukan hal-hal yang sifatnya syirik, seperti menyembah punden segala macam. Akan tetapi para pengunjung melakukan ritual mengambil tempat Alas Srigati hanya sebagai tempat perantara untuk menyambung segala permintaan kepada Allah SWT. Seperti terlihat di Palenggahan Agung Brawijaya pengunjung sambil membakar dupa sebagai bentuk permintaan dan do’a kepada Yang Maha Kuasa. ‘’Disini pengunjung mempunyai berbagai permintaan untuk dikabulkan dari Yang Maha Kuasa, seperti minta kesehatan, keselamatan dan masih banyak lagi dan jangan dianggap di Alas Srigati ini melakukan hal-hal yang menyimpang dan untuk hari biasa yang ramai dikunjungi yaitu pada hari malam Jum’at Kliwon, Jum’at Legi dan malam Selasa Kliwon’’ jelas Ki Among Jati.
Sementara kilas balik dari sejarah ditemukannya petilasan Srigati merupakan dari jasa mantan Kepala Desa Babadan pada tahun 1963 yaitu Somo Darmodjo kemudian tahun 1974 didatangai Gusti Dorodjatun IX dari Kasunanan Surakarta dan menyatakan benar bahwa petilasan Punden Krepyak Syeh Dombo merupakan bagian dari sejarah dari Majapahit. Yang saat itu Prabu Brawijaya melakukan perjalanan menuju puncak Gunung Lawu dan oleh Gusti Dorodjatun IX dinamakan dengan sebutan Srigati. Namun, dengan adanya wisata religi Alas Srigati tidak dibarengi pengembangan potensi yang ada seperti fasilitas jalan yang menuju lokasi Alas Srigati yang kondisinya sangat rusak terlihat disana-sini berlubang.
Tengah dilakukan renovasi serta pembangunan sarana dan prasarana di Alas Ketonggo. Baik sarana dan prasarana mulai di pacu pembangunannya, termasuk jalan akses serta gapura menuju Palenggahan Agung Srigati Ngawi. Meski masih dalam tahap awal pengerjaan, Alas ketonggo seluas 4,846m2 ini boleh dibilang mulai memanjakan para wisatawan yang kebanyakan berasal dari luar kota bahkan hingga luar negeri seperti Singapura dan Malaysia.
Seperti pada tanggal 5 November 2011, rombongan turis dari negeri dengan maskot patung singa ini, mendatangi Palenggahan Agung Srigati guna melakukan wisata ritual yang dipimpin langsung oleh Ki Juru Kunci, Marji. lokasi Wisata Ritual alas Ketonggo atau alas Srigati ini sekitar 12 Km dari arah Kota Ngawi tepatnya masuk Dusun Brendil, Desa Babadan Kec. Paron. “Kalau jalan menuju kelokasi serta yang lainnya nanti nampak bagus, maka saya akan berkunjung ke Srigati ini setiap tahun.” Ujar warga Singapura tersebut yang diterjemahkan oleh Pramuwisata (Guide).
Seperti yang diungkap oleh Juru Kunci, Marji bahwa dengan adanya pembangunan serta pembenahan ini, nanti akan mampu menarik perhatian Wisatawan lokal maupun domestik sehingga lebih banyak lagi yang datang.
========================
Melihat Sisa-Sisa Kekuatan Benteng Pendem Ngawi
Penulis : Louis Rika
Ngawi - Saat kaki melangkah memasuki komplek bangunannya, sisa-sisa kekuatan Benteng Van Den Bosch atau yang biasa disebut Benteng Pendem Ngawi, masih sangat terasa.
Tembok dan tiang-tiang penyangganya masih berdiri kokoh, hanya saja telah pudar dimakan usia. Tampak jelas jika bangunan Benteng Van Den Bosch ini dibangun sebagai zona pertahanan pada waktu pemerintahan Belanda dulu.
Benteng Van Den Bosch atau Benteng Pendem Ngawi terletak di jalur pertemuan Bengawan Solo dan Bengawan Madiun, tepatnya di Kelurahan Pelem, Kecamatan Ngawi, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.
Keberadaan benteng ini tak banyak dikenal orang, bahkan nyaris terlupakan. Selama puluhan tahun benteng ini tidak boleh dijamah oleh publik karena merupakan daerah kekuasan militer. Padahal, jika ditelisik, benteng ini merupakan bangunan bersejarah yang patut dilindungi dan dikenal oleh masyarakat.
Benteng Pendem Ngawi dibangun oleh Gubernur Jenderal Defensieljn Van Den Bosch sekitar dua abad lalu atau pada tahun 1839, dengan memanfaatkan keberadaan aliran Bengawan Solo dan Bengawan Madiun. Selain berfungsi untuk zona pertahanan, pembangunan benteng ini juga untuk memudahkan arus tranportasi di aliran dua sungai.
Dipercaya, para pedagang dari Surakarta-Yogyakarta pada waktu dulu harus lewat Ngawi jika menuju bandar di Surabaya, demikian juga halnya dengan para pedagang dari arah Pacitan, Madiun, dan Maospati. Hal inilah yang menggolongkan Ngawi sebagai tempat strategis karena merupakan pertemuan jalur perdagangan air lewat Bengawan Solo.
"Benteng ini dulunya juga untuk melumpuhkan transportasi logistik para pejuang kemerdekaan pasukan Pangeran Diponegoro. Bersamaan dengan itu, terjadi perang di Ngawi antara pasukan Bupati Madiun-Ngawi yang memihak Diponegoro dengan Belanda," ujar Komandan Yon Armed 12 Ngawi, Letkol Arm Sugeng Riyadi.
Ia menjelaskan, setelah Indonesia merdeka, tepatnya sejak tahun 1962, Benteng Van Den Bosch dijadikan markas Yon Armed 12 yang sebelumnya berkedudukan di Kabupaten Malang. Pada waktu itu, kegiatan latihan militer dan kesatuan juga dipusatkan di areal benteng.
Karena kondisi yang bangunan tidak mendukung untuk perkembangan dan kemajuan kesatuan, maka sekitar 10 tahun kemudian Yon Armed 12 menempati lokasi baru di Jalan Siliwangi, Kota Ngawi. Namun, sebagian area benteng masih digunakan untuk gudang persenjataan.
"Hal itulah yang mendasari mengapa selama puluhan tahun Benteng Pendem ini tertutup bagi umum. Pada akhir tahun 2011, benteng ini akhirnya terbuka untuk umum karena gudang persenjataan telah dipindahkan ke Jalan Siliwangi. Sampai sekarang kami masih lakukan perawatan secara rutin," papar Sugeng Riyadi.
Ia menjelaskan, bangunan Benteng Pendem Ngawi masih sangat kokoh, meski telah dimakan usia. Bangungan Benteng Pendem Ngawi terdiri dari pintu gerbang utama, ratusan kamar untuk para tentara, halaman rumput di tengah bangunan, dan beberapa ruang yang dulunya diyakini sebagai kandang-kandang kuda.
Selain itu, bangunan benteng ini dikelilingi gundukan tanah yang sengaja dibangun untuk menahan serangan dan luapan air Bengawan Solo. Hal inilah yang membuat bangunan benteng seperti terpendam. Bangunan ini juga dikelilingi parit air selebar 5 meter, hanya saja saat ini paritnya telah tertutup tanah.
Objek Wisata Sejarah
Kini, meski terlambat, pihak Yon Armed 12 dan pemerintah daerah setempat ingin agar Benteng Van Den Bosch menjadi objek wisata sejarah di Kabupaten Ngawi. Pihak Yon Armed kini terus melakukan pembenahan.
"Pembenahan yang dilakukan adalah merawat bangunan secara rutin. Saat ini kami sedang menunggu izin merenovasi bangunan dari Kementerian Pertahanan dan Keamanan. Jika izin sudah keluar, renovasi akan dilakukan tanpa meninggalkan bentuk asli dari bangunan benteng tersebut," terangnya.
Sejak dibuka untuk umum, masyarakat bisa melihat bangunan benteng dari dekat. Hanya dengan membayar tiket retribusi sebesar Rp1.000 per orang, masyarakat bisa melihat sisa-sisa kekuatan Benteng Pendem pada masa penjajahan Belanda.
Lokasi wisata sejarah ini pun juga mudah dijangkau dengan alat transportasi karena letaknya berada di pusat Kota Ngawi.
"Saat ini, kami hanya membukanya untuk umum bagi masyarakat yang ingin melihat-lihat. Kedepannya, kami telah melakukan kerjasa sama dengan Pemkab Ngawi untuk menggarap Benteng Pendem ini menjadi satu kesatuan wisata air dengan Museum Trinil Ngawi menyusuri Bengawan Solo. Uji coba sudah dilakukan," papar Sugeng.
Menurut dia, Museum Trinil dan Benteng Pendem Ngawi memiliki keterkaitan. Sebelum fosil-fosil di Trinil disimpan di museum seperti saat ini, lokasi yang digunakan untuk menyimpan fosil tersebut adalah Benteng Pendem.
Disamping sebagai zona pertahanan, benteng ini dulunya juga dimanfaatkan untuk persinggahan para ilmuwan Belanda. Salah satunya adalah Eugene Dubois penemu manusia purba Trinil "Pithecanthropus Erectus".
Sugeng menambahkan, apapun nantinya konsep yang akan dikembangkan di Benteng Pendem Ngawi, pihaknya berharap agar bangunan ini tidak terabaikan. Karena Benteng Pendem Ngawi ini memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi, setara dengan bangunan benteng di Yogyakarta. (*)
=======================
LEGENDA JOKO BUDUG
Di kisahkan : Baginda prabu Arya Seta(1) yang bertahta di kerajaan Ringin Anom(1) terkenal adil dan bijaksana dalam memerintah,ia memiliki seorang anak perempuan cantik bernama Rara Kemuning,yang konon tubuhnya sangat harum bagai bunga kemuning. Putri ayu Rara Kemuning sangat gemar bercocok tanam dan menata taman istana ataupun luar istana,sehingga tak mengherankan jika keadaan Kerajaan Ringin Anom yang berada di kaki gunung lawu pada saat itu sangat indah,dan terasa nyaman bagi siapapun yang tinggal di dalamnya. Jalan-jalan tampak teduh,taman istana begitu asri tertata rapi,dengan pemandangan gunung dan bukit(2) yang ada di sekitarnya,sehingga banyak orang memuji kecantikan dan kepandaianya. *** Pada suatu hari,Putri Ayu Rara Kemuning tiba-tiba terserang penyakit aneh. Tubuh yang biasanya berbau harum,tiba-tiba mengeluarkan bau tidak sedap. Melihat kondisi putrinya,Sang Prabu menjadi sedih,karena khawatir tak ada seorang pemudapun yang mau menikahi putrinya. Baginda berusaha melakukan berbagai hal,mulai memberinya obat-obatan tradisional,dengan minum berbagai ramuan tanaman dan dedauan,namun penyakit sang putri tak juga sembuh,usaha terakhir yang di lakunanya adalah mengundang seluruh tabib yang ada di negeri Ringin Anom pada saat itu,namun tak seorang pun mampu menyembuhkan penyakit aneh yang di derita sang Putri. Melihat keadaan ini,hati Prabu Arya Seta semakin gundah. Ia sering duduk melamun memikirkan nasib malang yang menimpa putri semata wayangnya. Pada suatu hari,tiba-tiba terlintas dalam pikirannya untuk melakukan semedi dan meminta petunjuk kepada Sang Hyang Widi,agar penyakit langka yang menimpa putrinya dapat disembuhkan. Pada tengah malam,Sang Prabu dengan tekad kuatnya dan hati yang suci melakukan semedi. Ketika baginda sedang larut dalam semedi,tiba-tiba terdengar bisikan halus yang sangat jelas di telinganya. “Dengarlah,wahai Arya Seta..!!! Jika engkau ingin putrimu sembuh seperti semula,satu-satunya obat yang dapat menyembuhkanya adalah daun sirna ganda.(3) Daun itu hanya tumbuh di dalam gua di kaki Gunung Arga Dumadi yang dijaga oleh seekor ular naga sakti dan selalu menyemburkan api dari mulutnya,” pesan suara gaib itu. Setelah mendapat petunjuk dalam semedinya,hati sang prabu tetap saja masih sedih,karena belum menemukan cara,bagaimana mendapatkan daun sirna ganda yang di maksud oleh suara ghaib dalam semedinya. Beberapa punggawa kerajaan dan penasehat istana di kumpulkan untuk bermusyawarah,tentang siapa yang pantas melakukan tugas ini,namun tidak ada yang sanggup melakukan tugas berat yang di utarakan oleh Prabu arya Seta. Akhirnya atas usul Maha Patih Kebo Rejeng,maka di adakanlah sayembara demi kesembuhan Putri Ayu Rara Kemuning dari sakit yang di deritanya. Keesokan harinya,Prabu Arya Seta segera mengumpulkan seluruh rakyat Ringin Anom di alun-alun untuk mengadakan sayembara yang isinya. “Wahai,seluruh rakyatku..!!! Kalian semua tentu sudah mengetahui perihal sakitnya putriku. Setelah bersemedi,aku mendapatkan petunjuk bahwa putriku dapat di sembuhkan dengan daun sirna ganda yang tumbuh dalam gua di kaki Gunung Arga Dumadi. Barang siapa yang berhasil mempersembahkan daun itu untuk putriku,jika ia laki-laki akan kunikahkan dengan putriku. Namun,jika ia perempuan,akan kuangkat menjadi anakku,” ujar Sang Prabu di depan rakyatnya. Mendengar pengumuman itu, seluruh rakyat Kerajaan Ringin Anom menjadi gempar. Berita tentang sayembara itu pun tersebar hingga ke seluruh pelosok negeri. Banyak warga yang tidak berani mengikuti sayembara tersebut,karena mereka semua tahu bahwa gua itu dijaga oleh seekor naga sakti dan sangat ganas. Bahkan, sudah banyak warga yang menjadi korban keganasan naga itu. Meski demikian, banyak pula warga yang memberanikan diri untuk mengikuti sayembara tersebut karena tergiur oleh hadiah yang dijanjikan oleh Sang Prabu. Setiap orang pasti akan senang jika menjadi menantu atau pun anak angkat raja. Salah seorang pemuda yang ingin sekali mengikuti sayembara tersebut adalah Jaka Budug. Jaka Budug adalah seorang pemuda miskin yang tinggal di sebuah gubuk reyot bersama ibu angkatnya yang sudah menjanda di sebuah desa terpencil di wilayah Kerajaan Ringin Anom. Ia dipanggil “Jaka Budug” karena mempunyai penyakit langka, yaitu seluruh tubuhnya dipenuhi oleh penyakit budug. Penyakit aneh itu sudah di deritanya sejak masih kecil. Meski demikian, Jaka Budug adalah seorang pemuda yang sakti. Ia sangat mahir dan gesit memainkan keris pusaka yang di warisi dari almarhum ayahnya dan di ajarkan oleh guru-gurunya selama dalam perjalanan sebelum tinggal dan sampai di Kerajaan Ringin Anom. Dengan kesaktiannya itu, ia ingin sekali menolong sang Putri. Namun, ia merasa malu dengan keadaan dirinya. *** Sementara itu, para peserta sayembara telah berkumpul di kaki Gunung Arga Dumadi untuk menguji kesaktian mereka. Sejak hari pertama hingga hari keenam sayembara itu di langsungkan, belum satu pun peserta yang mampu mengalahkan naga sakti itu. Jaka Budug pun semakin gelisah mendengar kabar itu. Pada hari ketujuh, Jaka Budug dengan tekadnya yang kuat memberanikan diri datang menghadap kepada Sang Prabu. Di hadapan Prabu Arya Seta, ia memohon izin untuk ikut dalam sayembara itu. “Ampun..,Baginda..!!! Izinkan hamba mengikuti sayembara ini,untuk meringankan beban Sang Putri,” pinta Jaka Budug. Prabu Arya Seta tertegun tidak menjawab. Ia terdiam sejenak sambil memperhatikan Jaka Budug yang buruk rupa,serta tubuhnya yang di penuhi bintik-bintik putih kemerahan. Hatinya galau,andai pemuda itu berhasil,apakah putri Rara Kemuning bersedia menjadi istrinya. “Kamu siapa..,hai anak muda..??? Dengan apa kamu bisa mengalahkan naga sakti itu?” tanya Sang Prabu. “Hamba Jaka Budug, Baginda. Hamba akan mengalahkan naga itu dengan keris pusaka hamba ini,” jawab Jaka Budug seraya menunjukkan keris pusakanya kepada Sang Prabu. Pada mulanya,Prabu Arya Seta ragu-ragu dengan kemampuan Jaka Budug. Namun,setelah Jaka Budug menunjukkan keris pusakanya dan tekad yang kuat,dan Sang Prabu Arya Seta adalah Raja yang di kenal adil dan bijaksana,tak mungkin ia membeda-bedakan keadaan rakyatnya,akhirnya sang Prabu menyetujuinya dan berkatalah ia : “Baiklah..,Jaka Budug..!!! Karena engkau rakyatku dan tekadmu yang kuat,maka keinginanmu kuterima. Semoga kamu berhasil!” Sembah Jaka Budug : "Ampun,Baginda..!!! Hamba mohon kepada Tuanku Sang Raja,sebelum melaksanakantugas, apakah diperkenankan melihat keadaan Sang Putri?" "Silahkan." Jawab Sang Baginda. Setelah melihat keadaan Putri Kemuning, Jaka Budug mohon diri untuk melanjutkan tugas mengambil daun Sirna Ganda. Jaka Budug pun berangkat menuju Gua di Gunung Arga Dumadi(4) dengan tekad membara. Ia harus mengalahkan naga itu dan membawa pulang daun sirna ganda. Setelah berjalan cukup jauh, sampailah ia di kaki gunung Arga Dumadi. Dari kejauhan, ia melihat semburan-semburan api yang keluar dari mulut naga sakti penghuni gua. Ia sudah tidak sabar ingin membinasakan naga itu dengan keris pusakanya. *** Jaka Budug melangkah perlahan mendekati naga itu dengan sangat hati-hati. Begitu ia mendekat, tiba-tiba naga itu menyerang dengan semburan api. Jaka Budug pun segera melompat mundur untuk menghindari serangan itu. Naga itu terus bertubi-tubi menyerang sehingga membuat Jaka Budug kewalahan. Ketika dalam posisi terpojok dan hampir kalah,Jaka Budug berpikir,jika pertarungan berlangsung terus seperti ini lama-kelamaan ia pasti kalah,kemudian ia mundur menjauh sambil berpikir bagaimana cara mengalahkan naga yang sangat sakti ini. Tiba-tiba,jaka budug berlari meninggalkan pertarungan menuju ke arah bukit dan mengalinya,hingga menembus gua,setelah tembus ke dalam gua dimana naga itu tinggal,yang terlihat oleh jaka budug adalah tubuh dari naga sakti penjaga daun sirna ganda. Ketika naga itu lengah, Jaka Budug segera menghujamkan kerisnya ke perut naga itu. Darah segar pun memancar dari tubuh naga itu,keadaan ini tidak di sia-siakan oleh jaka budug,dan semakin bersemangat ingin membinasakan naga itu. Ketika naga sakti mengerang kesakitan,dengan gesitnya,jaka budug kembali menusukkan keris ke leher naga itu hingga darah memancar dengan derasnya. Tak khayal naga sakti itu pun tewas seketika di tangan jaka budug. Setelah memetik beberapa lembar daun sirna ganda di dalam gua, Jaka Budug segera pulang ke istana dengan perasaan gembira. Setibanya di istana, Prabu Arya Seta tercengang hampir tidak percaya ,ketika melihat keberhasilan Jaka Budug. Setelah Jaka Budug menceritakan semua peristiwa yang dialaminya di kaki Gunung Arga Dumadi,ketika melawan naga sakti di dalam gua, barulah Sang Prabu percaya dan terkagum-kagum akan kesaktian dan kecerdikan Jaka Budug. Jaka Budug kemudian mempersembahkan daun sirna ganda yang diperolehnya kepada Sang Prabu. Sungguh ajaib,Putri Kemuning kembali sehat setelah memakan daun sirna ganda itu. Kini,tubuh Sang Putri kembali berbau harum bagaikan bunga kemuning. Prabu Arya Seta pun menetapkan Jaka Budug sebagai pemenang sayembara tersebut. Sesuai dengan janjinya,Sang Prabu segera menikahkan Jaka Budug dengan putrinya,yaitu Putri Ayu Rara Kemuning. Sebelum pesta pernikahan itu di gelar,Prabu Arya Seta memerintahkan pada Patih Kebo Rejeng untuk mempersiapkan segalanya. Mengingat kondisi Jaka Budug yang kulitnya masih penuh luka kudis,maka Prabu Arya Seta memrintah Patih Kebo Rejeng untuk membersihkan tubuh Jaka Budug. “Kakang Patih,untuk perayaan pesta pernikahan Putriku dan Jaka Budug,tolong persiapkan segalanya,dan sebelum pernikahan itu di laksanakan,tolong tubuh Jaka Budug di bilasi (bersihkan)(5) ” Patih Kebo Rejeng langsung melaksanakan apa yang di perintahkan Prabu Arya Seta,namun ada sebuah kesalah-pahaman akibatkan pendengaran patih Kebo Rejeng yang sudah mulai berkurang karena faktor usia,sehingga ketika di perintah untuk membersihkan (mbilasi) Jaka Budug yang di dengarnya justru agar Tubuh Jaka Budug di telasi (dihabisi) (6). Patih Kebo Rejeng-pun tanpa ragu melaksanakan perintah baginda dengan membunuh Jaka Budug,Patih Kebo Rejeng sadar akan kesaktian Jaka Budug sehingga tidak mungkin bila ia melawanya,maka di carilah berbagai cara untuk membunuh Jaka Budug,ketika Jaka Budug terlena maka keris Patih Kebo Rejeng di hujamkanya ke tubuh Jaka Budug dari belakang. Alhasil,Jaka Budug terkejut melihat apa yang di lakukan Patih Kebo Rejeng,dan tak lama kemudian terkapar bersimbah darah,sebelum tiba ajalnya Jaka Budug sempat berkata bahwa “Meskipun Aku mati,namun sesuai janji Prabu Arya Seta akan pernikahanku dengan Rara Kemuning,dan karena pernikan itu belum terlakasana,maka Aku hanya mau di kuburkan setelah bersanding dengan Putri Ayu Rara Kemuning.” Setelah kematian Jaka Budug,serentak isi isatana menjadi gempar,sebelum kabar kematian Jaka Budug tersebar ke seluruh rakyat ringin anom,dengan tergesa-gesa tubuh Jaka Budug segera di makamkan. Keajaiban terjadi,ketika menggali kubur sesuai dengan ukuran tubuh Jaka Budug,namun saat di masukan ke liang lahat tak pernah muat,bahkan sampai di panjangkan beberapa kali tetap saja tidak muat,begitu terus hingga jasad Jaka Budug tidak bisa di makamkan di tempat tersebut(7). *** Nasi telah menjadi bubur,seluruh istana menjadi bingung dan bersedih,satu-satunya jalan agar jasad Jaka Budug bisa di kuburkan,maka harus di nikahkan terlebih dahulu,dan Putri Ayu Rara Kemuningpun tidak mungkin bila harus menikah dengan Jaka Budug yang sudah menjadi jasad,maka ia berlari meninggalkan istana sambil menangis sejadinya di sbuah gunung (8). Patih Kebo Rejeng yang di perintah untuk membawa pulang Rara Kemuning,memburunya hingga di sebuah gunung,karena terlalu cepatnya Rara Kemuning berlari hingga membuat Patih Kebo Rejeng terpisah darinya dan kehilangan jejak(9). Selama mengikuti Rara Kemuning Patih Kebo Rejeng hingga kehabisan bekal dan akhirnya kehausan di tengah perjalanan,karena sudah tidak tahan lahi akan rasa hausnya Patih Kebo Rejeng berusaha mengais-ngais tanah untuk mencari air,dan keajaiban terjadi,tanah itu tiba-tiba mengeluarkan mata air (10),kemudian tanpa ragu ia pun langsung meminum air yang baru saja keluar dari dalam tanah itu. Sementara Rara Kemuning yang tahu sedang di ikuti terus berlari sampai payung yang di bawanya tertinggal di sebuah gunung (11). Karena di buru terus dalam beberapa hari,Putri Ayu Rara Kemuning kelelahan hingga jatuh sakit dan akhirnya meninggal dalam pelarianya. Patih Kebo Rejeng membawa pulang jasad Rara Kemuning,setelah tiba di istana maka tubuhnya di makamkan bersanding dengan jasad Jaka Budug. Kini jasad Jaka Budugpun dapat dengan mudah di makamkan setelah bersanding dengan Putri Ayu Rara Kemuning di sebuah gunung. Selang berapa lama,setelah jasad Jaka Budug dan Putri Ayu Rara Kemuning di makamkan di gunung liliran (12), Prabu Arya Seta meninggal dunia. Karena kerajaan Ringin Anom tidak memiliki putra mahkota yang meneruskan dan memegang pemerintahan maka lambat-laun kerajaan itu runtuh dan menghilang tanpa bekas. ____________________________________________________________ ____________________________________________________________ Keterangan : (1). Prabu Arya Seta,Kerajaan Ringin Anom : Prabu Arya Seta,oleh penduduk setempat lebih di kenal dengan nama Ratu Poan,begitu juga dengan kerajaan dimana ia memerintah juga di kenal dengan nama keraton Poan,di sebut demikian karena Keraton Poan berada di daerah Poan (tapatnya dusun Poan,kelurahan Tulakan,kecamatan Sine) (2). Gunung Dan Bukit : Tempat kerajaan ringin anom berada di daerah lereng gunung lawu dan perbukitan gunung-gunung kecil,seperti gunung warak,gunung bedah dan yang lainya. (3). Daun Sirna Ganda : Daun Sirna Ganda yang di maksud adalah sebuah daun yang menyerupai daun pisang dan oleh masyrakat sekitar di sebut dengan istilah Daun Gedang (Pisang) Pupus Cinde. (4). Gua di Gunung Arga Dumadi : Gua ini adalah sebuah gua yang sekarang oleh masyarakat sekitar di gunakan sebagai media irigasi/sebagai saluran air,dan di daerah setempat di kenal dengan nama dung urung-urung. (5). bilasi (bersihkan) : Membersihkan ulang dalam proses terakhir ketika mencuci. Dan yang di maksud Baginda Raja adalah membersihkan tubuh Jaka Budug yang berlumuran darah naga dan agar penyakit budugnya tampak lebih bersih. (6). Telasi (Habisi) : Habisi yang di maksud adalah menghabisi nyawa Jaka Budug karena kesalah-pahaman akibat pendengaran Patih Kebo Rejeng sudah mulai berkurang. (7). Tempat tersebut : Bekas galian yang tidak bisa di gunakan untuk memakamkan jasad Jaka Budug itu panjangnya sekitar 12 meter dan terletak di sebelah barat lapangan bola dusun Gamping. Tempat itu masih terawat hingga sekarang. (8). Menangis sejadinya di sbuah gunung : Tempat ini merupakan sebuah bukit kecil yang sekarang di kenal dengan nama gunung tangis. (9). Terpisahdarinya dan kehilangan jejak : Tempat ini sekarang di sebut dengan nama gunung pegat. (10). Mata air : Mata air itu masih bisa di jumpai dan masih berfungsi hingga sekarang. Oleh masyarakat sekitar di kenal dengan nama Sumber Ngrejeng dan di gunakan untuk kebutuhan mandi dan mencuci setiap hari. (11). Gunung :Gunung tempat tertinggalnya payung Rara Kemuning itu sekarang bernama Gunung Payung. (12). Gunung liliran : Gunung dimana jasad Jaka Budug dan Rara Kemuning di makamkan,hingga sekarang tempat itu masih sering di kunjungi banyak orang pada hari-hari tertentu,untuk melakukan ritual dengan maksud dan tujuan berbeda.
==============
CERITA RAKYAT BABAD GENDINGAN ( RIWAYAT ADIPATI KERTONEGORO)
Konon di masa lalu hiduplah seorang bernama Ki Ageng Jogorogo. Ia seorang petani yang karena kealiman dan kesantunannya, dia sangat dihormati oleh orang-orang yang berdiam di tepian sungai Bengawan Solo hingga ke daerah kaki gunung Lawu. Ki Ageng Jogorogo adalah putra dari Panembahan Pamekasan di Madiun atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Purboyo, salah satu keturunan Sultan Patah pendiri Kasultanan Demak. Pada suatu hari saat Ki Ageng Jogorogo sedang menunggui para petani menggarap sawah di tepian sungai Bengawan Solo, sebuah kapal besar mendekat dan berhenti. Kapal tersebut adalah kapal milik kerajaan yang sedang mengantarkan sang raja untuk melihat-lihat kondisi wilayah. Sang raja tampak sangat berkenan dengan Ki Ageng Jogorogo yang dipujinya mampu menjadi pemimpin yang cakap. Karena itulah Sang Raja mengundang Ki Ageng Jogorogo untuk datang dan menemuinya di kerajaan ( disebutkan dalam cerita itu Mataram-Kartosura).
Sesuai dengan titah Sang Raja, Ki Ageng Jogorogo pun menghadap ke kerajaan dan diberikan harta dan seorang perempuan untuk diperistri. Perempuan itu adalah seorang garwa ampil (salah satu selir sang raja). Dimasa lalu tradisi semacam ini merupakan bentuk penghargaan Raja terhadap jasa-jasa seseorang. Perempuan tersebut saat diberikan sebagai garwa ampil sudah dalam keadaan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki beberapa bulan berikutnya. Sesuai pesan dari sang raja, Ki Ageng Jogorogo dengan sepenuh hati menjaga, merawat, dan mendidik anak tersebut bak keturunannya sendiri. Hingga pada saat remaja ia pun membawa sang anak ke kerajaan. Oleh sang raja, pemuda itu kemudian diberikan wilayah setingkat kadipaten yang berkedudukan di Gendingan, dengan bergelar (Kanjeng Raden Tumenggung Anom) KRTA Arya Kertonegoro.
Adipati Kertonegoro berusaha menjalankan pemerintahan dengan sebaik-baiknya. Tetapi lantaran ketidakjelasan batas wilayah maka beliau sering terlibat konflik dengan VOC yang kala itu berkedudukan di Karisidenan Magetan. Perselisihan itu pun memuncak hingga timbul saling benci. Pada satu ketika VOC dan beberapa Adipati lain berkomplot untuk membunuh Adipati Kertonegoro. Mereka bersiasat untuk membunuh Sang Adipati dalam perundingan yang mereka gelar di Ngawi ( dalam versi lain disebutkan mengundang dalam pertunjukan tayub).
Adipati Kertonegoro yang dapat meloloskan diri dari percobaan pembunuhan, kemudian mengadakan perlawanan menggunakan kekuatan pasukan. Beberapa kali VOC dan pasukannya yang mencoba memasuki Kadipaten Gendingan gagal, karena kegigihan Adipati Kertonegoro dalam mempertahankan wilayahnya. Namun dalam satu pertempuran di tepian sungai ( tempat ajang perang-sekarang dinamakan Kajangan), panglima yang juga merupakan patih legendaris Gendingan, Ronggolono tewas karena penghianatan.
Adipati Kertonegoro pun terpaksa menyingkir untuk menyusun kembali pasukannya yang tercerai-berai. Setelah dirasa cukup kuat, Adipati Kertonegoro balik menyerbu dan berhasil mengusir VOC dan kaki tangannya dari Kadipaten Gendingan. Tetapi saat melihat keadaan kadipaten yang telah porak poranda, Adipati Kertonegoro merasa tak akan sanggup lagi menjalankan roda pemerintahan. Beliaupun memutuskan untuk mengasingkan diri ke daerah Sine dan akhirnya menutup usia di sana. ( sumber : cerita rakyat)
* * *
FAKTA SEJARAH TERKAIT KEBERADAAN KADIPATEN GENDINGAN
Keberadaan Kadipaten Gendingan setidaknya diperkuat dengan bukti-bukti sebagai berikut :
1. Masih adanya tanah bekas berdirinya nDalem Kadipaten. Di wilayah Dusun Gendingan Lor, Desa Gendingan Kecamatan Widodaren, yang kemudian oleh penduduk sekitar di sebut dengan nDaleman.
2. Masih dapat ditemuinya skema tata kota yang mirip dengan struktur seperti yang ada di Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Jogjakarta Hayuningrat. Yakni adanya Desa Kauman yang berada di sisi barat Desa Gendingan. Dan letak bekas pasar yang berada di sisi timur yang sekarang menjadi bangunan SD.
( bandingkan dengan letak Kampung Kauman dan letak pasar gedhe).
3. Penamaan wilayah yang ada di sekitar Desa Gendingan yang memiliki hubungan erat dengan terjadinya satu peristiwa terkait Kadipaten Gendingan diantaranya adalah :
a. Penamaan Dukuh Punthuk
b. Penamaan Desa Kedunggudel
c. Penamaan Dusun Butuh
d. Penamaan Desa Pandean
e. Penamaan Dukuh Kajangan
f. Penamaan mBulak sawah Klithih
4. Sampai saat ini pun masih dapat dijumpai bekas saluran air yang konon dibuat oleh Adipati Kertonegoro untuk mengalirkan air dari sungai ke saluran air di sawah warga. Tempat itu kemudian di kenal dengan nama Talang Bubrah yang sekarang masuk di areal perhutani di dekat Dusun Nglongkeh Desa Gendingan.
5. Adanya makam Patih Ronggolono di Gunung Jabalkadas, Ngrambe
6. Adanya makam Adipati Kertonegoro di Dukuh Miridoyong Desa Kuniran Kecamatan Sine.
7. Masih dapat dijumpainya bekas bangunan pendopo Kadipaten yang saat ini berada di Dukuh Kedondong Desa Sekarjati Desa Mantingan. ( dahulunya setelah ditinggalkan oleh Adipati Kertonegoro, bekas pendopo Kadipaten Gendingan dibawa ke Desa Sekarjati untuk digunakan sebagai balai desa dan tempat Jumatan sebelum di desa tersebut didirikan masjid).
* * *
HAL-HAL YANG TERLANJUR MENJADI MITOS TERKAIT KADIPATEN GENDINGAN DAN ADIPATI KERTONEORO
Adipati Kertonegoro yang diceritakan mati murca ( mati dengan tubuh menghilang ) beserta nDalem Kadipaten.
Rumah Kadipaten diangkut oleh Adipati Kertonegoro dengan cara dibungkus menggunakan saputangan dan dibawanya terbang menggunakan kuda.
Tentang kuda Adipati Kertonegoro bernama Pagerwaja yang bisa terbang.
Janur yang selalu tumbuh berbentuk ikatan (simpul) yang katanya sebagai tanda saat kuda pagerwaja hendak mendarat.
Goresan berbentuk gambar lapak kuda di pucuk batang pohon jati di daerah Pitu yang konon bekas pijakan kuda Pagerwaja.
Tidak boleh mementaskan lakon kethoprak yang menceritakan Babad Gendingan di Desa Gendingan.
dsb

4 komentar:

  1. Pengakuan Kisah Nyata Ibu Ratnawati


    Tanpa Rekayasa Cerita Ini Benar Adanya.



    Assalamualaikum Wr, Wb.


    sebelumnya saya minta maaf apabilah tulisan yang saya posting ini menyinggung hati para pecinta dunia maya, namun apa yang saya tulis ini bukanlah tapi kisah nyata yang saya alami dan rasakan saat ini,


    sebelum saya melanjutkan cerita ini perkenalkan nama lengkap saya Ibu Ratnawati Usia 44 tahun tinggal di Pohuwato propinsi Gorontalo, kisah saya mulai ketika saya dan suami membuka usaha pengepul rumput laut di daerah kami awalnya usaha kami sangat maju pesat dan ekonomi kami boleh di katakan sudah berkecukupan karna usaha yang mulai maju pesat itu akhirnya saya dana suami sepakat untuk membesarkan usaha kami dengan meminjam modal di dengan jaminan surat tanah dan rumah kami, saya dan suami mendapat pinjaman dari bank sebesar 1 Milyar kami pun memakai uang itu untuk mengepul semua hasil rumput laut di gorontalo, namun nasip berkata lain bukannya keuntungan yang kami dapat tapi malah musibah gudang tempat penyimpanan yang bersampingan dengan rumah kami ludes terbakar api semuanya musnah tanpa sisa barang uang perhiasan pun habis, saat itulah kami terpuruk dan jatuh miskin, keputusasaan melanda kami dan pada akhirnya saya dan suami memutuskan mencari jalan instan minta pesugihan pada awal maret kami berkunjung ke tanah jawa menjumpai seorang dukun di kota malang berbagai ritual sudah kami jalani tapi hasilnya nol. uang kami habis tapi kami tidak dapat apa-apa, lalu kami cari ke tempt lain dan kami bertemu dengan K.H. Abah Manzur, setelah kami mendengarkan penjelasan beliu awalnya kami sedikit ragu akan berhasil karna cara beliu ritual tidak pakai bahan apapun cuma pakai uang yg kami sisahkan itu, setelah menunggu 5jam lamanya allhamdulillah, mata saya tertujuh pada karung yg didalamnya penuh dengan uang pecahan 100 ribu, kemudian pak kyai memanggil kami dan menyampaikan itu uang anda ambillah "kata beliu" dengan sujud syukur kami mencium kaki beliu sambil menangis bahagia, lalu ke esokan harinya kami pulang ke gorontalo untuk meritis usaha lagi, berkat bantuan dana gaib 3 milyar dari abah manzur kini hidup kami sdh lebih baik dari sebelumnya, kepada saudaraku yang ingin mengubah nasib jangan pikir pikir lagi segeralah minta pertolongan beliu insyaallah beliu akan membantu kesusahan anda.


    Sedikit saya tambahkan bahwa ritual pesugihan abah tanpa tumbal dan resiko apapu di jamin aman dunia akhirat,


    Jika ingin merubah nasib segerah hubungi kyai abah manzur di nomor tlp 0853~2048~9499 atau kunjungi situsnya: https://ahlipesugihanislami.blogspot.com/

    BalasHapus
  2. Syahdanash@ppns.ac.id
    Terima kasih infonya
    Jangan lupa kunjungi
    https://ppns.ac.id/
    https://selinganhidup.wordpress.com

    BalasHapus

SEJARAH CANDI BOROBUDUR

sesuai kajian Islam VERSI KH FAHMI BASYA. Menurut sebuah penelitian oleh Pak KH Fahmi Basya memperoleh kesimpulan bahwa kisah nabi...