SEJARAH , CERITA DAN LEGENDA KABUPATEN WONOGIRI....


Pada zaman Kerajaan Demak ada seorang pertapa sakti bernama Ki Kesdik Wacana. Dia tinggal menyendiri di salah satu gua yang termasuk dalam jajaran Pegunungan Seribu. Pegunungan ini dikelilingi hutan yang penuh dengan pepohonan lebat dan alam yang indah. Tidak heran jika penguasa Demak pada waktu itu menjadikan sebagai hutan wisata raja dan tempat perburuan binatang.
Pada waktu-waktu tertentu, datanglah rombongan raja dengan pengiring dan senopatinya. Mereka berburu binatang, terutama Rusa. Sebagian hasil dari perburuan itu ada yang dihabiskan di tempat dan sebagian lagi biasanya dibawa kembali ke istana. Bekas tempat pesta pora itu pada akhirnya menjadi sebuah desa yang sekarang dinamakan Desa Senang, yang berarti tempat untuk bersenang-senang. Sampai sekarang desa itu masih ada.
Pada suatu ketika Raja Demak mengirimkan seorang utusan bernama Raden Panji untuk menemui pertapa Ki Kesdik Wacana. Melalui utusannya, Raja meminta kepada Ki Kesdik Wacana untuk membawa beberapa ekor rusa untuk dijadikan sebagai binatang peliharaan di Istananya. Ki Kesdik Wacana menyanggupi permintaan Raja.
Dengan kesaktiannya Ki Kesdik Wacana memasukkan rusa-rusa itu dalam bumbung, rongga pada ruas pohon bambu petung dan kemudian disumbat. Bumbung tersebut kemudian diserahkan kepada Raden Panji disertai dengan pesan khusus.
"Raden Panji, bumbung ini berisi rusa-rusa yang dikehendaki oleh sang Prabu. Sengaja aku masukkan ke dalam bumbung ini supaya Raden Panji mudah membawanya. Lagi pula perjalanan dari sini ke Keraton cukup jauh. Namu ingat pesanku, jangan coba-coba sekalipun membuka isi dari bumbung tersebut sampai bumbung tersebut telah ada di hadapan Raja."
"Terima kasih bapak pertapa, saya akan selalu ingat pesan itu" kata Raden Panji dengan penuh hormat.
Dalam perjalanan pulang kembali ke Demak, pikiran Raden Panji dipenuhi oleh berbagai macam pertanyaan yang tidak bisa terjawab oleh Raden Panji sendiri. Menurut dia tidaklah masuk akal rusa-rusa yang diminta oleh sang Prabu dimasukkan ke bumbung ini. Ini sangat tidak logis.
Meskipun begitu, Raden Panji tetap ingat pesan Ki Kesdik Wacana untuk tidak membuka bumbung itu sampai di hadapan Raja. Raden Panji pun akhirnya membatalkan keinginannya untuk membuka bumbung tersebut.
Dalam perjalanan pulang, karena lelah Raden Panji singgah sebentar di sebuah hutan jati yang lebat. Saat melepas lelah, pandangan Raden Panji terus memandang bumbung tersebut dengan perasaan heran. Karena terus memandang bumbung tersebut, akhirnya Raden Panji membuka bumbung tersebut untuk mengetahui isinya.
Namun ketika sumbat bumbung dibuka, Raden Panji kaget bukan kepalang melihat kejadian aneh. Dalam keadaaan yang masih terbengong, tiba-tiba dari bumbung tersebut keluar hewan kecil yang makin lama makin membesar. Ternyata hewan-hewan itu adalah rusa-rusa yang berjumlah 16 ekor atau 8 pasang. Dan kesemuanya dengan cepat segera masuk ke hutan kembali.
Raden Panji yang segera sadar dari kekagetannya itu, langsung segera berlari cepat ke hutan untuk mengejar rusa-rusa itu sampai kopiahnya jatuh ke tanah. Namun beliau tidak menghiraukan kejadian tersebut. Walau usahanya untuk mengejar rusa-rusa itu sia-sia.
Bukan main sedih dan menyesal hati Raden Panji akibat kecerobohannya itu. Raden Panji hanya bisa jatuh tertunduk malu dan lesu. Tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. Mau balik ke Demak takut terken murka Raja. Mau kembali tempat pertapaan Ki Kesdik Wacana takut terkena makian.
Untunglah Ki Kesdik Wacana yang sakti dapat segera mengetahui peristiwa itu. Oleh karena itu Ki Kesdik segera menyusulnya. Dalam perjalanan menyusul Raden Panji, Ki Kesdik sempat menemukan kopiah Raden Panji yang terjatuh. Pertapa sakti itu pun berkata, wahai bumi dan langit saksikanlah bahwa tempat ini sejak saat ini aku beri nama Wana Kethu. Jadilah tempat itu sampai sekarang bernama Wana Kethu. 'Wana' berarti hutan dan 'Kethu' artinya kopiah.
Tidak berapa lama Ki Kesdik Wacana segera menemukan tempat Raden Panji. Melihat kehadiran Ki Kesdik Wacana, Raden Panji pun sangat kaget.
"Mohon ampun bapak, hamba telah berbuat lancang membuka sumbat bumbung itu dan mengakibatkan hewan-hewan yang ada di dalam bumbung itu keluar semua. Sekarang hamba pasrah menerima hukuman dari bapak pertapa" kata Raden Panji bersedih.
Mendengar pengakuan Raden Panji, sang pertapa merasa kasihan tetapi yang bersalah tetap harus menerima hukuman.
"Raden Panji, ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu adalah utusan raja yang telah diberi amanat. Sayang sekali kamu tidak dapat melaksanakan amanat itu. Oleh karena itu kamu tetap mendapat hukuman. Mulai sekarang, janganlah kamu berwujud manusia, tetapi jadilah kamu seekor Rusa Wulung penunggu hutan jati ini" kata Bapak Pertapa
Begitu selesai ucapan bapak pertapa itu, seketika tiba-tiba dunia menjadi gelap gulita dan di langit terdengar suara petir menyambar-nyambar. Semua seakan menjadi saksi atas segala ucapan bapak pertapa.
Memang benar keadaanya. Secara mendadak Raden Panji yang asalnya manusia berubah menjadi rusa jantan yang sangat gagah dengan bulu wulungnya. Raden Panji yang sudah berubah menjadi rusa itu menangis dan bersimpuh di hadapan pertapa sakti tersebut.
"Hukuman ini terlampau berat bagi Hamba, Bapak. Mohon bapak sudi mencabutnya," ratap rusa wulung penjelmaan Raden Panji.
Namun penyeselana tinggal penyesalan, Raden Panji harus mengalami kehidupan baru sebagai pemimpin pasangan rusa yang dahulu dilepasnya di Wana Kethu.
Sesudah peristiwa di Wana Kethu itu, Ki Kesdik Wacana naik ke atas bukit kecil tak jauh dari situ. Sesampai di puncak bukit itu, ia berhenti sesaat untuk mengagumi keindahahan alam di bawahnya.
"Bukit ini begitu indah. Besok kalau ada keadaan zama sudah ramai, bukit ini aku namai dengan Gunung Giri. sedangkan sungai yang mengalir dibawahnya aku namakan Sungai Wahyu. Sekarang nama sungai ini adalah Bengawan Solo." kata Ki Kesdik Wacana
Pada suatu ketika dalam kesempatan yang lain, Sunan Giri dalam pengembaraanya sampai di tempat yang dahulu dikunjungi Ki Kesdik Wacana. Sama dengan Ki Kesdik Wacana, Sunan Giri juga mengagumi keindahan alam hutan yang sangat luas dengan alamnya yang berbukit-bukit. Sunan Giri pun berkata "Besok kalau ada keramaian zaman, tempat ini aku namai Wonogiri".
Wono atau Wana berarti 'hutan', sedangkan Giri berarti 'Gunung'. Demikianlah tempat yang berhutan lebat dan bergunung-gunung itu sampai sekarang bernama Wonogiri yang terletak di Propinsi Jawa Tengah.
HUTAN DONOLOYO
Padamulanya Donoloyo adalah nama sebuah hutan yang berada di tepian hulu Bengawan Solo. Kemudian nama inilah yang digunakan oleh masarakat sekitar hutan itu untuk menyebut seorang laki-laki yang terkenal santun dan bijak lagi sakti yang kemudian babat alas (membabat hutan) untuk ia diami kelak bersama keluarganya. Orang-orang sekitar hutan itu menyebutnya Ki Ageng Donoloyo.
Ki Ageng (sebutan untuk orang yang dihormati di suatu desa) Donoloyo adalah seorang laskar Majapahit yang tertinggal dari pasukannya di daerah Wonogiri sebelah timur, tepatnya di desa Sambirejo kecamatan Slogohimo sehingga ia memutuskan untuk tidak kembali dan menetaplah di wilayah itu
Ketika tertinggal ia tidak sendiri melainkan ia bersama seorang laskar lain yang kelak dinamakan oleh orang-orang sekitarnya dengan nama Ki Ageng Sukoboyo. Namun kemudian mereka memutuskan untuk berpisah mencari wilayah sendiri-sendiri untuk mereka jadikan tempat menepi dan kelak pada akhirnya berkeluarga. Ki Ageng Donoloyo menuju ke selatan sementara Ki Ageng Sukoboyo menuju ke utara. Ki Ageng Sukoboyo mempunyai watak yang keras sementara Ki Ageng Donoloyo sebaliknya.
Setelah beberapa tahun kemudian Ki Ageng Donoloyo dicari oleh seorang kakak perempuannya. Hingga pada akhirnya suatu saat kakak Ki Ageng Donoloyo itu dipersunting oleh Ki Ageng Sukoboyo. Hal inilah yang kemudian mempererat kembali ikatan di antara keduanya meski pada mulanya mereka sempat berseteru memperebutkan tempat menepi.
Masalah kedua pun muncul (kelak masalah ini merenggangkan kembali persaudaraan mereka) ketika Ki Ageng Donoloyo ingin mengunjungi kakak perempuannya setelah sekian lama tidak bertemu. Kejadian ini adalah ketika Ki Ageng Donoloyo hendak pulang ke daerahnya, ia terpaku pada sekitar kediaman Ki Ageng Sukoboyo yang tumbuh beberapa pohon Jati besar, tinggi menjulang. Ia tidak tahu sebelumnya kalau di sekitar rumah kakak iparnya itu tumbuh pohon yang belum ia temui selama hidupnya. Pohon itu seperti mengeluarkan sinar. Terbersit kemudian dalam hatinya untuk bertanya pohon apakah itu kepada Ki Ageng Sukoboyo. Kamudian dijelaskan bahwa pohon itu bernama pohon “jati” pohon yang memiliki batang kayu berkualitas paling baik (sejatinya kayu) di Kedhuang Ombo (tanah Jawa), dan tidak sembarang orang boleh menanamnya. Mendengar penjelasan itu Ki Ageng Donoloyo sangat tertarik untuk meminta klentheng (biji kayu jati) untuk ia tanam di daerahnya. Namun ketika ia mengutarakan niatnya itu, justru ia mendapatkan tolakan. Ki Ageng Sukoboyo marah-marah tak terkira mendengar permintaan Ki Ageng Donoloyo. Namun dengan sabar Ki Ageng Donoloyo hanya menunduk dan diam mendapatkan semprotan marah kakak iparnya itu. Lantas ia pun berpamitan untuk kembali ke niatnya semula yakni pulang ke daerahnya (kelak disebut hutan Donoloyo).
Sesampainya di tengah perjalanan ia tercengang keget ketika kakak perempuannya (istri Ki Ageng Sukoboyo) meneriakinya dari belakang. Ia pun berhenti dan menoleh. Sang kakak menghampiri dan berkata bahwa ia telah mendengar percakapannya dengan Ki Ageng Sukoboyo dan juga permintaan tersebut. Sang kakak menyarankan agar ia satu purnama lagi kembali dan membawa tongkat dari bambu uluh (jenis bambu paling kecil yang biasa dipakai sebagai tempat membran terompet tahun baru) untuk menyembunyikan biji jati dengan cara menghunjamkan tongkat itu di atas klentheng / biji jati sehingga biji tersebut akan masuk dengan sendirinya. Sang kakak melarangnya untuk waktu dekat ia kembali lagi ke rumahnya sebab ia khawatir Ki Ageng Sukoboyo masih merasa tersinggung dan menyimpan marah dengan permintaan adiknya tempo hari.
Dan sampailah satu purnama itu, Ki Ageng Donoloyo akhirnya berhasil mencuri dua biji jati dari pekarangan Ki Ageng Sukoboyo meski ketika itu mereka berdua bersama-sama tampak asik berjalan-jalan sembari bercakap-cakap di bawah pohon jati kesayangan Ki Ageng Sukoboyo.
Meski berhasil mencuri dua biji klentheng dan merasa yakin jika Ki Ageng Sukoboyo tidak mengetahui tindakan culasnya ini ia masih saja gugup, dan hal ini membuatnya pulang dengan tergesa-gesa dan membuat sepasang kakinya sedikit berlari.
Sampailah kemudian ia di hutan Denok (sekarang desa Made). Ia beristirahat di bawah pohon bulu (semacam beringin) yang rindang. Di situlah kemudian satu biji terjatuh dan tumbuh besar dengan dililit pohon bulu (pohon jati berada tepat di tengah lilitan pohon bulu sehingga terlihat unik, tampak seperti pohon bulu yang merangkul pohon jati). Jati itu kemudian dinamakan jati Denok. Sementara satu biji kemudian ditanam di hutan Donoloyo yang kelak dinamakan Jati Cempurung, yang juga kemudian dipercayai digunakan sebagai soko guru pembangunan masjid Demak kali pertama. Jati Cempurung ini memiliki keunikan yakni sore ditanam paginya sudah tumbuh dengan berdaun dua. Maka tidak heran jika kemudian konon jati ini tumbuh dengan cepat dan besar sehingga bayang-bayangnya ketika pagi sampai di tengah alun-alun Demak.
Maka semenjak itulah ketika jati Cempurung sudah beranak-pinak Ki Ageng Donoloyo melarang warga sekitar hutan Donoloyo untuk membawa atau menjual pohon jati dari Donoloyo kepada orang-orang di utara jalan (sekarang jalan raya Wonogiri-Ponorogo yang dipercayai sebagai tempat pertengkaran pertama kali antara Ki Ageng Donoloyo dengan Ki Ageng Sukoboyo ketika berebut tempat untuk menepi) sebab hal itu akan berdampak kematian, kayu jati itu dengan sendirinya akan berubah menjadi jengges tenung (santhet) pada yang membawa (mengangkut) dan yang menjualnya.
Konon pula kemudian Jati yang berasal dari hutan Donoloyo semua memiliki ciri growong di tengah batangnya meskipun sedikit, sebab hal ini dikarenakan induknya (Jati Cempurung) adalah dari hasil mencuri. Selain itu keunikan lainnya adalah adanya suatu cerita yang mengatakan bahwa ketika keraton Surakarta membutuhkan dua batang pohon jati yang berasal dari hutan Donoloyo dapat kembali lagi ke asalnya setelah seorang ndalem (kerabat keraton) mencemoohnya. Jati itu kembali ke sisi hutan Donoloyo paling barat, tepatnya di desa Pandan (dan dua batang pohon jati itu sampai sekarang masih ada. Orang-orang mempercayai dua batang pohon jati yang tergeletak di pinggir sebuah sawah di desa Pandan itu adalah Jati yang kembali akibat dicemooh orang nDalem Keraton Surakarta).
Jati Cempurung dan Masjid Demak
Ki Ageng Donoloyo sangat takjub dengan pertumbuhan jati yang ditanamnya ini. Pohon jati itu tumbuh dengan luar biasa. Dengan waktu yang tidak lama pohon jati itu tumbuh besar menjulang tinggi. Pohon jati itu memberinya kebanggaan luar biasa. Setiap hari ia memandangnya sembari memanjakan burung perkutut putih kesukaanya sembari pula menghisap candu dengan pipa panjang yang dihisap dari samping bersama anak-anak dan istrinya (versi lain mengatakan bahwa Ki Ageng Donoloyo tidak beristri). Sesekali sembari menikmati pohon jati itu Ki Ageng menanggap ledhek mbarang (orkes keliling) jika kebetulan lewat.
Hingga pada akhirnya datanglah utusan Raden Patah dari kerajaan Demak menemui Ki Ageng Donoloyo untuk membeli pohon jati yang ditanamnya itu berapapun harganya. Ki Ageng Donoloyo pun memperbolehkannya, tapi ia tidak meminta apa-apa sebagai gantinya. Ia hanya meminta sebuah sarat “Lemah Kedhuang Ombo yen ono pagebluk njaluk kalis lan ojo kanggo papan peperangan : tanah Jawa ini jika ada paceklik maka segeralah bisa diatasi dan jangan dijadikan sebagai ajang peperangan.” Maka segeralah utusan itu ke Demak dan menyampaikan sarat Ki Ageng kepadanya. Maka Raden Patah pun menyanggupinya.
Raden Patah pun mengutus beberapa dari Wali Songo untuk menebang jati Cempurung. Sebelum menebang para wali itu berembug di sebuah desa mengenai penebangan hingga cara membawa kayu jati itu ke Demak sebab ukuran pohon jati yang luar biasa besarnya (sekarang desa tempat berembug para Wali itu dinamakan desa Pule kecamatan Jatisrono, yang berasal dari kata “Ngumpule” yang berarti berkumpul untuk berembug). Kemudian disepakatilah cara mengangkut Jati Cempurung itu setelah ditebang yakni dengan cara dihanyutkan di hulu sungai Bengawan Solo (tepat persis di belakang punden) ketika musim penghujan. Konon pula setelah Jati Cempurung itu ditebang batang paling ujung/ pucuk jatuh di sebuah desa di kecamatan Sidoarjo yang berjarak kurang lebih 18 km sehingga desa itu dinamakan desa Pucuk.
Setelah penebangan Jati Cempurung itulah menurut banyak orang kemudian Ki Ageng Donoloyo sudah tak tampak lagi di kediamannya. Banyak orang mempercayainya Ki Ageng telah moksa, hilang bersama raganya.
SEJARAH KABUPATEN WONOGIRI
Sejarah lahirnya pemerintahan di Wonogiri tidak terlepas dari peran Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyowo. Demikian pula mythos ataupun legenda di Wonogiri juga lebih banyak berlatar belakang perjuangan Pangeran Sambernyowo. Namun wilayah Wonogiri telah terdapat kebudayaan yang berkembang pada masa-masa sebelumnya.
A. MASA PRA SEJARAH Di Kabupaten Wonogiri terdapat berbagai bukti temuan artefact di beberapa goa di Kabupaten Wonogiri. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa di wilayah Kabupaten Wonogiri pernah menjadi peradaban pada masa pra sejarah.
B. MASA KLASIK Di wilayah Wonogiri ditemukan Candi Bendo Kasur. Namun dari temuan ini-pun belum menggambarkan aliran agama. Hal tersebut dikarenakan kondisi candi yang sudah aus dan tinggal pondasi. Selain itu juga terdapat patung Ganesha. Patung Ganesha tersebut mampu menggambarkan bahwa Kabupaten Wonogiri pada masa klasik beragama Hindu Shiwa.
C. MASA ISLAM
a. Masa Kerajaan Demak Sejarah Wonogiri pada masa Islam muncul pada masa Kerajaan Demak. Pada tahun 1478 M merupakan pergantian Kadipaten Bintaro menjadi sebuah kasultanan yang bernama Kasultanan Demak Bintoro. Sejak Kerajaan Majapahit runtuh, maka banyak kadipaten-kadipaten kecil yang semula merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit akhirnya bergabung dengan Kasultanan Demak.
Seiring dengan berdirinya Kasultanan Demak, Raden Patah sebagai pemegang tampuk kepemimpinan menitahkan untuk membangun sebuah Masjid Agung yang digunakan untuk beribadah dan tempat pertemuan / silaturahmi. Dari sumber tradisional yang berupa cerita babad maupun legenda diketahui bahwa Masjid Agung Demak sangat berperan dalan sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Pulau Jawa, bahkan pengaruhnya terasa sampai di luar Pulau Jawa seperti Malaysia. Konon Masjid Agung Demak ini dibuat oleh para Wali yang tergabung dalam Wali Songo dan digunakan untuk tempat pertemuan saat membicarakan soal-soal keagamaan dan masalah Islam lainnya. Cerita legenda yang bersifat simbolis mengisahkan bahwa Masjid Agung Demak dibuat oleh para Wali dalam 1 (satu) malam.
Keempat saka guru Masjid Agung Demak merupakan sumbangan dari 4 (empat) wali yaitu Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga. Sedangkan saka berukir yang dipasang di serambi masjid dipercaya berasak dari Kerajaan Majapahit dan disebut “Saka Majapahit”. Sehubungan dengan hal tersebut, Kabupaten Wonogiri memiliki peran yang sangat penting. Seperti wali yang lainnya, Sunan Giri segera melaksanakan tugasnya untuk mencari kayu jati. Beliau mencari kayu jati ke arah selatan menyusuri Sungai Bengawan Solo. Dikisahkan sepanjang perjalanan selalu melewati hutan dan gunung. Sampailah perjalanan Sunan Giri di sebuah hutan di sebuah gunung yang penuh dengan Pohon Jati. Melalui ijin dari Ki Donosari si pemilik hutan tersebut, Sunan Giri memilih pohon jati yang sangat tua yang tinggi, besar dan lurus. Untuk memudahkan cara pengangkutan kayu jati tersebut dihanyutkan melalui Sungai Kedawung yang bermuara di Sungai Bengawan Solo. Di sini terdapat cerita legenda bahwa saat mengangkut kayu ke sungai Kedawung, Ki Donosari memerintahkan sinden untuk naik di atas kayu dan melantunkan tembang mocopat. Anehnya, kayu terasa lebih ringan dan mudah dibawa. Sesampainya di Sungai Kedawung, Sunan Giri memberi nama daerah tersebut “Wonogiri”, karena sepanjang jalan yang dilihatnya hanya hutan dan gunung. Dalam perjalanannya Sunan Giri melewati sebuah gunung. Di sana menemui orang yang selalu membuntuti dari Bintaro. Maka Sunan Giri memerintahkan untuk menunggui daerah tersebut dan memberi nama daerah tersebut “Gunung Giri” yang berarti bukit kecil yang ditumbuhi pohon jati. Pada masa Kerajaan Mataram Islam di daerah ini didirikan astana para kerabat keraton.
b. Masa Kerajaan Mataram (Kartasura) Perkembangan organisasi pemerintahan pada masa Islam di Wonogiri dimulai di Nglaroh, salah satu daerah yang pada masa sekarang masuk dalam wilayah Desa Pule, Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri. Berdasar pada temuan watu gilang yang konon merupakan tempat duduk Pangeran Samber Nyawa atau Raden Mas Said. Tempat tersebut juga dipercaya sebagai lahirnya pemerintahan di Wonogiri. Raden Mas Said adalah salah satu pangeran dari Kerajaan Mataram (Kartasura) yang mengasingkan diri karena ketidakadilan di dalam keraton. Raden Mas Said lahir di Kartasuro pada hari Minggu Legi, tanggal 4 Ruwah 1650 tahun Jimakir, Windu Adi Wuku Wariagung, atau bertepatan dengan tanggal Masehi 8 April 1725. Raden Mas Said merupakan putra dari Kanjeng Pangeran Aryo Mangkunegoro dan Raden Ayu Wulan yang wafat saat melahirkannya. Sementara itu saat usia 2 tahun sudah ditinggal ayahnya Pangeran Ario Mangkunegoro, Salah satu raja Mataram (Kartasura) karena diasingkan oleh pemerintah Belanda di bawah perintah Kapitan Van Hogendorff di Cailon (Srilanka) dalam rangka memecah belah persatuan di tubuh keraton dan digantikan oleh PB II. Hal itu karena ulah keji berupa fitnah dari Kanjeng Ratu dan Patih Danurejo. Akibatnya, Raden Mas Said mengalami masa kecil yang jauh dari selayaknya seorang bangsawan Keraton. Raden Mas Said menghabiskan masa kecil bersama anak-anak para abdi dalem lainnya, sehingga mengerti betul bagaimana kehidupan kawula alit. Di lain pihak, RM Said merupakan cucu dari Mas Sumarsono (istri PB II) yang berasal dari Nglaroh, Wonogiri. Pada usia 13 tahun, RM. Said diberi jabatan sebagai Manteri Anom dengan sebutan RM. Suryokusumo, sejajar dengan Abdi Dalem Menteri. Perlakuan ini dianggap semena-mena, karena RM. Said seharusnya menjadi Pangeran Sentana. Sehingga RM. Said tidak menyukai sikap PB II yang selalu tunduk kepada aturan Belanda . Hingga pada hari Rabu Kliwon, tanggal 3 Rabiulawal (Mulud) Windu Sengara, 1666 Tahun Jawa atau tanggal 19 Mei 1741 M, RM. Said yang didampingi neneknya BRA. Kusumonarso beserta pengikutnya meninggalkan istana menuju Dusun Nglaroh, Wonogiri guna menyusun kekuatan melawan pasukan Kapitan Van Hogendorff (bukan PB II). Hari yang sama rombongan telah sampai tujuan dan langsung membangun pusat pemerintahan beserta perlengkapannya (institusi pemerintah) yang terdiri dari RM. Sutowijoyo sebagai senopati dan Ki Wirodiwongsi (warga setempat) sebagai patih serta 22 orang sebagai prajurit. Dalam mengendalikan perjuangannya, Raden Mas Said mengeluarkan semboyan yang sudah menjadi ikrar sehidup semati yang terkenal dengan sumpah “Kawulo Gusti” atau “Pamoring Kawulo Gusti” sebagai pengikat tali batin antara pemimpin dengan rakyatnya, luluh dalam kata dan perbuatan, maju dalam derap yang serasi bagaikan keluarga besar yang sulit dicerai-beraikan musuh. Ikrar tersebut berbunyi “tiji tibeh, mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh”. pasukan inti kemudian berkembang menjadi perwira-perwira perang yang mumpuni dengan sebutan Punggowo Baku Kawandoso Joyo. c. Pemerintahan di Nglaroh Pemerintahan yang dibangun oleh RM. Said di Dusun Nglaroh diawali tepat pada hari Rabu Kliwon, Tanggal 3 Rabiul Awal Tahun 1666 dengan candra sengkala “Roso Retu Ngoyeg Jagad” atau bertepatan dengan tanggal 19 Mei 1741 M dengan surya sengkala “Kahutaman Sumebaring Giri Linuwih”. Bentuk pemerintahan di Dusun Nglaroh masih sangat terbatas dan sangat sederhana dan dikemudian hari menjadi simbol semangat pemersatu perjuangan rakyat. Tanggal ini pula yang dijadikan hari jadi Kabupaten Wonogiri. Inisiatif untuk menjadikan Wonogiri (Nglaroh) sebagai basis perjuangan Raden mas Said, adalah dari rakyat Wonogiri sendiri ( Wiradiwangsa) yang kemudian didukung oleh penduduk Wonogiri pada saat itu.
Raden Mas Said juga menciptakan suatu konsep manajemen pemerintahan yang dikenal sebagai Tri Darma yaitu :
1. Mulat Sarira Hangrasa Wani, artinya berani mati dalam pertempuran karena dalam pertempuran hanya ada dua pilihan hidup atau mati. Berani bertindak menghadapi cobaan dan tantangan meski dalam kenyataan berat untuk dilaksanakan. Sebaliknya, disaat menerima anugerah baik berupa harta benda atau anugerah lain, harus diterima dengan cara yang wajar. Hangrasa Wani, mau berbagi bahagia dengan orang lain.
2. Rumangsa Melu Handarbeni, artinya merasa ikut memiliki daerahnya, tertanam dalam sanubari yang terdalam, sehingga pada akhirnya pada akhirnya akan menimbulkan perasaan rela berjuang dan bekerja untuk daerahnya. Merawat dan melestarikan kekayaan yang terkandung didalamnya.
3. Wajib Melu Hangrungkebi, artinya dengan merasa ikut memiliki timbul kesadaran untuk berjuang hingga titik darah penghabisan untuk tanah kelahirannya.
D. MASA KOLONIAL
a. Kondisi Wonogiri saat akhir Keraton Mataram (Kartasura) Pada tahun 1741 M, pada saat perjalanan RM. Said dan rombongan menuju Dusun Nglaroh, Daerah Wonogiri belum terjamah Belanda. Berdasar dari sebuah kisah, bahwa sepanjang jalan menuju Nglaroh suasananya sangat nyaman dan tentram. Namun masyarakat setempat mengetahui keberadaan Kolonial Belanda di Surakarta (Pusat pemerintahan) dan bersikap membenci terhadap kolonial Belanda. Hal ini sangat menguntungan RM. Said dalam rangka menyusun kekuatan untuk menentang kolonial Belanda.
b. Perjuangan RM. Said Melawan Penjajah Kegigihan Raden Mas Said dalam memerangi musuh-musuhnya sudah tidak diragukan lagi, bahkan hanya dengan prajurit yang jumlahnya sedikit, tidak akan gentar melawan musuh. Raden Mas Said merupakan panglima perang yang mumpuni, terbukti selama hidupnya sudah melakukan tidak kurang 250 kali pertempuran dengan tidak menderita kekalahan yang berarti. Dari sinilah Raden Mas Said mendapat julukan “Pangeran Sambernyawa” karena dianggap sebagai penebar maut (Penyambar Nyawa) bagi siapa saja musuhnya pada setiap pertempuran. Cerita tentang perjuangan RM. Said tertuang dalam cerita rakyat. Dikisahkan terjadi pertempuran di Dusun Dlepih, Tirtomoyo. Pasukan RM. Said dikepung oleh pasukan Belanda. Semua jalan telah tertutup dan satu-satunya jalan hanya menyeberangi sungai yang sedang banjir. Dalam menghadapi kesulitan tersebut, RM Said mengambil tindakan menendang pohon beringin yang berada di pinggir kali hingga roboh melintangi sungai. Dengan segera pasukan RM. Said meniti pohon beringin tersebut. Saat Belanda mengejar dengan jalan yang sama, pasukan RM. Said segera menyambut dengan senjata. Dalam menghadapi perjuangan RM. Said, Belanda mengalami kerugian besar. Pertempuran tersebut membutuhkan dana yang sangat besar. Demikian pula pasukannya banyak yang tewas. Belanda merasa kewalahan sehingga mencari jalan damai melalui suatu perundingan. Berdasar Perjanjian Salatiga, RM Said dinobatkan menjadi Raja Pura Mangkunegaran dan berhak atas tanah 6000 karya beserta daerah-daerah yang dikuasainya terlebih dahulu.
c. Kerajaan Mangkunegaran Berkat keuletan dan ketangguhan Raden Mas Said dalam taktik pertempuran dan bergerilya sehingga luas wilayah perjuangannya meluas meliputi Ponorogo, Madiun dan Rembang bahkan sampai daerah Yogyakarta. Pada akhirnya atas bujukan Sunan Paku Buwono III, Raden Mas Said bersedia diajak ke meja perundingan guna mengakhiri pertempuran. Dalam perundingan yang melibatkan Sunan Paku Buwono III, Sultan Hamengkubuwono I dan pihak Kompeni Belanda, disepakati bahwa Raden Mas Said mendapat daerah kekuasaan dan diangkat sebagai Adipati Miji atau mandiri bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegoro I. Penetapan wilayah kekuasaan Raden Mas Said terjadi pada tanggal 17 Maret 1757 melalui sebuah perjanjian di daerah Salatiga. Kedudukannya sebagai Adipati Miji sejajar dengan kedudukan Sunan Paku Buwono III dan Sultan Hamengkubuwono I dengan daerah kekuasaan meliputi wilayah Keduwang (daerah Wonogiri bagian timur), Honggobayan (daerah timur laut Kota Wonogiri sampai perbatasan Jatipurno dan Jumapolo Kabupaten Karanganyar), Sembuyan (daerah sekitar Wuryantoro dan Baturetno), Matesih, dan Gunung Kidul. KGPAA Mangkunegoro I membagi wilayah Kabupaten Wonogiri menjadi 5 (lima) daerah yang masing-masing memiliki ciri khas atau karakteristik yang digunakan sebagai metode dalam menyusun strategi kepemimpinan, yaitu :
1. Daerah Nglaroh (wilayah Wonogiri bagian utara, sekarang masuk wilayah kecamatan Selogiri). Sifat rakyat daerah ini adalah Bandol Ngrompol yang berarti kuat dari segi rohani dan jasmani, memiliki sifat bergerombol atau berkumpul. Karakteritik ini sangat positif dalam kaitannya untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Rakyat di daerah Nglaroh juga bersifat pemberani, suka berkelahi, membuat keributan akan tetapi jika bisa memanfaatkan potensi rakyat Nglaroh bisa menjadi kekuatan dasar yang kuat untuk perjuangan.
2. Daerah Sembuyan (wilayah Wonogiri bagian selatan sekarang Baturetno dan Wuryantoro), mempunyai karakter sebagai Kutuk Kalung Kendho yang berarti bersifat penurut, mudah diperintah pimpinan atau mempunyai sifat paternalistik.
3. Daerah Wiroko (wilayah sepanjang Kali Wiroko atau bagian tenggara Kabupaten Wonogiri sekarang masuk wilayah Kecamatan Tirtomoyo). Masyarakat didaerah ini mempunyai karakter sebagai Kethek Saranggon, mempunyai kemiripan seperti sifat kera yang suka hidup bergerombol, sulit diatur, mudah tersinggung dan kurang memperhatikan tata krama sopan santun. Jika didekati mereka kadang kurang mau menghargai orang lain, tetapi jika dijauhi mereka akan sakit hati. Istilahnya gampang-gampang susah.
4. Daerah Keduwang (wilayah Wonogiri bagian timur) masyarakatnya mempunyai karakter sebagai Lemah Bang Gineblegan. Sifat ini bagai tanah liat yang bisa padat dan dapat dibentuk jika ditepuk-tepuk. Masyarakat daerah ini suka berfoya-foya, boros dan sulit untuk melaksanakan perintah. Akan tetapi bagi seorang pemimpin yang tahu dan paham karakter sifat dan karakteristik mereka, ibarat mampu menepuk-nepuk layaknya sifat tanah liat, maka mereka akan mudah diarahkan ke hal yang bermanfaat.
5. Daerah Honggobayan (daerah timur laut Kota Wonogiri sampai perbatasan Jatipurno dan Jumapolo Kabupaten Karanganyar) mempunyai karakter seperti Asu Galak Ora Nyathek. Karakteristik masyarakat disini diibaratkan anjing buas yang suka menggonggong akan tetapi tidak suka menggigit. Sepintas dilihat dari tutur kata dan bahasanya, masyarakat Honggobayan memang kasar dan keras menampakkan sifat sombong dan congkak serta tinggi hati, dan yang terkesan adalah sifat kasar menakutkan. Akan tetapi mereka sebenarnya baik hati, perintah pimpinan akan dikerjakan dengan penuh tanggungjawab. Dengan memahami karakter daerah-daerah tersebut, Raden Mas Said menerapkan cara yang berbeda dalam memerintah dan mengendalikan rakyat diwilayah kekuasaannya, menggali potensi yang maksimal demi kemajuan dalam membangun wilayah tersebut.
Pada tahun 1775 M, Kasunanan Surakarta telah jatuh di tangan kolonial Belanda dengan berdirinya Benteng Vasternburg di dekat keraton. Wonogiri juga sedikit banyak berpengaruh dengan keberadaan Penjajahan tersebut. Di bawah perintah Mangkunegara I, Kabupaten Wonogiri selalu giat melawan kolonial Belanda. Raden Mas Said memerintah selama kurang lebih 40 tahun dan wafat pada tanggal 28 Desember 1795. Setelah Raden Mas Said meninggal dunia, kekuasaan trah Mangkunegaran diteruskan oleh putra-putra beliau. Pada masa kekuasaan KGPAA Mangkunegara VII terjadi peristiwa penting sekitar tahun 1923 M yakni perubahan status daerah Wonogiri yang dahulu hanya berstatus Kawedanan menjadi Kabupaten. Saat itu Wedana Gunung Ngabehi Warso Adiningrat diangkat menjadi Bupati Wonogiri dengan pangkat Tumenggung Warso Adiningrat. Akibat perubahan status ini, wilayah Wonogiri pun dibagi menjadi 5 Kawedanan yaitu Kawedanan Wonogiri, Wuryantoro, Baturetno, Jatisrono dan Purwantoro. Pada saat itu di wilayah kekuasaan Mangkunegaran dilakukan penghematan anggaran keraton dengan menghapuskan sebagian wilayah Kabupaten yaitu Kabupaten Karanganyar sehingga wilayah Mangkunegaran manjadi dua yaitu Kabupaten Mangkunegaran dan Kabupaten Wonogiri. Ini berlangsung sampai tahun 1946. d. Masa Cultuur Stelsel Pada masa tanam paksa, Pemerintah Hidia-Belanda membangun jalur rel kereta api Semarang – Surakarta (110 Km) pada tanggal 10 Februari 1870.
Hal ini merupakan salah satu cara agar pengangkutan hasil bumi ke Kota Semarang semakin lancar. Terkait dengan hal tersebut, Wonogiri banyak menyumbangkan hasil buminya kepada kasunanan Surakarta untuk diserahkan kepada Pemerintah Hindia-Belanda. Sementara itu pengangkutan kayu dari Wonogiri menuju Solo masih menggunakan cikar yang ditarik kuda atau sapi. Jalur kereta api (KA) antara Solo-Wonogiri sendiri baru dibangun pada tanggal 1 April 1923 dan kemudian dioperasikan oleh Netherlands Indische Spoorwage (NIS) sebuah perusahaan swasta Pemerintah Hindia Belanda. Panjang jalur 33 kilometer, sebagian darinya melintas di tengah Kota Solo. Kereta api Bengawan Wonogiri atau yang lebih dikenal dengan Kereta Feeder Wonogiri. Kereta ini lebih difungsikan untuk kereta penumpang dengan stasiun yang terletak di Giripurwo, Wonogiri, Wonogiri dan berketinggian +144 m dpl. e. Masa Politik Etis Untuk kepentingan pendidikan, pada tahun 1927 pemerintah Hindia-Belanda juga mendirikan sekolah di Wonogiri. Sejak pemerintahan Belanda menerapkan politik Etis banyak sekolah mulai didirikan, walaupun sekolah-sekolah tersebut tidak sebanding dengan jumlah anak usia sekolah. Sekolah-sekolah yang didirikan adalah untuk kepentingan kolonial, baik kepentingan dalam bidang politik, ekonomi maupun administrasi. Jadi sama sekali tidak ditujukan untuk kepentingan rakyat Indonesia. Pada awalnya didirikan Sekolah Bumi Putra bagi para priyayi. Sekolah bumiputra Kelas Satu kelak menjadi Holands Inlandse School (HIS). Namun anak keluaran HIS pada umumnya tidak dapat diterima di sekolah yang lebih tinggi tingkatannya dalan hal ini MULO karena kurang kepandaiannya, teutama mengenai Bahasa Belanda.
E. MASA KEMERDEKAAN Sejak Republik Indonesia merdeka, tanggal 17 Agustus 1945 sampai tahun 1946 di wilayah Mangkunegaran terjadi dualisme pemerintahan, yaitu Kabupaten Wonogiri masih dalam wilayah monarki Mangkunegaran dan di lain pihak menginginkan Kabupaten Wonogiri masuk dalam sistem demokrasi Republik Indonesia. Timbulah gerakan Anti Swapraja yang menginginkan Wonogiri keluar dari sistem kerajaan Mangkunegaran. Akhirnya disepakati bahwa Kabupaten Wonogiri tidak menghendaki kembalinya Swapraja Mangkunegaran. Sejak saat itu Kabupaten Wonogiri mempunyai status seperti sekarang, dan masuk sebagai Kabupaten yang berada diwilayah Propinsi Jawa Tengah. Sekitar tahun 1948, ada usaha penjajah Belanda ingin berkuasa kembali dengan cara mengirimkan pasukan lengkap dengan persenjataannya, ke wilayah Surakarta selatan untuk menguasai Kabupaten Sukoharjo dan Wonogiri. Menyikapi manuver tentara Belanda itu, sejumlah pejuang TRI berinisiatif memasang tiga buah track bom di ketiga dasar tiang jembatan agar jembatan hancur, agar tentara Belanda tidak dapat melaju ke Wonogiri. Tapi skenario peledakan jembatan tidak berjalan sesuai rencana. Karena hanya satu bom yang terpasang di tengah yang meledak. Dua bom lainnya, di tiang jembatan sisi utara dan selatan, gagal meledak. Jembatan Nguter rusak di bagian tengahnya. Hal ini cukup menghambat laju pernyusupan tentara Belanda ke Wonogiri. Meskipun kemudian, Belanda menempuh cara melintasi Bengawan Solo dengan meniti jembatan kereta api (KA), dan berupaya memperbaiki bagian tengah jembatan Nguter yang rusak oleh ledakan bom. Selesai perbaikan, kemudian dicoba untuk lewat. Tapi dua tank tempur Belanda berserta kelengkapan amunisinya, terjerumus ke dasar sungai Bengawan Solo. Dua tank tempur itu tidak dapat diangkat ke atas karena terbenam lumpur.

0 komentar:

SEJARAH CANDI BOROBUDUR

sesuai kajian Islam VERSI KH FAHMI BASYA. Menurut sebuah penelitian oleh Pak KH Fahmi Basya memperoleh kesimpulan bahwa kisah nabi...