JAYABAYA


Maharaja Jayabhaya adalah raja Kadiri yang memerintah sekitar tahun 1135-1157. Nama gelar lengkapnya adalah Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa.
Pemerintahan Jayabhaya
Pemerintahan Jayabhaya dianggap sebagai masa kejayaan Kediri. Peninggalan sejarahnya berupa prasasti Hantang (1135), prasasti Talan (1136), dan prasasti Jepun (1144), serta Kakawin Bharatayuddha (1157).
Pada prasasti Hantang, atau biasa juga disebut prasasti Ngantang, terdapat semboyan Panjalu Jayati, yang artinya Kediri menang. Prasasti ini dikeluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk penduduk desa Ngantang yang setia pada Kediri selama perang melawan Jenggala.
Dari prasasti tersebut dapat diketahui kalau Jayabhaya adalah raja yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan Kediri.
Kemenangan Jayabhaya atas Jenggala disimbolkan sebagai kemenangan Pandawa atas Korawa dalam kakawin Bharatayuddha yang digubah oleh empu Sedah dan empu Panuluh tahun 1157.
Jayabhaya dalam Tradisi Jawa
Nama besar Jayabhaya tercatat dalam ingatan masyarakat Jawa, sehingga namanya muncul dalam kesusastraan Jawa zaman Mataram Islam atau sesudahnya sebagai Prabu Jayabaya. Contoh naskah yang menyinggung tentang Jayabaya adalah Babad Tanah Jawi dan Serat Aji Pamasa.
Dikisahkan Jayabaya adalah titisan Wisnu. Negaranya bernama Widarba yang beribu kota di Mamenang. Ayahnya bernama Gendrayana, putra Yudayana, putra Parikesit, putra Abimanyu, putra Arjuna dari keluarga Pandawa.
Permaisuri Jayabaya bernama Dewi Sara. Lahir darinya Jayaamijaya, Dewi Pramesti, Dewi Pramuni, dan Dewi Sasanti. Jayaamijaya menurunkan raja-raja tanah Jawa, bahkan sampai Majapahit dan Mataram Islam. Sedangkan Pramesti menikah dengan Astradarma raja Yawastina, melahirkan Anglingdarma raja Malawapati.
Jayabaya turun takhta pada usia tua. Ia dikisahkan moksha di desa Menang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri. Tempat petilasannya tersebut dikeramatkan oleh penduduk setempat dan masih ramai dikunjungi sampai sekarang.
Prabu Jayabaya adalah tokoh yang identik dengan ramalan masa depan Nusantara. Terdapat beberapa naskah yang berisi “Ramalan Joyoboyo”, antara lain Serat Jayabaya Musarar, Serat Pranitiwakya, dan lain sebagainya.
Dikisahkan dalam Serat Jayabaya Musarar, pada suatu hari Jayabaya berguru pada seorang ulama bernama Maolana Ngali Samsujen. Dari ulama tersebut, Jayabaya mendapat gambaran tentang keadaan Pulau Jawa sejak zaman diisi oleh Aji Saka sampai datangnya hari Kiamat.
Dari nama guru Jayabaya di atas dapat diketahui kalau naskah serat tersebut ditulis pada zaman berkembangnya Islam di Pulau Jawa. Tidak diketahui dengan pasti siapa penulis ramalan-ramalan Jayabaya. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat saat itu untuk mematuhi ucapan tokoh besar. Maka, si penulis naskah pun mengatakan kalau ramalannya adalah ucapan langsung Prabu Jayabaya, seorang raja besar dari Kadiri.
Tokoh pujangga besar yang juga ahli ramalan dari Surakarta bernama Ranggawarsita sering disebut sebagai penulis naskah-naskah Ramalan Jayabaya. Akan tetapi, Ranggawarsita biasa menyisipkan namanya dalam naskah-naskah tulisannya, sedangkan naskah-naskah Ramalan Jayabaya pada umumnya bersifat anonim.
Jayabaya adalah sejarah atau legenda cerita rakyat ?
Nama Jayabaya sangat populer bukan hanya dikalangan orang tradisional Jawa, tetapi juga bagi orang Indonesia umumnya, itu semua dikarenakan adanya ramalan kuno yang disebut Jangka Jayabaya, yang ramalannya seputar kemerdekaan Indonesia 1945 – terbukti kebenaranya.
Indonesia merdeka didahului dengan masuknya tentara Jepang selama 3,5 tahun dengan mengusir kolonialis Belanda yang telah bercokol lebih dari 3.5 abad dinegeri ini. Dengan tepat pula meramalkan siapa Ratu, maksudnya Pemimpin , Presiden pertama R.I dan bagaimana perjalanan perjuangannya.
Isi ramalan Jayabaya adalah :
1. Ramalan tentang perjalanan negara di Nusantara/Indonesia.
2. Sikap ratu/pemimpin yang baik yang seharusnya dilakukan dan sikap jelek yang pantang dilakukan.
3. Contoh perilaku ratu/pemimpin yang bisa jadi panutan.
4. Sikap pamong/priyayi/birokrat dan tingkah laku manusia dimasyarakat pada saat tertentu.
5. Gejolak alam, yaitu berbagai bencana alam termasuk wabah dan penyakit, perubahan iklim dan geologis/geografis. termasuk jebolnya Lapindo ( tambak segaran kedua )
6. Watak dan tindakan manusia yang mempengaruhi kehidupan secara umum, keadaan negara dan perilaku alam.
Esensi pralambang Jayabaya mengandung nasehat yang bijak, bagaimana manusia bisa hidup selamat sejahtera dengan berkah Tuhan. Tentu harus punya kesadaran yang tinggi, selalu berbuat baik terhadap sesama manusia, mahluk, bumi, alam dan menyadari kodratnya sebagai titah dari Sang Pencipta. Dengan berbudi luhur, manusia akan mengalami kehidupan di jaman Kalasuba, yang serba baik,enak, makmur, tetapi kalau masih saja melanggar norma-norma baku kehidupan seperti moralitas, tata susila , maka masyarakat dan negeri ini akan berada pada jaman Kalabendu, yang serba nista, terpuruk, tidak karuan.
Watak mulia Jayabaya
Semua pihak berpendapat bahwa Prabu Jayabaya sangatlah bijak, kuat tirakatnya dalam mengemban tugas negara. Untuk memecahkan persoalan negara yang pelik, Sang Prabu disertai oleh Permaisuri, Ratu Pagedhongan ( sering di sebut-sebut dalam bacaan mantra-mantra Jendra), disertai pula oleh beberapa menteri dan punggawanya yang terkait, melakukan perenungan/ngelelimbang di Padepokan Mamenang, memohon petunjuk Gusti, Tuhan.
Perenungan/ngelelimbang bisa berlangsung beberapa hari, minggu, bisa juga sebulan bahkan tahun, ini di lakukan demi mendapatkan jawaban/petunjuk dari Dewata Agung, mengenai langkah yang harus dilakukan demi kebaikan kawula dan negara.
Selama masa perenungan/ngelelimbang di Mamenang, Raja dan Ratu hanya menyantap sedikit kencur, kunyit dan temulawak (tiga buah sebesar jari telunjuk) dan minum secangkir air putih segar yang langsung diambil dari mata air, sehari cukup 2 atau 3 kali. Sedangkan para menteri hanya menyantap semangkok bubur jagung dan secangkir air putih setiap waktu makan. Dan setelah mendapatkan jawaban/solusi , Raja dan rombongan kembali ke istana di Kediri.
Sabdo Pandito Ratu
Di istana diadakan Pasewakan Agung , rapat kerajaan yang dipimpin raja, dikesempatan tersebut raja mengumumkan kebijakan yang diambil kerajaan dan yang mesti dijalankan dan ditaati seluruh pejabat dan kawula.
Apa yang diputuskan dan telah diucapkan oleh raja didepan rapat itu, disebut Sabdo Pandito Ratu atau Sabdo Brahmono Rojo, harus diterima dan dilaksanakan oleh semua pihak termasuk oleh raja sendiri. Jadi, seorang raja/pemimpin itu harus memenuhi janjinya dan apa yang diucapkan harus ditepati, tidak boleh mencla-mencle , cedera janji.
Ini adalah salah satu falsafah kepemimpinan Kejawen yang sudah dikenal sejak dari masa lampau. Rahayu...!
Perselisihan dengan Jenggala....
Sejak tahun 1135 Masehi, yang menduduki tahta kerajaan Panjalu ialah Shri Aji Jayabaya, yang bergelar Shri Maharaja Shri Warmeshwara Madhusudanamataranindhitta Suhrtsingha Paramakrama Digjayatunggadewanama Jayabhayalancana. Pada waktu peng-hadapan di hari Kamis, Shri baginda duduk di atas singgasana bersama dengan prameswari Dyah Hayu Sarameshwari.
Nampak telah menghadap Shri baginda .ialah putra, mahkota sang Maha Mantri Sarweswara yang duduk berdampingan dengan patih Dyah Suksara. Mereka bersama-sama membahas kesejahteraan rakyat. Belum selesai Shri baginda bersabda, perbincangan pun terganggu oleh keributan di luar sitinggil, yang ternyata adalah datangnya putri sulung Shri baginda, prameswari raja Janggala, yang bernama Dyah Pramesthi. Sang putri menghadap ayahanda baginda sambil menangis tersedu-sedu.
Betapa terkejutnya Shri baginda menerima kedatangan putri sulungnya, pulang ke Kadhiri tanpa pengawal dalam keadaan yang lemah lunglai lusuh membiaskan kesusahan yang sangat mendalam, sebab diusir oleh suaminya dituduh sebagai mata-mata dari Panjalu.
Serasa ditendang dada Shri Jayabaya mendengar laporan sang putri sulung. Sehingga keluarlah perintahnya yang sangat mahal, untuk mempersiapkan perang melawan Janggala Alkisah peijalanan prajurit Panjalu yang meninggalkan gerbang kota, menum­buhkan rasa bangga bagi masyarakat pedesaan yang dilaluinya. Suara tambur dan bendera perang yang bersulam emas bergambarkan singa berbadan manusia, menggetarkan hati siapapun yang melihatnya.
Di praja Janggala, Shri Narpati Darmatungga telah mendengar bahwa mertuanya tidak menerimakan perlakuannya terhadap Dyah Pramesthi, maka segeralah Shri Darmatungga mempersiapkan pasukan untuk menghadapi ‘singa’ dari Panjalu.
Pertempuran dahsyat pun tak terhin­darkan di bulak Hantang. Kedua pasukan telah bermandikan keringat dibakar matahari yang sedang bertengger di puncak langit. Debu ber­gelung-gelung menyelimuti medan pertem­puran, menempel lekat di tubuh para prajurit yang bersimbah darah.’Gelung rambutterurai awut-awutan, yang nampak bukan lagi manusia yang beradab melainkan jin setan janggitan yang gentayangan mencari mangsa.
Shri Aji Jayabaya benar-benar seorang maha jurit yang pantas disebut sebagai titisan Wishnu. Meloncat menyerang barisan lawan, bagai harimau kelaparan menyergap, mang­sanya. Barisan Janggala hancur berantakan diteijang oleh sang ‘singa’ Jayabaya. Bangkai musuh pun berserakan bagai glagah yang diamukgajah.
Pada akhirnya, kedua narpati yang sedang bertikai itu pun telah berhadaphadapan, antara mertua dan menantu, masing-masing menempatkan diri sebagai senopati agung. Keduanya telah siap untuk berperang tanding. Ternyatalah Shri Aji Darmatungga bukan tandingan Shri Aji Jayabaya. Dalam pertarungan yang singkat tangan Shri Jayabaya sempat menyentuh dada Shri Darmatungga, menimbulkan suara gemeretak, dadanya pecah Shri Darmatungga gugur di medan laga.
Pasukan Panjalu pun bersorak gegap gempita, menyaksikan junjungannya unggul dalam perang tanding. Janggala telah takluk dan sepenuhnya dikuasai oleh Panjalu.
Shri Jayabaya dengan pasukannya segera pulang ke Panjalu, di gerbang kota mereka dijemput oleh para kawula yang mengelu elukan para pahlawannya. Untuk memperingati kemenangan yang telah diperoleh, maka sejak saat itu kota Dahana pura juga disebut Pamenang. Dalam kesempatan itu pula Shri Jayabaya berkenan memanggil Mpu Sedah, untuk diperintahkan menulis sejarah perang saudara antara raja Janggala dengan Panjalu dalam bentuk gubahan kesusasteraan yang berjudul Baratayuda.
Memenuhi titah baginda, segeralah Mpu Sedah pamit pulang ke Wukir Padang, memusatkan fikiran untuk mulai menggubah kesusasteraan Baratayuda.
Setelah beberapa lama kemudian, dalam rangka baginda berkeliling ke desa-desa, maka singgahlah Shri baginda ke padepokan Wukir Padang, untuk menjenguk hasil kerja Mpu Sedah. Dalam kesempatan itu Mpu Sedah dengan jelas menyampaikan cerita Baratayuda yang sebagian telah diselesaikannya. Pada bagian awalnya, nampak Shri baginda sangat ‘ berkenan di hati. Namun demikian, setelah sampai pada kisah Prabu Salya dengan dewi Pujawati, serta merta Shri baginda murka. Mpu Sedah dituduh telah mencemooh dan menyinggung perkawinan Shri Jayabaya dengan prameswari Retnayu Sarameshwari, putri maha pendeta Mpungku ‘ Naiyayikadarsana.
keris pusaka, bagai didorong oleh kekuatan yang tak kasat mata bagai kilat keris itu pun menyambar menghujam dada Mpu Sedah tembus belikat. Mpu Sedah menjerit roboh seketika. Geger di Wukir Padang, para cantrik berlarian menyingkir takut pada Shri baginda yang sedang murka. Mayat Mpu Sedah segera disempurnakan melalui upacara sesuai dengan tuntunan agama. Shri baginda pun pulang ke Pamenang.
Sesampainya di istana, segera Shri Baginda memanggil Mpu Panuluh untuk menyelesaikan cerita Baratayuda yang belum selesai. Mpu Panuluh menyatakan kesediaannya.
Nampaklah bahwa Shri baginda sangatlah menyesal telah membunuh Mpu Sedah, oleh sebab itu untuk memulihkan rasa prihatin, Shri baginda berkenan mengangkat menantu cucu Mpu Sedah anak Ajar Subrata yang bernama Endang Sulastri untuk dinikahkan dengan putra baginda satria di Pakanjunan yang bernama Jaya Hamisena.
Tak terlukiskan megahnya upacara pernikahan antara Endang Sulastri dengan Jaya Hamisena. Konon, Mpu Panuluh telah berhasil menyelesaikan tulisan Baratayuda dan menghaturkannya kepada Shri baginda. Puas hati Shri baginda menerima sastra Baratayuda, hal tersebut tercatat dalam sandi sastra yang berbunyi SANGA KUDA SUDDA CANDRAMA (1079 Saka = 1157 Masehi)Selamat sejahtera Shri Jayabaya bertahta sampai dengan tahun 1157 Masehi.
Cerita ini terangkum dalam untaian tembang, MIJIL, SINOM, MASKUMAMBANG dan PANGKUR.
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: RM. Budi Udjianto, HN. Banjara
Cerita Mokswanya Prabu Jayabaya Beserta Para Punggawanya
Posted by Novita
Sebelumnya mohon maaf, jika penjabaran lewat tulisan ini sama sekali berbeda dengan versi sejarah resmi. Karena apa yang akan kami bahas ini adalah versi legenda dan mitos termasuk supranatural yang berkembang di sekitar masyarakat dimana dulu kerajaan ini berdiri.
Menurut sejarah, tepatnya legenda, kerajaan Kediri yang kala itu diperintah oleh Prabu Jayabaya sama-sama “mokswa” beserta raja dan punggawanya. Konon, keduanya berpindah ke alam gaib.
Menurut kepercayaan kabuyutan, Wisnu ngejawantah atau turun ke Arcapada di bumi Jawa. Tanah yang dipilih oleh sang Wisnu adalah Kediri, dan kemudian dia bergelar Sri Jayabaya. Wisnu sendiri berarti hidup, urip nurcahyo, suksma.
Sedang arti nejawantah adalah ngeja = muncul, kelihatan dan wantah = nyata. Dan bernama Jayabaya berarti = kesaktian, kemenangan, benih hidup yang berwujud menjadi baya = bayi. Di Kediri dia berwujud badan raga, atau manusia hidup yang dilengkapi suksma dan raga. Oleh karena itu, banyak yang percaya kalau Kediri itu tempat yang paling tua di tanah jawa, tempat hidup manusia pertama di tanah Jawa yang sudah lengkap dengan suksma dan raganya.
Kelahiran Wisnu di tanah Kediri sendiri persisnya berlangsung di sebuah desa kecil yang dibuka ditengah rimba belantara di pinggir sungai Kediri, Jawa Timur. Karena tanahnya yang subur, maka banyak warga yang ikut bergabung dan menjadi ramailah tempat itu. Yang babad alas adalah kakak beradik yang sakti dan bijaksana bernama Kyai Doho dan Kyai Doko.
Ngejawantahnya Wisnu yang kemudian berganti nama menjadi Jayabaya di Kediri, kelak akan membuat tempat ini menjadi pesat sekali perkembangannya. Karena itu, akhirnya dibentuk sebuah negeri yang diberi nama kerajaan Doho. Sedangkan desanya, atau mungkin ibukotanya jika di jaman sekarang, diberi nama Daka. Istananya sendiri di beri nama Mamenang.
Di bawah pemerintahan prabu Jayabaya, banyak kerajaan kecil yang ikut melebur jadi satu. Dengan begitu, kerajaan Doho makin bertambah besar dan berjaya.
Kyai Doho sendiri selaku pembabat hutan diberi kepercayaan oleh raja dengan kedudukan sangat tinggi dengan nama kebesaran Ki Butolocoyo, yang berarti orang bodoh yang bisa dipercaya. Hal ini sebagai bentuk penghargaan raja atas jasanya yang telah membuka wilayah tersebut. Sementara itu, Kyai Doko, adiknya, diberi pangkat senopati perang dan diberi nama Kyai Tunggul Wulung.
Raja dan ratu Mamenang ini punya pesanggrahan bernama pesanggrahan Wanasatur. Di pesanggrahan ini, pasangan pemimpin ini sangat besar sekali tirakatnya. Meski tinggal puluhan hari, keduanya hanya makan rimpang kunir dan temulawak saja. Didekat pesanggrahan yang dulunya digunakan untuk menanam kedua tanaman obat ini sampai sekarang masih bernama desa SiKunir dan Silawak.
Makanya tak mengherankan bila prabu Jayabaya waskita batin. Mengerti sak durunge winarang (tahu sebelum kejadian). Jauh hari sudah diprediksikan kalau sepeninggal dirinya negeri Doho ini akan pindah ke Medang Kamulan, yaitu Prambanan, dan kembali ke Jenggala (daerah Kediri), selanjutnya ke Sigaluh (Jawa Barat), Majapahit (Jatim), ke Jawa Tengah lagi (Demak, Pajang, Mataram), lalu ke jaman baru (kemerdekaan).
Setiap raja memutuskan pindah pusat pemerintahan selalu diikuti kawulanya. Dan daerah yang ditinggalkannya menjadi hutan kembali.
Karena satu peristiwa sang Prabu Jayabaya akhirnya mokswa, dan tak diketahui jejaknya. Bahkan sepeninggal dirinya, negeri Doho dilanda banjir bandang, dan keraton Mamenang rusak parah diterjang ganasnya lahar gunung kelud, hingga akhirnya negeri Doho kembali menjadi hutan belantara.
Ki Butolocoyo yang ikut mokswa akhirnya diminta oleh prabu Jayabaya untuk menjadi raja makhluk halus di Goa Selebale, yang terletak di selatan Bengawan Solo. Kyai Tunggul Wulung ditunjuk untuk menjadi penguasa gunu kelud. Abdi kinasihnya, Ki Kramataruna, tinggal di sebuah sindang atau telaga kecil di desa Kalasan, yang terletak di sebelah barat keraton Mamenang.
Ramalan Tanah Jawa Dari Raja Kediri ( Jayabaya )
Asal muasal ramalan ini adalah saat prabu Jayabaya raja Kediri bertemu pendita dari Rum yang sangat sakti, Maulana Ali Samsuyen. Ia pandai meramal serta tahu akan hal yang belum terjadi. Jayabaya lalu berguru padanya, sang pendeta menerangkan berbagai ramalan yang tersebut dalam kitab Musaror dan menceritakan penanaman orang sebanyak 12.000 keluarga oleh utusan Sultan Galbah di Rum, orang itu lalu ditempatkan di pegunungan Kendeng, lalu bekerja membuka hutan tetapi banyak yang mati karena gangguan makhluk halus, jin dsb, itu pada th rum 437, lalu Sultan Rum memerintahkan lagi di Pulau Jawa dan kepulauan lainnya dgn mengambil orang dari India, Kandi, Siam.
Sejak penanaman orang-orang ini sampai hari kiamat kobro terhitung 210 tahun matahari lamanya atau 2163 tahun bulan, Sang pendeta mengatakan orang di Jawa yang berguru padanya tentang isi ramalan hanyalah Hajar Subroto di G. Padang.
Beberapa hari kemudian Jayabaya menulis ramalan Pulau Jawa sejak ditanami yang kedua kalinya hingga kiamat, lamanya 2.100 th matahari. Ramalannya menjadi Tri-takali, yaitu :
I. Jaman permulaan disebut KALI-SWARA, lamanya 700 th matahari (721 th bulan). Pada waku itu di jawa banyak terdengar suara alam, gara-gara geger, halintar, petir, serta banyak kejadian-kejadian yang ajaib dikarenakan banyak manusia menjadi dewa dan dewa turun kebumi menjadi manusia.
II. Jaman pertengahan disebut KALI-YOGA, banyak perobahan pada bumi,bumi belah menyebabkan terjadinya pulau kecil-kecil, banyak makhluk yangsalah jalan, karena orang yang mati banyak menjelma (nitis).
III. Jaman akhir disebut KALI-SANGARA, 700 th. Banyak hujan salah mangsa dan banyak kali dan bengawan bergeser, bumi kurang manfaatnya, menghambat datangnya kebahagian, mengurangi rasa-terima, sebab manusia yang yang mati banyak yang tetap memegang ilmunya.Ramalan Jayabaya adalah ramalan dalam tradisi Jawa yang dipercaya ditulis oleh Jayabaya, raja Kerajaan Kediri. Ramalan ini dikenal pada khususnya di kalangan masyarakat Jawa.
Silahkan dicermati dan perhatikan secara seksama. Apakah ramalan ini sudah terjadi atau belum.
( Pesan eyang.. ramalan hanya sebagai pengetahuan saja...ramalan bukan dipercaya.. bisa menyebabkan Syirik kepada Gusti Allah swt )
# Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran --- Kelak jika sudah ada [[kereta]] tanpa [[kuda]].
# Tanah Jawa kalungan wesi --- [[Pulau Jawa]] berkalung [[besi]].
# Prahu mlaku ing dhuwur awang-awang --- [[Perahu]] berjalan di [[angkasa]].
# Kali ilang kedhunge --- [[Sungai]] kehilangan [[mata air]].
# Pasar ilang kumandhang --- [[Pasar]] kehilangan [[suara]].
# Iku tandha yen tekane zaman Jayabaya wis cedhak --- Itulah pertanda zaman Jayabaya telah mendekat.
# Bumi saya suwe saya mengkeret --- [[Bumi]] semakin lama semakin mengerut.
# Sekilan bumi dipajeki --- Sejengkal [[tanah]] dikenai [[pajak]].
# Jaran doyan mangan sambel --- Kuda suka makan [[sambal]].
# Wong wadon nganggo pakeyan lanang --- Orang [[perempuan]] berpakaian [[lelaki]].
# Iku tandhane yen wong bakal nemoni wolak-waliking zaman--- Itu pertanda orang akan mengalami zaman berbolak-balik
# Akeh janji ora ditetepi --- Banyak janji tidak ditepati.
# keh wong wani nglanggar sumpahe dhewe--- Banyak orang berani melanggar [[sumpah]] sendiri.
# Manungsa padha seneng nyalah--- Orang-orang saling lempar kesalahan.
# Ora ngendahake hukum Hyang Widhi--- Tak peduli akan hukum [[Hyang Widhi]].
# Barang jahat diangkat-angkat--- Yang jahat dijunjung-junjung.
# Barang suci dibenci--- Yang [[suci]] (justru) dibenci.
# Akeh manungsa mung ngutamakke dhuwit--- Banyak orang hanya mementingkan [[uang]].
# Lali kamanungsan--- Lupa jati kemanusiaan.
# Lali kabecikan--- Lupa hikmah kebaikan.
# Lali sanak lali kadang--- Lupa sanak lupa saudara.
# Akeh bapa lali anak--- Banyak ayah lupa anak.
# Akeh anak wani nglawan ibu--- Banyak anak berani melawan ibu.
# Nantang bapa--- Menantang ayah.
# Sedulur padha cidra--- Saudara dan saudara saling khianat.
# Kulawarga padha curiga--- Keluarga saling curiga.
# Kanca dadi mungsuh --- Kawan menjadi lawan.
# Akeh manungsa lali asale --- Banyak orang lupa asal-usul.
# Ukuman Ratu ora adil --- Hukuman [[Raja]] tidak adil
# Akeh pangkat sing jahat lan ganjil--- Banyak pejabat jahat dan ganjil
# Akeh kelakuan sing ganjil --- Banyak ulah-tabiat ganjil
# Wong apik-apik padha kapencil --- Orang yang baik justru tersisih.
# Akeh wong nyambut gawe apik-apik padha krasa isin --- Banyak orang kerja [[halal]] justru merasa malu.
# Luwih utama ngapusi --- Lebih mengutamakan menipu.
# Wegah nyambut gawe --- [[Malas]] untuk bekerja.
# Kepingin urip mewah --- Inginnya hidup mewah.
# Ngumbar nafsu angkara murka, nggedhekake duraka --- Melepas nafsu angkara murka, memupuk durhaka.
# Wong bener thenger-thenger --- Orang (yang) benar termangu-mangu.
# Wong salah bungah --- Orang (yang) salah gembira ria.
# Wong apik ditampik-tampik--- Orang (yang) baik ditolak ditampik (diping-pong).
# Wong jahat munggah pangkat--- Orang (yang) jahat naik [[pangkat]].
# Wong agung kasinggung--- Orang (yang) mulia dilecehkan
# Wong ala kapuja--- Orang (yang) jahat dipuji-puji.
# Wong wadon ilang kawirangane--- perempuan hilang malu.
# Wong lanang ilang kaprawirane--- Laki-laki hilang [[perwira]]/kejantanan
# Akeh wong lanang ora duwe bojo--- Banyak laki-laki tak mau beristri.
# Akeh wong wadon ora setya marang bojone--- Banyak perempuan ingkar pada [[suami]].
# Akeh ibu padha ngedol anake--- Banyak ibu menjual anak.
# Akeh wong wadon ngedol awake--- Banyak perempuan menjual diri.
# Akeh wong ijol bebojo--- Banyak orang tukar istri/suami.
# Wong wadon nunggang jaran--- Perempuan menunggang kuda.
# Wong lanang linggih plangki--- Laki-laki naik [[tandu]].
# Randha seuang loro--- Dua janda harga seuang (Red.: seuang = 8,5 sen).
# Prawan seaga lima--- Lima perawan lima picis.
# Dhudha pincang laku sembilan uang--- Duda pincang laku sembilan uang.
# Akeh wong ngedol ngelmu--- Banyak orang berdagang [[ilmu]].
# Akeh wong ngaku-aku--- Banyak orang mengaku diri.
# Njabane putih njerone dhadhu--- Di luar [[putih]] di dalam [[jingga]].
# Ngakune suci, nanging sucine palsu--- Mengaku suci, tapi palsu belaka.
# Akeh bujuk akeh lojo--- Banyak tipu banyak muslihat.
# Akeh udan salah mangsa--- Banyak [[hujan]] salah [[musim]].
# Akeh prawan tuwa--- Banyak [[perawan]] tua.
# Akeh randha nglairake anak--- Banyak [[janda]] melahirkan bayi.
# Akeh jabang bayi lahir nggoleki bapakne--- Banyak anak lahir mencari bapaknya.
# Agama akeh sing nantang--- [[Agama]] banyak ditentang.
# Prikamanungsan saya ilang--- Perikemanusiaan semakin hilang.
# Omah suci dibenci--- [[Rumah]] suci dijauhi.
# Omah ala saya dipuja--- Rumah [[maksiat]] makin dipuja.
# Wong wadon lacur ing ngendi-endi--- Perempuan lacur dimana-mana.
# Akeh laknat--- Banyak [[kutukan]]
# Akeh pengkianat--- Banyak [[pengkhianat]].
# Anak mangan bapak---Anak makan bapak.
# Sedulur mangan sedulur---Saudara makan saudara.
# Kanca dadi mungsuh---Kawan menjadi lawan.
# Guru disatru---[[Guru]] dimusuhi.
# Tangga padha curiga---Tetangga saling curiga.
# Kana-kene saya angkara murka --- [[Angkara murka]] semakin menjadi-jadi.
# Sing weruh kebubuhan---Barangsiapa tahu terkena beban.
# Sing ora weruh ketutuh---Sedang yang tak tahu disalahkan.
# Besuk yen ana peperangan---Kelak jika terjadi [[perang]].
# Teka saka wetan, kulon, kidul lan lor---Datang dari [[timur]], [[barat]], [[selatan]], dan [[utara]].
# Akeh wong becik saya sengsara--- Banyak orang baik makin sengsara.
# Wong jahat saya seneng--- Sedang yang jahat makin bahagia.
# Wektu iku akeh dhandhang diunekake kuntul--- Ketika itu burung gagak dibilang bangau.
# Wong salah dianggep bener---Orang salah dipandang benar.
# Pengkhianat nikmat---[[Pengkhianat]] nikmat.
# Durjana saya sempurna--- [[Durjana]] semakin sempurna.
# Wong jahat munggah pangkat--- Orang jahat naik pangkat.
# Wong lugu kebelenggu--- Orang yang lugu dibelenggu.
# Wong mulya dikunjara--- Orang yang mulia dipenjara.
# Sing curang garang--- Yang curang berkuasa.
# Sing jujur kojur--- Yang jujur sengsara.
# Pedagang akeh sing keplarang--- [[Dagang|Pedagang]] banyak yang tenggelam.
# Wong main akeh sing ndadi---[[Judi|Penjudi]] banyak merajalela.
# Akeh barang haram---Banyak barang haram.
# Akeh anak haram---Banyak anak haram.
# Wong wadon nglamar wong lanang---Perempuan melamar laki-laki.
# Wong lanang ngasorake drajate dhewe---Laki-laki memperhina derajat sendiri.
# Akeh barang-barang mlebu luang---Banyak barang terbuang-buang.
# Akeh wong kaliren lan wuda---Banyak orang lapar dan telanjang.
# Wong tuku ngglenik sing dodol---Pembeli membujuk penjual.
# Sing dodol akal okol---Si penjual bermain siasat.
# Wong golek pangan kaya gabah diinteri---Mencari rizki ibarat [[gabah]] ditampi.
# Sing kebat kliwat---Yang tangkas lepas.
# Sing telah sambat---Yang terlanjur menggerutu.
# Sing gedhe kesasar---Yang besar tersasar.
# Sing cilik kepleset---Yang kecil terpeleset.
# Sing anggak ketunggak---Yang congkak terbentur.
# Sing wedi mati---Yang takut mati.
# Sing nekat mbrekat---Yang nekat mendapat berkat.
# Sing jerih ketindhih---Yang hati kecil tertindih
# Sing ngawur makmur---Yang ngawur makmur
# Sing ngati-ati ngrintih---Yang berhati-hati merintih.
# Sing ngedan keduman---Yang main gila menerima bagian.
# Sing waras nggagas---Yang sehat pikiran berpikir.
# Wong tani ditaleni---Orang (yang) bertani diikat.
# Wong dora ura-ura---Orang (yang) bohong berdendang.
# Ratu ora netepi janji, musna panguwasane---Raja ingkar janji, hilang wibawanya.
# Bupati dadi rakyat---Pegawai tinggi menjadi rakyat.
# Wong cilik dadi priyayi---Rakyat kecil jadi priyayi.
# Sing mendele dadi gedhe---Yang curang jadi besar.
# Sing jujur kojur---Yang jujur celaka.
# Akeh omah ing ndhuwur jaran---Banyak rumah di punggung kuda.
# Wong mangan wong---Orang makan sesamanya.
# Anak lali bapak---Anak lupa bapa.
# Wong tuwa lali tuwane---Orang tua lupa ketuaan mereka.
# Pedagang adol barang saya laris---Jualan pedagang semakin laris.
# Bandhane saya ludhes---Namun harta mereka makin habis.
# Akeh wong mati kaliren ing sisihe pangan---Banyak orang mati lapar di samping makanan.
# Akeh wong nyekel bandha nanging uripe sangsara---Banyak orang berharta tapi hidup sengsara.
# Sing edan bisa dandan---Yang gila bisa bersolek.
# Sing bengkong bisa nggalang gedhong---Si bengkok membangun mahligai.
# Wong waras lan adil uripe nggrantes lan kepencil---Yang waras dan adil hidup merana dan tersisih.
# Ana peperangan ing njero---Terjadi perang di dalam.
# Timbul amarga para pangkat akeh sing padha salah paham---Terjadi karena para pembesar banyak salah faham.
# Durjana saya ngambra-ambra---Kejahatan makin merajalela.
# Penjahat saya tambah---Penjahat makin banyak.
# Wong apik saya sengsara---Yang baik makin sengsara.
# Akeh wong mati jalaran saka peperangan---Banyak orang mati karena perang.
# Kebingungan lan kobongan---Karena bingung dan kebakaran.
# Wong bener saya thenger-thenger---Si benar makin tertegun.
# Wong salah saya bungah-bungah---Si salah makin sorak sorai.
# Akeh bandha musna ora karuan lungane---Banyak harta hilang entah ke mana
# Akeh pangkat lan drajat pada minggat ora karuan sababe---Banyak pangkat dan derajat lenyap entah mengapa.
# Akeh barang-barang haram, akeh bocah haram---Banyak barang haram, banyak anak haram.
# Bejane sing lali, bejane sing eling---Beruntunglah si lupa, beruntunglah si sadar.
# Nanging sauntung-untunge sing lali---Tapi betapapun beruntung si lupa.
# Isih untung sing waspada---Masih lebih beruntung si waspada.
# Angkara murka saya ndadi---Angkara murka semakin menjadi.
# Kana-kene saya bingung---Di sana-sini makin bingung.
# Pedagang akeh alangane---Pedagang banyak rintangan.
# Akeh buruh nantang juragan---Banyak buruh melawan majikan.
# Juragan dadi umpan---Majikan menjadi umpan.
# Sing suwarane seru oleh pengaruh---Yang bersuara tinggi mendapat pengaruh.
# Wong pinter diingar-ingar---Si pandai direcoki.
# Wong ala diuja---Si jahat dimanjakan.
# Wong ngerti mangan ati---Orang yang mengerti makan hati.
# Bandha dadi memala---Hartabenda menjadi penyakit
# Pangkat dadi pemikat---Pangkat menjadi pemukau.
# Sing sawenang-wenang rumangsa menang --- Yang sewenang-wenang merasa menang
# Sing ngalah rumangsa kabeh salah---Yang mengalah merasa serba salah.
# Ana Bupati saka wong sing asor imane---Ada raja berasal orang beriman rendah.
# Patihe kepala judhi---Maha menterinya benggol judi.
# Wong sing atine suci dibenci---Yang berhati suci dibenci.
# Wong sing jahat lan pinter jilat saya derajat---Yang jahat dan pandai menjilat makin kuasa.
# Pemerasan saya ndadra---Pemerasan merajalela.
# Maling lungguh wetenge mblenduk --- [[Curi|Pencuri]] duduk berperut [[gendut]].
# Pitik angrem saduwure pikulan---[[Ayam]] mengeram di atas pikulan.
# Maling wani nantang sing duwe omah---Pencuri menantang si empunya rumah.
# Begal pada ndhugal---Penyamun semakin kurang ajar.
# Rampok padha keplok-keplok---[[Rampok|Perampok]] semua bersorak-sorai.
# Wong momong mitenah sing diemong---Si pengasuh memfitnah yang diasuh
# Wong jaga nyolong sing dijaga---Si penjaga mencuri yang dijaga.
# Wong njamin njaluk dijamin---Si penjamin minta dijamin.
# Akeh wong mendem donga---Banyak orang [[mabuk]] [[doa]].
# Kana-kene rebutan unggul---Di mana-mana berebut menang.
# Angkara murka ngombro-ombro---Angkara murka menjadi-jadi.
# Agama ditantang---Agama ditantang.
# Akeh wong angkara murka---Banyak orang angkara murka.
# Nggedhekake duraka---Membesar-besarkan durhaka.
# Ukum agama dilanggar---Hukum agama dilanggar.
# Prikamanungsan di-iles-iles---Perikemanusiaan diinjak-injak.
# Kasusilan ditinggal---Tata susila diabaikan.
# Akeh wong edan, jahat lan kelangan akal budi---Banyak orang gila, jahat dan hilang akal budi.
# Wong cilik akeh sing kepencil---Rakyat kecil banyak tersingkir.
# Amarga dadi korbane si jahat sing jajil---Karena menjadi kurban si jahat si laknat.
# Banjur ana Ratu duwe pengaruh lan duwe prajurit---Lalu datang Raja berpengaruh dan berprajurit.
# Lan duwe prajurit---Dan punya prajurit.
# Negarane ambane saprawolon---Lebar negeri seperdelapan dunia.
# Tukang mangan suap saya ndadra---Pemakan suap semakin merajalela.
# Wong jahat ditampa---Orang jahat diterima.
# Wong suci dibenci---Orang suci dibenci.
# Timah dianggep perak---[[Timah]] dianggap [[perak]].
# Emas diarani tembaga---[[Emas]] dibilang [[tembaga]]
# Dandang dikandakake kuntul---[[Gagak]] disebut [[bangau]].
# Wong dosa sentosa---Orang berdosa sentosa.
# Wong cilik disalahake---Rakyat jelata dipersalahkan.
# Wong nganggur kesungkur---Si penganggur tersungkur.
# Wong sregep krungkep---Si tekun terjerembab.
# Wong nyengit kesengit---Orang busuk hati dibenci.
# Buruh mangluh---[[Buruh]] menangis.
# Wong sugih krasa wedi---Orang kaya ketakutan.
# Wong wedi dadi priyayi---Orang takut jadi priyayi.
# Senenge wong jahat---Berbahagialah si jahat.
# Susahe wong cilik---Bersusahlah rakyat kecil.
# Akeh wong dakwa dinakwa---Banyak orang saling tuduh.
# Tindake manungsa saya kuciwa---Ulah manusia semakin tercela.
# Ratu karo Ratu pada rembugan negara endi sing dipilih lan disenengi---Para raja berunding negeri mana yang dipilih dan disukai.
# Wong Jawa kari separo---Orang Jawa tinggal setengah.
# Landa-Cina kari sejodho --- [[Belanda]]-[[Cina]] tinggal sepasang.
# Akeh wong ijir, akeh wong cethil---Banyak orang kikir, banyak orang bakhil.
# Sing eman ora keduman---Si hemat tidak mendapat bagian.
# Sing keduman ora eman---Yang mendapat bagian tidak berhemat.
# Akeh wong mbambung---Banyak orang berulah dungu.
# Akeh wong limbung---Banyak orang limbung.
# Selot-selote mbesuk wolak-waliking zaman teka---Lambat-laun datanglah kelak terbaliknya zaman.

2 komentar:

SEJARAH CANDI BOROBUDUR

sesuai kajian Islam VERSI KH FAHMI BASYA. Menurut sebuah penelitian oleh Pak KH Fahmi Basya memperoleh kesimpulan bahwa kisah nabi...