Asal Mula Kota Pekalongan


Pada suatu hari di kerajaan mataram, sedang berlangsung suatu pertemuan tertutup yang hanya dihadiri oleh para petinggi kerajaan Mataram. Mereka sedang membahas masalah ramalan yang menyebutkan bahwa akan ada seorang anak selir yang akan dapat menggoyangkan tahta Sultan Agung jika ia dibesarkan di wilayah kerajaan. Setelah mempertimbangkan dengan matang, akhirnya diputuskan untuk menitipkan anak tersebut kepada Ki Gede Cempaluk. Beberapa bulan kemudian, lahirlah seorang putra yang lucu dan tampan. Anak laki-laki tersebut adalah putra Sultan Agung yang dikandung oleh selirnya. Sesuai dengan kesepakatan, maka sesaat setelah bayi tersebut lahir langsung dibawa oleh Ki Gede Cempaluk untuk diasuh. Sultan Agung memberikan sebidang tanah di daerah Gambiran kepada Ki Gede Cempaluk sebagai tempat untuk mendirikan padepokan sekaligus kediamannya. Oleh Ki Gede Cempaluk, bayi laki-laki tersebut kemudian diberi nama Jaka Bau. ( nantinya akan bernama Bahurekso )
Jaka Bau memiliki beberapa sahabat yang sangat akrab. Mereka sudah seperti saudara. Mereka sudah kenal dan berteman akrab sejak mereka masih kanak-kanak. Mereka senang sekali berpura-pura menjadi panglima perang tentara Mataram setiap kali bermain perang-perangan. Bahkan mereka sering bertengkar karena memperebutkan kedudukan. Mereka memiliki cita-cita yang sama, yaitu ingin menjadi panglima perang kerajaan Mataram.
Seiring dengan berjalannya waktu, Jaka Bau tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan, kuat, baik hati, dan memiliki ilmu kanuragan yang sangat tinggi sehingga disegani oleh rekan-rekan sepadepokannya. Kesaktiannya sudah sangat terkenal dan namanya cukup disegani di daerah Pantura.
Beberapa tahun kemudian, Ki Gede Cempaluk memutuskan bahwa Jaka sudah cukup dewasa dan harus mengabdikan tenaga dan pikirannya kepada kerajaan Mataram. Beliau kemudian mengutus Jaka Bau untuk berangkat ke Mataram dengan disertai surat pengantar tentang jati diri Jaka Bau yang sebenarnya yang ditujukan langsung kepada Sultan Agung.
Sesampainya di Mataram, Jaka Bau langsung pergi menemui Sultan Agung dan menyerahkan surat yang dititipkan oleh Ki Gede Cempaluk. Setelah Sultan Agung membaca surat dari Ki Gede Cempaluk tentang identitas diri Jaka Bau yang sebenarnya, beliau menjadi sangat terkejut sekaligus bahagia karena melihat putranya telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah, rupawan, pemberani, dan baik hati.
Selama menjadi prajurit Mataram, karir Jaka Bau sangat cemerlang. Pada suatu hari, Jaka Bau kemudian diutus untuk memimpin pasukan mataram menyerang raja Uling di daerah Sigawok oleh Sultan Agung. Tugas tersebut berhasil dijalankan dengan baik oleh Jaka Bau. Atas prestasinya tersebut, Jaka Bau kemudian diberikan gelar Tumenggung Bahurekso oleh Sultan Agung. Tumenggung Bahurekso kemudian diperbolehkan untuk kembali ke Pekalongan dengan diberikan tugas untuk menanam dua batang pohon beringin di kulon kali dan wetan kali pekalongan. Dua batang pohon beringin itulah yang sampai sekarang tumbuh di tengah alun-alun Pekalongan dan Alun-alun Batang. Seusai menunaikan tugasnya tersebut, tumenggung bahurekso dilantik menjadi adipati (bupati) Kendal.
Pada suatu hari, Baurekso memutuskan untuk bertapa di hutan gambiran. Pertapaan yang dilakukannya ini bukan sembarang semedi, tetapi tapa ngalong, yaitu bertapa dengan posisi terbalik seperti kelelawar. Sejak saat itulah daerah gambiran dan sekitarnya dinamakan daerah ”PEKALONGAN”. Dalam melakukan semedinya, Bahurekso mengalami banyak sekali godaan, termasuk dari Dewi Lanjar, ratu penguasa para makhluk halus di pantai utara Jawa. Namun karena kesaktiannya, Bahurekso tidak terpengaruh sama sekali. Justru akhirnya Dewi Lanjar yang takluk kepada Bahurekso dan menjadi istrinya. Mereka hidup dengan bahagia dan harmonis. Dengan Dewi Lanjar sebagai istrinya, kesaktian Bahurekso dan namanyapun semakin terkenal.
Beberapa bulan kemudian, Sultan Agung mengirim seorang utusan untuk memanggil Tumenggung Bahurekso ke Mataram guna memimpin pasukan Koloduto yang akan menyerang Batavia. Utusan tersebut juga memanggil Tan Kwie Djan (Djaningrat), Bupati Pekalongan saat itu yang juga sahabat dan teman seperjuangan Tumenggung Bahurekso. Mereka kemudian segera berangkat ke Mataram bersama-sama untuk menghadap kepada Sultan Agung.
Setelah sampai di Mataram, mereka langsung mempersiapkan segala keperluan untuk berperang. Seminggu kemudian, persiapan telah selesai dan merekapun segera berangkat menuju Batavia setelah berpamitan kepada Sultan Agung dan Ki Gede Cempaluk.
Sesampainya di Batavia, pasukan Koloduto tidak langsung menyerang masuk. Mereka mengirim para agen yang menyamar menjadi pedagang dan seniman. Mereka ditugaskan untuk melihat situasi dan kondisi dalam kota. Beberapa hari kemudian, para prajurit yang menyamar menjadi pedagang dan seniman tersebut menyerang pasukan Belanda di Batavia secara serempak pada tengah malam. Namun serangan tersebut dapat dipatahkan oleh Belanda karena keterbatasan jumlah dan persenjataan.
Dengan hasil tersebut, belanda merasa senang dan menjadi lengah. Tidak lama kemudian, pasukan utama Koloduto menyerang dari darat dan laut dari arah selatan dan utara. Pasukan Belanda menjadi panik dan sempat kocar-kacir karena terkejut, namun serangan tersebut kembali gagal karena serangan dari darat dan laut tidak secara bersamaan. Meskipun demikian, namun pasukan Belanda juga mengalami kerugian yang sangat besar dan banyak pasukannya yang tewas akibat serangan tersebut.
Pasukan Koloduto mundur dan menyusun rencana. Keesokan harinya, pasukan Koloduto yang dipimpin Tumenggung Bahurekso Kembali menyerang pasukan Belanda dengan menggali parit-parit. Untuk menangkis serangan tersebut, Belanda menggunakan budak-budak mereka dengan janji akan diberikan kemerdekaan.
Pasukan Koloduto berkali-kali berhasil menembus garis pertahanan pasukan Belanda, dan Djaningrat gugur dalam serangan tersebut. Namun hal itu tidak mempengaruhi semangat juang pasukan Koloduto. Hal ini malah menambah semangat juang mereka.
Pada keesokan harinya, tepatnya tanggal 21 September 1628 Tumenggung Bahurekso dan kedua putranya gugur dalam pertempuran. Hal ini membuat kacau pasukan Koloduto karena kehilangan figur seorang pemimpin. Akhirnya keadaan berbalik, dan pasukan Koloduto mundur dengan membawa para pimpinan mereka yang telah gugur.
by Subandi, S.Pd
VERSI LAIN DARI asal usul Pekalongan
Silahkan mana kira kira yang sesuai dengan jalan pikiran pembaca.
BABAT PEKALONGAN DAN LEGENDA BAHU REKSO
Babat pekalongan, sejarah, legenda, cerita
Sumber: pini sepuh dan cerita dari mulut kemulut yang di rangkai
(mataram islam 1613-1645)
Di kisahkan tentang negri mataram yang damai dan sejahtera pada masa kepemimpinan raja SULTAN AGUNG HANYONGKRO KUSUMO yang kekuasaanya mencakup seluruh pulau jawa, sumatra, bali dan pulau pulau lainnya.
Pada waktu itu bangsa belanda dan portugis telah masuk dan menginjakkan kaki di tanah jawa, karena belanda masuk pada tahun 1596. Yang tepatnya semenjak kerajaan demak belnada sudah ada di tanah jawa.
Babat tanah PEKALONGAN bermula dari kisah seorang pemuda yang bernama JOKO BAHU putra tunggal KI-AGENG CEMPALUK yang ingin mengabdikan diri di kerajaan mataram. Dia "joko bahu" berasal dari sebuah desa kecil yang bernama kesesi atau asal dari kata "kasisian" yang artinya pengasingan. Karena Ki ageng cempaluk adalah punggawa mataram yang karena kesalahan apa lalu dia diasingkan dan membangun padepokan didesa tersebut. Yang letaknya antara lain di hulu kali comal. Konon kesaktian ki cempaluk ini sudah terdengar lama dan menjadi buah bibir di kraton mataram. Maka tanpa banyak pertimbangan sultan agung menerima bakti joko bahu
Namun sudah menjadi sarat mutlak, setiap prajurit yang hendak mengabdi kepada negara harus melalui tiga tahap pendadaran atau uji kesetiaan pada negara terlebih dahulu. Termasuk kemampuan mengatasi masalah dan olah keprajuritannya.
Maka pendadaran tahap pertama yang diberikan sultan adalah: membendung kali sambong, karena setiap musim kemarau selalu saja sawah-sawah rakyat disepanjang aliran sungai itu selalu kekeringan. dan dengan membendung kali sambong di KABUPATEN BATANG diharapkan air dapat naik dan mengairi sawah-sawah disekitar tempat itu sehingga hasil panen akan meningkat. Dan itu adalah salah satu kebijakan raja mataram untuk meningkatkan kemakmuran negrinya di bidang pertanian.
Sedang Kali sambong sendiri terkenal angker, dan sudah beberapa kali di lakukan pembendungan namun selalu gagal dan gagal.
Berangkatlah joko bahu untuk membendung kali sambong, dengan perbolehkan membawa beberapa orang prajurit. Al-kisah setelah pembendungan dimulai sedikit demi sedikit. Ditengah berlangsungnya proyek pembendungan terjadilah keanehan-keanehan yaitu: setiap pagi ketika para prajurit hendak melanjutkan pekerjaannya mereka yang belum selesai itu, ia selalu mendapati tanggul yang mereka kerjakan kemarin telah rontok dan bubar kembali. Kejadian itu terus berulang-ulang sampai tiga hari berturut-turut. Tentu saja hal itu membuat joko bahu menjadi bingung bukan kepalang. Al-kisah joko bahu melakukan tapa brata dan bertemu dengan siluman yang menunggui kali itu, siluman itu konon adalah welut putih.terjadi tawar-menawar kepentingan antara kedua belah pihak namun tak ada mendapat kata sepakat alias buntu, maka terjadilah perkelahian sengit antara dua belah pihak konon akhirnya di menangkan joko bahu.
Keberhasilan joko bahu menjalankan tugasnya ini di sambut gembira oleh sultan agung. Lalu datanglah pendadaran tahap kedua yakni membuka lahan baru di tepi pantai utara sebelah kabupaten batang, yakni alas GAMBIRAN atau sekarang gambaran, Waktu itu alas gambiran adalah alas yang sering dihindari oleh para rombongan pedagang yang melakukan pejalan jauh karena keadaannya yang angker dan tak tersentuh. dulu para rombongan pedagang yang melakukan pejalan jauh lebih memilih lewat daerah sebelah selatan yang lebih aman.
Karena konon setiap orang yang masuk kehutan gambiran pasti dia hanya akan berputar-putar didalamnya dan tak pernah bisa kembali keluar lagi dengan selamat, begitupun yang di alami para prajuritnya joko bahu yang di suruh memasuki hutan itu dan mereka tak kembali lagi. Mereka hanya berputar-putar tak tentu.
Kemudian al-kisah joko bahu melakukan tapa brata yaitu tapa ngidang atau meniru sifat kidang. akan tetapi joko bahu tetap tak mampu untuk mengalahkan raja siluman penunggu hutan itu. maka dengan sigap joko bahu segera pulang ke padepokan kesesi untuk mengadukan hal tersebut pada ki ageng cempaluk dan atas saran ki ageng cempaluk, joko bahu di sarankan untuk melakukan "tapa ngalong" tapa brata yang menirukan posisi kalong, yaitu dengan tidur kaki dengan menggantung di pohon tiap siang selama 40 hari "kemudian tempat dimana joko bahu melakukan tapa ngalong itu kini disebut PEKALONGAN" ( Kata-kata "pe" yang menandakan sebuah tempat kalong adalah dimana joko bahu melakukan tapa kalong)
setelah empat puluh hari berlalu, seselesailah tapa-ngalongnya, singkat cerita joko bahu dapat mengalahkan raja siluman itu dan bisa melanjutkan menebang kayu-kayu disitu tanpa ada satu hambatanpun sampai selesai dan dapat pulang ke mataram dengan membawa hasii.
Tentu saja kabar baik ini membuat hati sultan agung gembira. dan konon setelah joko-bahu sowan ke mataram, dan sultan agung langsung menganugrahkan gelar adipati dengan julukan KI-BAHU REKSO dan sekaligus menetapkan di daerah kendal. mulailah sejak saat itu dia menjabat adi pati kendal.
akan tetapi cerita tak berakhir sampai di situ karena masih ada tugas yang terbengkalai, yaitu pendadaran tahap ke tiga. Maka belumlah sempurna bahu rekso menjadi adi pati kalau belum menjalankan tugas ketiga yaitu ia di tugaskan untuk melamarkan seorang putri cantik dari kali salak yang konon bernama nyi rantang sari.
betapa untung tak dapat diraih, malang tak dapat di tolak, nyi rantang sari yang hendak dipersembahkan sultan agung justru jatuh cinta pada bahu rekso dan tak mau dibawa untuk di persembahkan ke mataram.
Maka timbulah inisiatif dari bahu rekso Untuk mengganti dengan seorang putri yang tak kalah cantiknya yaitu endang kalibeluk, seorang putri anak penjual srabi di desa KALI BELUK (sampai sekarang penjual srabi itu masih karena diturunkan secara turun temurun)
akan tetapi sungguh sial, setelah disandingkan dengan sultan agung endang kalibeluk tak kuasa menahan luapan kegembiraannya dan akhirnya dia mengaku kalau dirinya bukan rantang sari yang dimaksud sultan agung. Hal ini tentu membuat sultan marah besar. Dia merasa telah di tipu oleh bahu rekso.
Akan tetapi keputusan untuk menjatuhkan hukuman mati kepada bahu rekso, dapat di cegah oleh patih SINGARANU dan dia menyarankan agar sultan mengganti saja tugas pendadaran ketigannya dengan tugas yang sangat berat agar bahu rekso terbunuh dengan sendirinya.
Maka sultan agung menugaskan bahu rekso tugas yang sangat berat yaitu menyerang belanda di JAYA KARTA "sekarang jakarta" maka singkat cerita berangkatlah bahu rekso menyiapkan armada perang menuju jayakarta. Dia memilih melewati jalur laut, atas saran ki cempaluk sebap jalan darat konon senjata pusaka apapun akan hilang tuah atau kesaktiannya jika melintasi kali ci-pamali brebes. Bahu rekso mempersiapkan tentaranya di sebuah desa yang bernama KETANDAN namun nama desa itu sekarang lebih di kenal WIRADESA "wira" artinya prajurit , "desa" itu kampung jadi wira-desa adalah perkampungan prajurit dari situlah bahu rekso bertolak ke jayakarta.
Di jayakarta konon pasukannya dikumpulkan di sebuah daerah yang sekarang bernama MATRAMAN yang artinya mataram-man dan membendung sungai ciliwung hingga jendral RAVELES meninggal terserang malaria. Akan tetapi belanda tak kehabisan akal mereka membakar lumbung-lumbung makanan tentara mataram sehingga mereka kehabisan perbekalan dan bahu rekso menderita kekalahan.
dan Kekalahan itu membuat bahu rekso tak berani pulang ke kadipaten kendal dia memilih mendirikan kraton kekadipatenan yang letaknya di sebelah selatan wiradesa tepatnya yang sekarang bernama desa kadipaten (yang artinya di situ pernah akan di jadikan kadipaten) namun kabar tersebut terendus oleh raja mataram dan akhirnya mataram mengutus seorang pendekar dari CHINA yang bernama TAN JIN KWEN yang kemudian diangkat dan di tetapkan sebagai adipati pekalongan yang pertama setelah berhasil menyingkirkan bahu rekso.
Hari Jadi Kabupaten Pekalongan
Keberadaan Kabupaten Pekalongan secara administratif sudah berdiri cukup lama yaitu 3.813 tahun yang lalu. Berdasarkan kajian ilmiah oleh Team Peneliti Sejarah Kabupaten Pekalongan yang terdiri dari jajaran eksekutif, tokoh masyarakat dan dari kalangan akademisi serta dengan adanya barang - barang bukti peninggalan sejarah muncul lima prakiraan tentang kapan Kabupaten Pekalongan itu lahir, lima prakiraan yang menjadi kajian adalah masa Prasejarah, masa Kerajaan Demak, masa Kerajaan Islam Mataram, masa Penjajahan Hindia Belanda dan masa Pemerintahan Republik Indonesia.
Hari Jadi Kabupaten Pekalongan telah ditetapkan pada Hari Kamis Legi Tanggal 25 Agustus 1622 atau pada 12 Robiu’l Awal 1042 H pada masa pemerintahan Pangeran Manduroredjo, beliau merupakan Bupati / Adipati yang ditunjuk dan diangkat oleh Sultan Agung / Raja Mataram Islam dan sekaligus sebagai Bupati Pekalongan I, sedangkan penentuan hari dan tanggalnya diambil dari sebagaimana biasa tradisi pengangkatan Bupati dan para pejabat baru dilingkungan Kerajaan Mataram.
Pembangunan Kabupaten Pekalongan sudah dilakukan sejak zaman Pemerintahan Adipati Notodirdjo ( 1879 -1920 M ) di komplek Jl. Nusantara Alun - alun Kota Pekalongan, bangunan tersebut merupakan pendopo dan rumah bagi para Bupati Pekalongan sekaligus sebagai tempat “Paseban” dan aktivitas perangkat pemerintahan kabupaten dengan berbagai elemen masyarakat untuk bersilaturakhmi, bermusyawarah dan mencurahkan pemikiran, saran atau unek - unek berbagai kehendak punggawa pemerintahan dan rakyat dihadapan bupati.
Sejarah berdirinya Kabupaten Pekalongan
Berdasarkan dari hasil penelusuran dan pengidentifikasian data - data historis / sejarah Kabupaten Pekalongan yang dilakukan melalui kajian ilmiah oleh Tim Peneliti Sejarah Kabupaten Pekalongan yang terdiri dari jajaran eksekutif, tokoh mayarakat, dan kalangan akademisi terhadap bukti - bukti peninggalan sejarah yang diketemukan di berbagai wilayah Kabupaten Pekalongan, muncul lima prakiraan tentang kapan Kabupaten Pekalongan itu lahir, lima prakiraan tersebut adalah masa Prasejarah, masa Kerajaan Demak, masa Kerajaan Mataram Islam, masa Penjajahan Belanda dan masa Pemerintahan Republik sebagaimana tertuang dalam Buku Hari Jadi Kabupaten Pekalongan, sejarah berdirinya Kabupaten Pekalongan dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Masa Prasejarah
Data permukiman awal dari masa prasejarah dan awal masa sejarah kuno sebagaimana ditunjukkan oleh adanya peninggalan megalitik dan Lingga Yoni yang berada pada beberapa tempat di daerah Kabupaten Pekalongan bagian selatan menunjukan bahwa ternyata pemukiman penduduk telah berlangsung lama dan telah mengenal sistem kemasyarakatan dan keagamaan. Sistem kemasyarakatan yang bagaimana tidak dapat diketahui pasti karena terbatasnya sumber informasi.
Beberapa benda peninggalan sejarah yang berada di daerah Kabupaten Pekalongan diantanya berupa Yoni dan Lingga serta dengan adanya bukti - bukti peninggalan yang lain seperti:
1. Lingga / Yoni yang berada di Desa Telagapakis Kecamatan Petungkriyono.
2. Yoni yang berada di Dukuh Gondang Desa Tlogohendro wilayah Kecamatan Petungkriyono.
3. Lingga yang berada di Dukuh Mudal Desa Yosorejo Kecamatan Petungkriyono
4. Lingga / Yoni yang berada di Dukuh Parakandawa Desa Sidomulyo Kecamatan Lebakbarang.
5. Yoni yang berada di Dukuh Pajomblangan Kecamatan Kedungwuni
6. Yoni yang berada di Dukuh Kaum Desa Rogoselo Kecamatan Doro.
7. Yoni yang berada di Desa Batursari Kecamatan Talun.
8. Archa Ghanesha yang berada di Desa Kepatihan Kecamatan Wiradesa.
9. Archa Ganesha yang berada di Desa Telogopakis Kecamatan Petungkriyono
10. Batu lumpang yang berada di Desa Depok Kecamatan Lebakbarang.
11. Batu Lumpang yang berada di Dukuh Kambangan di Desa Telogopakis Kecamatan Petungkriyono dan sebagainya
Data pemukiman pada periode awal Abad Masehi sampai Abad XIV dan XV sangat langka dan terbatas, sehingga sulit dipastikan pertumbuhan dan perkembangan komunitas di wilayah Pekalongan pada masa pengaruh kebudayaan Jawa Hindu berkembang di Pulau Jawa. Hal ini terjadi karena sampai masa kini belum ditemukan prasasti peninggalan tertulis yang mampu mengungkapkan kehidupan pada masa itu. Banyak ditemukan toponim, beserta tradisi lisan, berupa legenda mitos, atau cerita rakyat yang berkaitan dengan toponim, akan tetapi sulit untuk memastikan kebenaran data legenda atau cerita rakyat tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh SCHRIEKE, Negara Kertagama, karya tulis penting pada masa Majapahit, sama sekali tidak menyebut nama - nama daerah di Pantai Utara Jawa sebelah barat Lasem yang mencakup daerah Tegal, Pekalongan dan Semarang, yang pada masa itu diduga masih jarang dihuni penduduk. Sementara daerah lain seperti Demak, Jepara , Kudus dan Pati telah berkembang menjadi daerah penting.
b. Masa Kerajaan Demak
Data sejarah pada periode abad ke 15 dan abad ke 16, diperoleh melalui sumber-sumber tertulis disamping sumber-sumber peninggalan bangunan makam kuno, kuburan dan bangunan lain dari masa perkembangan Islam di Jawa. Pada masa abad ke 16 diduga wilayah Pekalongan telah menjadi daerah yang dilewati oleh hubungan komunikasi dari dua kerajaan Islam Demak dan Cirebon, dan pada masa kemudian menjadi wilayah pengaruh kerajaan Mataram Islam pada abad ke 17. Selanjutnya pada abad ke 18 wilayah Pekalongan menjadi pengaruh VOC ( Verenigde Oost Indische Compagnie ), Persekutuan dagang di India Timur – Belanda, terutama sejak tahun 1743, yaitu setelah VOC menerima imbalan jasa bantuan yang diberikan VOC kepada Mataram. Sejak 1800 - an sampai 1942 Wilayah Pekalongan secara langsung menjadi wilayah administratif wilayah Pemerintahan Hindia Belanda, atau disebut wilayah Gubernemen. Sementara itu setelah lahirnya wilayah Republik Indonesia pada 1945 Wilayah Pekalongan tidak beda dengan wilayah lainnya menjadi Wilayah Administrasi Pemerintahan Republik Indonesia.
c. Masa Kerajaan Mataram Islam
Pada masa Pemerintahan Mataram Islam dibawah kekuasaan Sultan Agung abad ke - 17, keberadaan Kabupaten Pekalongan secara administratif merupakan Bagian dari wilayah kesatuan kerajaan Mataram Islam. Kerajaan Mataram dibawah tampuk pemerintahan Sultan Agung mencapai kejayaannya. Wilayah kekuasaannya meliputi wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat. Adapun Jakarta belum berhasil ditaklukkan karena dikuasai oleh Belanda dibawah Gubernur Jenderal Jan Pieter Zoon Coen mulai tahun 1619. Keberhasilan tersebut ditunjang Doktrin Keagung binataraan, yaitu kekuasaan Raja Mataram harus merupakan ketunggalan, utuh dan bulat. Artinya kekuasaan tersebut tidak tersaingi, tidak terkotak - kotak atau terbagi bagi dan merupakan keseluruhan ( tidak hanya bidang - bidang tertentu ). Pada bulan Maulud selalu diadakan Gerebeg Maulud, yaitu peringatan kelahiran Nabi Muhammad Saw. yang biasa jatuh pada tanggal 12 Rabiul Awal, sekaligus diadakan acara " Paseban " ( berkumpulnya para Bupati dan Tumenggung serta para pejabat lainnya untuk melaporkan situasi / keadaan di daerah masing - masing dan penyerahan upeti ).
Acara tersebut juga dimanfaatkan oleh Sultan Agung untuk pengangkatan bupati-bupati baru dan pejabat baru lainnya. Menurut pandangan tim, keberadaan Sultan Agung dalam memimpin kerajaan Mataram terlebih pada saat perlawanan terhadap penjajah Belanda sudah tidak diragukan lagi keberadaannya sebagai Raja yang Gung - Binatoro. Perlawanan Mataram terhadap penjajahan Belanda mencapai puncaknya disaat penyerangan ke Batavia pada tahun 1628, dimana Pangeran Manduroredjo dan Bahureksa ditunjuk sebagai Panglima perangnya.
Secara geografis Kabupaten Pekalongan terletak pada jalur Pantura bagian barat sepanjang pantai utara Laut Jawa memanjang ke selatan dengan kota Kajen sebagai Ibu kota pusat pemerintahan dan perdagangan laut yang cukup strategis, sehingga pada saat penyerangan ke Batavia Kabupaten Pekalongan sebagai kantong / lumbung perbekalan. Strategi ini juga digunakan oleh Sultan Agung untuk mengumpulkan kekuatan - kekuatan dan strategi yang diperlukan di daerah.
Dari bukti - bukti inilah menunjukan bahwa Kabupaten Pekalongan termasuk daerah yang dipersiapkan dalam rangka penyerangan ke Batavia. Sehingga menurut pandangan tim, dijadikan alternatif dan bukti bahwa secara administratif Kabupaten Pekalongan merupakan bagian dari kesatuan Kerajaan Mataram.
Terlebih lagi dengan diangkatnya Pangeran Manduroredjo sebagai Bupati Pekalongan pertama yang mempunyai kekuasaan tertinggi di Kabupaten Pekalongan dan bertanggung jawab sebagai penyelenggara pemerintahan, serta secara hirarki wajib melaporkan segala sesuatunya kepada raja termasuk penyerahan upetinya.
Pekalongan Mulai Dikenal
Banyak sumber mengatakan bahwa Pekalongan mulai dikenal setelah Bahurekso bersama anak buahnya berhasil membuka Hutan Gambiran / Gambaran, atau dikenal pula Muara Gambaran.
Hal ini terjadi setelah Bahurekso gagal dalam penyerangan ke Batavia, bersama anak buahnya kembali ke Pantai Utara Jawa Tengah, namun secara sembunyi - sembunyi, sebab kalau diketahui oleh Pemerintah Sultan Agung pasti ditangkap dan dihukum mati. Sehingga terus melakukan siasat yang disebut TAPA-NGALONG. Dari sinilah muncul prediksi-prediksi berkaitan dengan istilah PEKALONGAN.
Menurut penuturan R. Basuki (Putra Almarhum R. Soenarjo keturunan Bupati Pangeran Manduroredjo): nama Pekalongan berasal dari istilah setempat HALONG - ALONG yang artinya hasil. Jadi Pekalongan disebut juga dengan nama PENGANGSALAN yang artinya pembawa keberuntungan.
Sehingga prediksi Topo Ngalong itu hanya gambaran/ sanepo yang mempunyai maksud siang hari sembunyi, malam hari keluar untuk mencari nafkah.
Didalam babad Sultan Agung yang merupakan sumber yang dapat dipercaya istilah pengangsalan nampaknya juga muncul : ”Gegaman wus kumpul dadi siji, samya dandan samya numpak palwa, gya ancal mring samudrane ; lampahe lumintu, ing Tirboyo lawan semawis ; ing Lepentangi, Kendal, Batang, Tegal, Sampun, Barebes lan Pengangsalan. Wong pesisir sadoyo tan ono kari, ing Carbon nggertata” ( senjata - senjata telah berkumpul jadi satu ). Setelah semuanya siap, para prajurit diberangkatkan berlayar. Pelayarannya tiada henti -hentinya melewati Tirbaya, Semarang, Kaliwungu, Kendal, Batang, Tegal, Brebes dan Pengangsalan. Semua orang pesisir tidak ada yang ketinggalan ( mereka berangkat menyiapkan diri di Cirebon ). Sehingga dari beberapa uraian tersebut, prediksi Topo Ngalong hanya gambaran atau sanepo yang mempunyai maksud, pada siang hari sembunyi, dan hanya keluar pada malam hari untuk mencari makan / nafkah.
d. Masa Penjajahan Belanda
Masa-masa awal perkembangan Pekalongan tidak banyak disebut dan sumber - sumber asing baik Portugis maupun Belanda , seperti dalam Reis Journalen, Suma Oriental (Tome Pires, 1994), Scheep togt van Tristanto d'acunha ( Pieter Van Der Aa, 1706 ) The Voyager of Jonh Huygen van Linschouten to the east Indies ( A.C Burnell dan P.A Tiele, 1884 ), dan catatan perjalanan lainnya.
Sumber - sumber tersebut menyebutkan nama kota - kota di pantai Utara Jawa pada Abad XVI seperti Cirebon, Tegal, Kendal, Demak, Jepara, Tuban, Sedayu, Gresik dan Surabaya, akan tetapi tidak menyebutkan Pekalongan. Sementara itu nama Pekalongan dan data historisnya dapat ditelusuri dalam Babad Tanah Jawa, Babad Mataram, Serat Khandaning Ringgit Purwo, Serat Pustaka Raja Purwo, Babad Sultan Agung , Dagh Register (1623 – 1799) , Opkomst Van Het Nederlandsch gezag in Oost Indie ( J.K.J de Jonge & M.L Van Deventer , eds; 1862 – 1909, 13 jilid ), laporan VOC lainnya, laporan Pemerintah Hindia Belanda, Buku - buku dan Publikasi lainnya seperti regering Almanak van Nederlandsch Indie ( 1820 -1850 ) dan Oud end Nieuw Oost Indie ( F. Valentijn ) dan Sumber lainnya. Pada masa - masa itu administrasi pemerintahan secara keseluruhan berdasarkan keputusan dari pemerintah Hindia Belanda, misalnya bentuk pemerintahan Kabupaten yang disebut Regent, adalah bentuk pemerintahan yang dipimpin oleh seorang Bupati.
Tersebut nama - nama Regent / Bupati Hindia Belanda yang pernah memimpin Kabupaten Pekalongan sbb:
- Tan Kwee Djan ( Th 1741 )
Raden Toemenggoeng Wirio Adi Negoro Th. ( 1823 )
Raden Adipati Wirijo Adi Negoro Th. ( 1825 ) Membangun Masjid Jami’ ( besar ) Pekalongan yang dimulai pada Hari Selasa Kliwon tanggal 20 Desember 1825. Pada tahun 1933 dilakukan pemugaran dengan mendirikan menara.
Raden Toemenggoeng Arjo Wirjo Di Negoro (16 Oktober 1848)
Raden Toemenggoeng Ario Werio Dhi Di Negoro (Th 1856)
Raden Toemenggoeng Ario Atmodjo Negoro (20 Januari 1872)
Raden Toemenggoeng Ario Koesoemo Di Negoro (25 Juni 1878)
Raden Adipati Noto Dirdjo ( 1879 – 1920 ). Pada tanggal 31 Maret 1879 sampai 1 Maret 1880 membangun Gedung Kabupaten Pekalongan, yang ditandai pada lempengan batu marmer putih yang dipasang di tembok gedung. Menurut sumber lisan juga disebutkan bahwa pohon - pohon beringin di Alun-alun Pekalongan tiap - tiap pohonnya diberi nama masing – masing Kawedanan yang mengirim bibitnya.
Raden Toemenggoeng Ario Soerjo ( 10 Maret 1924 ) Adapun wilayahnya disebut Regentschap, sedangkan untuk wilayah Kawedanan disebut Gewest.
Gewest di Jawa Tengah waktu itu meliputi :
1) Semarang Gewest, yang meliputi Regentschap (Kabupaten) Kendal, Semarang, Demak, Kudus, Pati, Djepara dan Grobogan.
2) Rembang Gewest, yang meliputi Regentschap Rembang, Blora, Tuban dan Bodjonegoro.
3) Banyumas Gewest, yang meliputi Regentschap Banyumas, Purwokerto, Cilacap, Bandjarnegara dan Purbolinggo.
4) Kedu Gewest, yang meliputi Regentschap Magelang, Temanggung, Wonosobo, Purworedjo, Kutoardjo, Kebumen dan Karanganjar.
5) Pekalongan Gewest, yang meliputi Regentschap Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan dan Batang.
Pada tahun 1934 di Jawa Tengah diadakan penggabungan beberapa Kabupaten, diantanya yaitu : Kabupaten Batang digabungkan dengan Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Banyumas digabungkan dengan Kabupaten Purwokerto, Kabupaten Kutoardjo digabungkan dengan Kabupaten Purworedjo dan Kabupaten Karanganyar digabungkan dengan Kabupaten Kebumen.
e. Masa Pemerintahan Republik.
Sebagai alternatif lain Hari jadi Kabupaten Pekalongan ialah pada masa Republik Indonesia / kemerdekaan berdasarkan Undang - undang Nomor 22 Tahun 1948. Kabupaten Pekalongan adalah merupakan Daerah Otonom atau dengan istilah Swatantra. Hal ini ditandai pula dengan diundangkannya Undang Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pemerintah Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa Tengah pada : Hari Selasa Pon tanggal : 8 Agustus 1950 yang ditetapkan di Yogyakarta, oleh Pemangku Jabatan Sementara Presiden Republik Indonesia yaitu Menteri Dalam Negeri SoesantoTirtoprodjo dan Menteri Kehakiman A.G. Pringgodigdo.
Berdasarkan Undang - Undang tersebut Pemerintah Daerah Kabupaten Pekalongan dibentuk bersama 28 daerah lain antara lain : Semarang, Kendal, Demak, Grobogan, Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes, Pati, Kudus, Djepara, Rembang, Blora, Banjumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Magelang, Temanggung, Wonosobo, Purworejo, Kebumen, Boyolali, Sragen, Sukoharjo, Karanganyar dan Wonogiri.
Nama - Nama Bupati Pekalongan Sejak Jaman Hindia Belanda Sampai Dengan Sekarang :
R. Ario Notodirjo (1879 – 1920) Jaman Hindia Belanda
S o e m a d i (1920 – 1925) Pejabat Regent ( Bupati )
R. Ario Soerjo (1925 – 1944) Regent s/d Penjajahan Jepang.
M. Rawoeh (1944 – 1946) Pekalongan Ken – Co ( Bupati )
M. Soerodjo ( 1946 – 1957) Bupati Recomba ( Rica )
M. Kisworo (1958 – 1962) Bupati Kepala Daerah
R. Moch. Oesman (1962 – 1967) Bupati Kepala Daerah
R. Soetedjo Mangoenhardjo (1967 – 1972) Bupati Kepala Daerah
R.M. Harjono Probo Dirdjo (1972 – 1975) Bupati Kepala Daerah (meninggal)
K a r s o n o (1975 – 1981) Bupati Kepala Daerah
Letkol. Soepardi (1981 – 1986) Bupati Kepala Daerah
Kol. Soepardi (1986 – 1991) Bupati Kepala Daerah
Kol. H. Kairul Aini. HS (1991 – 1996) Bupati Kepala Daerah
Kol. Harsono (1996 – 2001) Bupati Pekalongan
Drs. H. Amat Antono (2001 – 2006) Bupati Pekalongan
Dra. Hj. Siti Qomariyah, MA (2006 – 2011) Bupati Pekalongan
Drs. H. Amat Antono, M.Si (2011-2016) Bupati Pekalongan
Kepindahan Ibukota Kabupaten Pekalongan ke Kajen
Kepindahan Ibukota Kabupaten Pekalongan dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 48 tahun 1986 tentang Pemindahan Ibu Kota Kabupaten Pekalongan Daerah Tingkat II Pekalongan dari wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Pekalongan ke Kota Kajen di wilayah Kabupaten Pekalongan.
Berbagai persiapan untuk menindak lanjuti terbitnya Peraturan Pemerintah tersebut, dilakukan penataan, pembenahan dan proses pembangunan sarana dan prasarana gedung - gedung perkantoran di Kota Kajen yang selanjutnya diawali dengan peresmian sekaligus penggunaan Gedung Sekretariat Daerah Kabupaten Pekalongan di Kajen oleh Wagub I Bidang Pemerintahan Bapak Drs. H. Ahmad atas nama Gubernur Jawa Tengah pada tanggal 25 Agustus 2001, kepindahan itu merupakan salah satu tonggak sejarah sebagai momen diawalinya Kota Kajen sebagai Ibukota Kabupaten Pekalongan. Proses kepindahan ini terjadi di awal jabatan Drs. H.Amat Antono sebagai Bupati Pekalongan.
Secara bertahap pembangunan untuk melengkapi prasarana menjadi simpul - simpul penggerakan dan pengembangan sebagai sebuah Ibukota Kabupaten juga telah dibangun rumah dinas Bupati dan Pendopo yang selesai bertepatan dengan hari Jum’at Pon tanggal 19 Dzulhijjah 1423 H atau tanggal 21 Pebruari 2003 dan diresmikan secara langsung oleh Menteri Dalam Negeri Bapak Hari Sabarno atas nama Presiden Republik Indonesia Ibu Hj. Megawati Soekarnoputri pada tanggal 5 April 2003 yang pada saat tersebut beliau berhalangan hadlir.

2 komentar:

  1. Raden Toemenggoeng Wirio Adi Negoro Th. ( 1823 ), kalau menurut Regeringsalmanak, mulai tahun 1820, atau sebelumnya sudah menjadi Regent Pekalongan

    BalasHapus
  2. Terlalu panjang ceritanya. Tolong dipersingkat dan diringkas kembali ya ceritanya 😇

    BalasHapus

SEJARAH CANDI BOROBUDUR

sesuai kajian Islam VERSI KH FAHMI BASYA. Menurut sebuah penelitian oleh Pak KH Fahmi Basya memperoleh kesimpulan bahwa kisah nabi...