SUKU OSING
Wong Osing
Suku osing merupakan penduduk asli banyuwangi karena suku osing adalah masyarakat yang hidup pada pemerintahan kerajaan blambangan. Suku osing juga memiliki adat istiadaat budaya, bahasa yang berbeda dari masyarakat jawa dan Madura. seperti apa keunikan asli banyuwangi? Berikut informasinya
Suku osing menempati beberapa kecamatan di kabupaten banyuwangi bagian tengah dan utara. Terutama di kecamatan banyuwangi, kecamatan rogojampi , sempu, gelagah singojuruh, giri, kalipuro dan songgon. Suku osing atau lebih dikenal dengan wong osing memiliki bahasa sendiri yakni bahasa osing yang merupakan turunan langsung dari bahasa jawa kuno tapi bukan merupakan bahasa jawa karena dialegnya yang berbeda.
Dari system kepercayaan wong osing dahulu adalah pemeluk agama hindu seperti majapahit. Namun seiring berkembangnya kerajaan islam di pantura atau pantai utara jawa menyebabkan agama islam cepat menyebar di kalangan suku osing. Dikeseharian, mata pencaharian suku osing adalah bertani, berkebun dan sebagian kecil lainnya adalah pedagang dan pegawai di bidang formal seperti karyawan, guru dan pegawai pemda.
Ritual Pecel Pitik
Kemiren adalah nama desa di wilayah gelagah kabupaten banyuwangi yang merupakan desa wisata. Di desa ini terdapat perkampungan asli warga suku osing. Di desa ini suku osing masih mempertahankan tradisi dan nilai nilai leluhurnya. Hal ini terlihat jelas dengan rutinitas wajib yang dilakukan penduduk sekitar bila tengah menggelar sebuah pesta ucapan syukur. Mulai dari pernikahan sampai sunatan anak lelakinya.
Salah satu ritual yang dilakukan penduduk desa kemiren pada hari kamis dan minggu adalah ritual pembersihan dari hal hal yang buruk atau biasa yang dikenal dengan pecel pitik. Ritual ini adalah ritual makan bersama di salah satu makam leluhur yang paling dihormati. Sebelum memulai ritual, pertama tama yang harus dilakukan adalah menyiapkan bahan bahan pembuatan pecel pitik terlebih dahulu. Seperti parutan kelapa yang tidak terlalu tua, ayam kampung dan bumbu bumbu seperti cabe, terasi, kemiri, bawang putih, kencur dan kacang.
Cara pembuatannya pun relatif mudah, ayam kampung dibakar hingga matang diatas tumpuk kayu tradisional. Dan ada satu syarat yang tidak boleh dilanggar adalah masakan sama sekali tidak boleh dicicipi sampai ritual selesai. Setelah semuanya siap disajikan makanan disusun dalam pikulan khusus.
Sebelum mengantar ke makam buyut cilik ada salah satu syarat yang harus dipenuhi yaitu bila kita laki laki kita harus menggunakan ikat kepala atau udeng khas suku osing. Ini merupakan symbol warga osing menerima kita sebagai bagian dari mereka. Setelah siap semua, perjalanan pun dimulai ke makam buyut cilik.
Sesampainya dimakam ritual dimulaai dengan menyisihkan sebagian makanan untuk diletakkan didalam makam. Kemudian setelah ayam dijadikan bagian bagian lebih kecil mereka mengistilahkannya di ucel ucel kemudian diaduk dengan kelapa dan bahan lainnya. Ritual pun dilanjutkan berdoa dengan memohon hajat dilancarkan.
Lalu tibalah saat menyantap makanan bersama sama. Ada kepercayaan jika semakin banyak porsi yang kita makan dan habiskan maka semakin besar pula rejeki yang akan didapatkan. Selesai bersantap ritual pun selesai. Uniknya lagi tradisi pecel pitik ini tidak setiap hari kita lakukan atau temukan. Ritual ini biasanya dilakukan suku osing di desa kemiren pada hari kamis dan minggu pada pukul dua siang sampai 7 malam.
Sanggar ganjah Arum
Bagi anda yang tidak memiliki waktu banyak untuk menjelajahi desa kemiren, ada satu tempat yang dapat dikunjungi yang sangat mereprentasi atau gambaran desa adat suku osing. Baik rumah atau tempat tinggalnya ataupun seni dan budayanya. Adalah sebuah tempat bernama sanggar ganjah arum milik salah satu pelestari budaya osing bernama setiawan subekti. Sanggar yang dikemas apik dan desain tradisional ini oleh pengusaha perkebunan tersebut dijadikan bak museum suku osing, suku asli banyuwangi.
Masuk ketempat dengan luas sekitar 7000 meter persegi ini kita akan temui tatanan rumah dan benda benda kuno yang menceritakan dan menggambarkan desa kemiren pada masa 50 tahun lalu. 7 buah rumah tekel ditata tak beraturan bersama sejumlah ornament kuno seperti bebatuan fosil, mesin ketik dan telephone kuno serta berbagai macam benda benda tradisional lainnya seperti angklung paglak yakni sebuah tempat untuk memainkan alat music angklung khas banyuwangi dengan luas 2 X 3 meter.
Bila diperhatikan bentuk rumah osing hampir sama dengan rumah khas Madura. yang membedakan hanya bentuk kayu atap kuda kudanya saja. Rumah osing atap kuda kudanya ada dua dimana bagian atas yang biasa disebut lambing lebih panjang daripada yang dibawah atau biasa yang disebut jahit pendek.
Selain rumah dan ornament ornament nya yang dilestarikan oleh pak iwan adalah salah satu tanaman khas suku osing yakni biji kopi. Bahkan begitu cintanya dengan kopi suku osing, ditempat ini lah lahir semacam semboyan “Sekali seduh kita bersaudara”. Tak heran jika wisatawan wisatawan lokal dan mancanegara serta tokoh tokoh penting datang mengunjungi keindahan budaya osing atau sekedar menikmati kopi racikannya .
Indahnya Alunan Musik Othekan
Banyak kesenian asli banyuwangi yang lahir dari suku osing. Sebut saja salah satunya tari gandrung yang begitu mempesona. Dan seorang penari sesepuh mak temu adalah salah satu saksi hidup yang sangat dihormati penari penari gandrung di banyuwangi.
Tak sedikit yang belajar langsung atau sekedar meminta restunya tiap kali akan melakukan pertunjukan. Setelah sekilas melihat mak temu menari dan mendedangkan lagu gandrung, kita berkesempatan melihat kesenian lainnya yang tak kalah mempesonanya. Yakni music othekan, yang menjadikannya unik dan mengagumkan adalah selain alat music yang digunakan yakni lesung dan alung, alat penumbuk padi yang dipadu dengan angklung dan biola.
Para pemain musiknya adalah wanita dan pria yang usianya sudah sepuh. Sebelum mulai, para nenek yang menggunakan baju tradisional berwarna hitam ini terlihat menggenggam perlengkapan sirih. Ya tradisi menyirih sepertinya menjadi bagian yang tak terlupakan oleh masyarakat suku osing bila sudah memasuki usia senja.
Pada awalnya tradisi ini dimainkan oleh suku osing saat masa panen padi selesai, namun kini othekan bisa dimainkan pada saat hajatan atau syukuran.
Trus sekarang kamu masih hidup?
BalasHapus