JOKO SAMBANG
Joko Sambang sebagai tokoh sentral di cerita ini merupakan putra tunggal dari seorang Lurah (Kepala desa) yang bernama Bintoro dan seorang ibu yang bernama Sutina di desa Beji Gondanglegi – Pasuruan. Lurah ini berjuang melawan government bersama sorang Sekdes (bhs.jawa: Carik) yang bernama Wicaksono.
Mereka melawan government karena menolak perintah mengirimkan penduduknya untuk bekerja membuat kali dan jembatan Porong, dengan alasan desanya jauh dari areal kali Porong, dan untuk melindungi penduduknya mereka rela dihukum dan di jebloskan kepenjara, sementara itu istrinya Lurah Bintoro yang bernama Sutina yang kondang karena kecantikan parasnya memang amat sayang untuk ditinggal di rumah sendirian, hal ini diambil kesempatan oleh para Lurah desa-desa sekitarnya untuk mendekatinya, termasuk Lurah Panderejo yang bernama Bargowo dan cariknya yang bernama Abi Lowo, mereka ini melakukan keinginannya dengan segala cara, termasuk menghasut government untuk memaksa Lurah Bintoro memperkerjakan penduduknya ke Kali Porong padahal lokasi desanya jauh dari bantaran kali Porong.
Rupanya keinginan Lurah Bargowo yang terusa menggelora membuat mata hatinya buta, bahwa Sutina bersama Lurah Bintoro sudah dikaruniai anak yang mulai menginjak usia remaja yang sudah siap menghadapi musuh apapun termasuk gangguan Lurah Bargowo dan Carik Abi Lowo.
Yang terkenal sakti mandraguna.
Karena hasutan dan perasaan iri merekalah Lurah Bintoro di penjara dan dihukum tembak oleh government, tapi hukuman ini gagal karena Lurah Bintoro kebal (sakti) terhadap senjata maupun peluru senapan, maka government meminta Lurah Bargowo dan Carik Abi Lowo untuk memberi hukuman sendiri kepada Lurah Bintoro, berkat keroyokan dua lawan satu, Lurah Bintoro tewas. Kemudian Sutina dikejar-kejar oleh Lurah Bargowo dan Carik Abi Lowo, berusaha lari minta perlindungan kepada puteranya yang bernama Joko Sambang yang masih berstatus siswa sebuah perguruan silat di Gunung Penanggungan dan bersemedi (bertapa) di Jolotundo, sehingga untuk sementara nasib Sutina aman!
Peristiwa pengejaran Sutina ini dibantu oleh Joko Semprul, yang sehari-hari berprofesi sebagai kaki-tangan/centeng-nya government Belanda di Kali Porong. Joko Semprul bilang kepada Lurah Bargowo dan Carik Abi Lowo, “Kalian tidak akan bisa mendapatkan Sutina tanpa membunuh Joko Sambang lebih dahulu!”, “Lha terus caranya bagaimana? “, sela mereka.
“Itu soal gampang !” jawab Joko Semprul. Dengan arahan Joko Semprul, Lurah Bargowo dan Carik Abi Lowo mengadakan saimbara di jembatan kali Porong, barang siapa yang dapat menebang pohon kenari yang berada persis di tanggul selatan jembatan kali Porong akan mendapatkan hadiah 100 ribu Golden (Uang emas Belanda). Pohon ini adalah pohon tua yang terkenal angker, siapa saja yang mau menebang pohon tersebut biasanya akan kena kutukan, berupa sakit jiwa, atau bahkan meninggal dunia, sehingga hanya orang-orang yang sakti saja yang mau ikut sayembara tersebut, termasuk Joko Sambang.
Joko Sambang mau ikut sayembara bukan karena ingin mendapatkan uang hadiah, melainkan ingin menumpas kelicikan dan tipu muslihat Lurah Bargowo, Carik Abi Lowo dan Joko Semprul, karena ketiga-tiganya merupakan orang yang selalu mengganggu ketenangan ibunya, sekaligus sebagai orang kepercayaan government Belanda di Kali Porong.
Joko Sambang sadar bahwa ia tidak akan mampu menghadapi ketiganya bila cuma seorang diri, maka ia mengajak teman seperguruannya, yaitu Joko Buntek untuk membantu dirinya,
Dari ilmu dua orang inilah muncul kekuatan yang amat dahsyat, selain kekuatan ilmu yang berlipat ganda, juga keberanian menentang kedzaliman dari para tokoh antagonis yang selama ini meresahkan masyarakat, seperti yang dilakukan selama ini oleh tokoh Lurah Bargowo, Carik Abi Lowo, Joko Semprul dan tentu saja para pegawai government Belanda.
Ternyata pohon ini benar-benar sakti dan bertua, terbukti pada saat Joko Sambang mendekati pohon kenari tua itu tiba-tiba pohon tersebut dapat berbicara, tentu saja hanya Joko Sambang yang tahu isi bicaranya, “ Hei…Anak muda, jangan turuti sayembara Lurah Bargowo, karena orang ini sungguh licik dan ambisius, dibalik sayembara ini sebenarnya ia berharap engkau kalah dan mendapat hukuman darinya, sehingga dengan mudah ia dapat mempersunting ibumu, Haa…ha…ha….!”.
Suara itu terdengar jelas ditelinga Joko Sampang, apalagi sangat keras menggelegar, sampai-sampai Joko Sambang tidak kuat berdiri tegak lagi.
Karena lama Joko Sambang tidak bergerak, maka Joko Sambang dinyatakan kalah dan harus mendapatkan hukuman, Joko Sambang langsung di ikat di pohon kenari tua itu disaksikan para penonton dan para pekerja paksa yang memadati arena sayembara.
Untung Joko Buntek segera datang dan melepaskan ikatan tangan dan kaki Joko Sambang dan mereka berbalik mengejar Lurah Bargowo, Carik Abi Lowo, dan Joko Semprul.
Sebelum mengejar tiga tokoh antagonis diatas, Joko Buntek mengajukan syarat kepada Joko Sambang, yang isinya: Jangan pernah mengejar musuh sampai daerah Kepulungan, karena itu wilayah kekuasaan Joko Buntek! Dan syarat itupun disetujui Joko Sambang.
Maka tidak lama setelah itu dua orang jagoan muda ini segera mengejar Lurah Bargowo, Carik Abi Lowo, dan Joko Semprul. Al-hasil dari pengejaran tiga tokoh pengganggu masyarakat iniu dapat segera ditumpas. Setelah peristiwa itu para pegawai government-pun mulai berfikir realistis, yaitu mereka hanya memperkerjakan penduduk di sekitar kali Porong saja, dan tidak mau lagi melibatkan masyarakat di luar wilayah bantaran kali Porong.
Setelah kondisi sekitar kali Porong aman, Joko Sambang meninggal dunia di desanya Gununggangsir - Beji Pasuruan, dan dimakamkan bersebelahan dengan makam Ayah dan Ibundanya.
Makam Joko Sambang, Lurah Bintoro, dan Sutina sampai kini masih banyak di datangi oleh para peziarah dari berbagai daerah guna mendapatkan berkah.
Asal Mula Joko Sambang (versi Ludruk)
Joko sambang adalah merupakan Tokoh pemuda dan putra satu-satunya Lurah Gunung Gangsir. Dan Lurah Gunung Gangsir ( Bintoro )juga satu-satunya Lurah yang sangat menentang dengan semua bentuk,kekerasan,pemaksaan,apa lagi penjajahan.
Maka sewaktu kompeni Belanda membangun JEMBATAN di sungai PORONG,semua Lurah-lurah yang ada di wilayah Gempol,porong,harus setor penduduknya dengan paksa. Untuk di kerjakan di JEMBATAN PORONG. Di antaranya Lurah PANDEREJO ( Abilowo dan Carik BARGOWO ).
Tapi Lurah Gunung Gangsir Bintoro dan Carik Wicaksono tetap menolak tidak mau setor penduduknya untuk di kerjakan Paksa. Sehingga Lurah Abilowo dan Carik BARGOWO melaporkan Lurah Bintoro kepada kompeni Belanda.
Akhirnya Belanda Marah dan Menangkap Lurah BINTORO secara paksa. Setelah Lurah BINTORO di bawah Belanda, Datanglah Lurah ABILOWO dan CARIK BARGOWO ke rumah BINTORO berpura - pura mau menolong SUTINAH ( ISTRI BINTORO ) Tapi bermaksud lain, yaitu mau dijadikan Istrinya.
Jelas saja Sutinah menoak. lalu sutinah lari ke rumah orang tuanya yaitu di Wonokoyo. Sutinah menceritakan semua kejadian ini kepada orang tuanya. Sekaligus minta tolong agar Keris Pusaka yang dibawanya di sampaikan pada anaknya yaitu Joko Sambang yang masih berada di Lereng Gunung Penanggungan tepatnya Gunung Gajah Mungkur.
Pakde martoyo berangkat ke Penanggungan dan bertemu dengan Joko Sambang untuk menyampaikan semua yang terjadi di Rumahnya. Mendengar hal tersebut Joko Sambang tidak sabar lagi Langsung Lari untuk bertemu dan menolong Bapak dan Ibunya. Yaitu Lurah Bintoro dan Sutinah.
Namun di tengah jalan bertemu sama Bapaknya sudah dalam keadaan Hampir meningggal karena Sebilah Keris yang menancap di lambungnnya, Tapi masih bisa mengatakan bahwa yang mencelakakan dirinya adalah Lurah ABILOWO dan Carik BARGOWO.
Dengan hati yang tidak sabar dan sangat marah Joko Sambang Lari mencari ABILOWO dan BARGOWO ternyata ditengah jalan berpapasan dengan Abilowo sehingga perang mulut dan terjadi Duel Abilowopun terbunuh oleh Joko Sambang.
Joko Sambangpun masih mengejar pelaku yang lain.
Joyo Semprul ( Mandor Kerjapaksa ) melapor kepada Belanda, kalau Lurah ABILOWO telah mati terbunuh oleh Joko Sambang: Akhirnya Belanda minta Tolong kepada Joko Buntek karena Joko Buntek adalah Saudara seperguruan dengan Joko Sambang. Selain itu adalah Joko Buntek juga sebagai Asisten Residen di PANDAAN.
Joko Buntek sanggup, menangkap dan menyerahkan Joko Sambang ke Tangsi Belanda, tapi dengan catatan Belanda Harus janji tidak akan menyakiti apa lagi membunuhnya.
Tapi ternyata setelah Joko Sambang di serahkan, justru malah di siksa dan mau di Gantung.Maka datanglah Joko Buntek untuk menolong Joko Sambang dan keduannya mengamuk sampai semua Belanda yang Berada di Tangsi Habis terbunuh semua.
Di saat itulah Joko Sambang dan Joko Buntek saling berpelukan dan Joko Sambang mengatakan kepada Joko Buntek juga kepada semua Penduduk Gunung Gangsir dan Sekitarnya: Rasanya Joko Sambang tidak mungkin bisa mengusir Belanda dengan keseluruhan dari Bumi Nusantara ini. Namun Besok kalau ada Tahun 1942 Ada orang yang CEBOL Kepalang dari Utara Timur Asalnya. Itulah yang akan meneruskan Perjuangan Joko Sambangnya PENDEKAR GUNUNG GANGSIR.
dinukil dari berbagai sumber....
Lain Kisah perihal Joko Sambang Mojokerto
Riwayat Joko Sambang Mojokerto
Dahulu kala daerah Mojokerto bernama Japan, terdiri dari Japan Kulon yang berpusat di Penarip dan Japan Wetan yang berpusat di Damarsi, Bangsal.
Yang menjadi Bupati Japan Kulon adalah Tumenggung Alap-Alap Ronggopramiyo keturunan dari Cinde Amoh dari Banger, Probolinggo. Cinde Amoh adalah putra Kyai Gede Pengging.
Tumenggung Alap-Alap Ronggopramiyo kemudian kawin dengan Nyai Wiyu putra Kyai Gede Sengguruh di Malang sedangkan Kyai Gede Sengguruh adalah putra Raden Kusen Pecat Tondoterung yang pada waktu itu menjadi adipati di Surabaya.
Sementara yang menjadi bupati Japan Wetan adalah Tumenggung Pawiroseno yang juga masih keturunan Cinde Amoh.
Daerah sebelah barat Japan Kulon berdiri sendiri sebagai Kabupaten yang bernama Wirosobo dengan pusatnya di daerah Betek, Mojoagung.
Yang menjadi bupati adalah Tumenggung Ronggopermono atau dikenal dengan nama Tumenggung Betek. Tumenggung Betek ini masih saudara ipar dengan bupati Japan Kulon karena ia mengawini saudara Nyai Wiyu
Tersebutlah dari perkawinan Tumenggung Alap- Alap Ronggopramiyo dengan Nyai Wiyu lahirlah seorang putra yang kemudian diberi nama Buang. Sejak kecil Buang dipersiapkan untuk pengganti ayahnya bupati Japan Kulon. Namun kemudian terjadi peristiwa yang tidak disangka-sangka. Bupati Japan Kulon mendadak menerima garwa paringan (kiriman calon istri) dari Jaka Tingkir yang menjadi Sultan Pajang. Garwa paringan yang bernama Raden Ayu Telasih ini sewaktu dikirim sudah dalam keadaan hamil 3 bulan. Sultan berpesan agar kelak bila bayi lahir laki-laki supaya ditunjuk sebagai pengganti bupati Japan Kulon. Dan tentu saja keadaan ini menyebabkan Buang sakit hati sehingga timbulah niat jahatnya untuk membunuh Raden Ayu Telasih.
Bupati Japan Kulon melihat gelagat dan rencana jahat Buang terpaksa memindahkan istrinya yang semula dititipkan di daerah Pugeran ke tempat bupati Wirosobo di Mojoagung.
Dikemudian hari ternyata jabang bayi lahir laki- laki dan diberi nama Joko Sambang. Rencana Buang tetap dilanjutkan setelah mendengar bahwa yang lahir adalah bayi laki-laki. Dengan pertolongan brandal sakti dari daerah Trowulan yang bernama Cluring dan Clorong si bayi berhasil diculik. Sewaktu sampai di sebuah sungai yang bernama Kaligunting si brandal mendengar suara seseorang mengetrukkan bakul nasi. Dikiranya fajar telah tiba takut kesiangan maka bayi tersebut kemudian disembunyikan di situ.
Akhirnya ditemukan oleh seseorang yang dikenal dengan nama Rondo Kaligunting. Joko Sambang diasuhnya sampai dewasa. Diceritakan brandal-brandal tersebut pada malam berikutnya menengok tempat disembunyikannya si bayi, betapa terkejutnya karena bayinya telah lenyap. Segera brandal-brandal sakti itu lapor kepada Buang.
Akhirnya ditemukan oleh seseorang yang dikenal dengan nama Rondo Kaligunting. Joko Sambang diasuhnya sampai dewasa. Diceritakan brandal-brandal tersebut pada malam berikutnya menengok tempat disembunyikannya si bayi, betapa terkejutnya karena bayinya telah lenyap. Segera brandal-brandal sakti itu lapor kepada Buang.
Kemudian disusunnya rencana untuk menghadapi segala kemungkinan. Perihal Jokosambang yang sedang dalam keadaan bahaya diketahui oleh Bupati Wirosobo. Begitu pula Sultan Pajang juga mengetahui nasib putranya akan tetapi tidak dapat berbuat sesuatu karena adanya perubahan politik yang mengakibatkan berpindahnya pusat pemerintahan ke Mataram. Kelemahan Wirosobo yang tidak lagi mendapat dukungan dari Sultan Pajang kemudian dimanfaatkan oleh Buang untuk mengadakan penyerangan.
Penyerangan dilaksanakan ketika berlangsung persiapan penobatan Joko Sambang yang diarak dari Wirosobo ke Japan Kulon.
Japan Wetan berhasil ditaklukkan lebih dahulu. Kemudian berturut-turut Japan Kulon dan Wirosobo. Buang kemudian mengangkat dirinya dengan sebutan Adipati Mirunggo.
Nasib Joko Sambang memang tragis. Ia tertangkap disebuah rawa-rawa dekat sungai Brantas kemudian dibunuh. Mayat Joko Sambang dilemparkan ke dalam rawa-rawa, akhirnya ditemukan seorang nelayan pencari ikan yang kemudian menguburnya di suatu tempat yang dikenal dengan nama makam Joko Sambang.
Makam tersebut sudah cukup lama dibongkar bahkan nama Jalan Joko Sambang telah diganti menjadi Jalan Jakgung Suprapto.
Masyarakat sampai saat ini masih mengenal jalan tersebut sebagai Jalan Joko Sambang dimana dulunya dikenal sebagai kawasan pedagang pakaian kaki lima (sekarang direlokasi di kawasan Benteng Pancasila). Begitu juga makam Joko Sambang ikut dipindah ke tempat lain.....dan saya pun beruntung kemarin (30 Desember 2014) secara tidak sengaja menemukan makam Joko Sambang
Klau dialognya joko sambang ada t mas mbk yg pakek bahasa jawa
BalasHapusTolong jawab yh kak soalnya penting buat sekolah tolong kami🙏
Hapushttps://lontarnews.com/2023/05/13/lontarpedia-sejarah-cerita-rakyat-jawa-timur-joko-sambang-pendekar-gunung-gangsir-bagian-1-lontarnews/
Hapushttps://lontarnews.com/2023/05/14/lontarpedia-sejarah-cerita-rakyat-jawa-timur-joko-sambang-pendekar-gunung-gangsir-bagian-2-lontarnews/
HapusLetak makam joko sambang di mana
BalasHapus