SEJARAH CANDI BOROBUDUR

4 komentar


sesuai kajian Islam
VERSI KH FAHMI BASYA.
Menurut sebuah penelitian oleh Pak KH Fahmi Basya memperoleh kesimpulan bahwa kisah nabi Sulaiman itu tidak bisa dipisahkan dari tanah jawa (Negeri Saba’) dan juga nabi Sulaiman mempunyai peninggalan berupa sebuah candi Borobudur, jadi menurut peneliti tersebut candi Borobudur adalah peninggalan nabi Sulaiman.
Membaca hasil penelitian ini tentu anda akan mengernyitkan dahi, atau bahkan tidak percaya.
Menurut Sami bin Abdullah al-Maghluts, dalam bukunya Atlas Sejarah Nabi dan Rasul,
Nabi Sulaiman diperkirakan hidup pada abad ke-9 Sebelum Masehi (989-931 SM), atau sekitar 3.000 tahun yang lalu. Sedangkan candi Borobudur dibangun setelah masehi. Tapi tidak menurut Pak Fahmi Basya, Borobudur sudah ada sejak sebelum Masehi tuturnya.
Dalam bukunya, KH Fahmi Basya menuturkan beberapa ciri-ciri Candi Borobudur yang menjadi bukti sebagai peninggalan putra Nabi Daud tersebut. Di antaranya, hutan atau negeri Saba, makna Saba, nama Sulaiman, buah maja yang pahit, dipindahkannya istana Ratu Saba ke wilayah kekuasaan Nabi Sulaiman, bangunan yang tidak terselesaikan oleh para jin, tempat berkumpulnya Ratu Saba, Kisah nabi Yunus di relief candi dan lainnya. Dalam Alquran, kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Saba disebutkan beberapa kali dalam al quran surah An-Naml [27]: 15-44, Saba [34]: 12-16, al-Anbiya [21]: 78-81, dan lainnya.
Tentu saja, banyak orang yang tidak percaya bila Borobudur merupakan peninggalan Sulaiman. Banyak bukti yang dipaparkan oleh pak Fahmi Basya, salah satunya adalah banyak relief yang mengambarkan kisah-kisah yang ada didalam AlQuran
seperti kisah nabi Yunus yang dilempar dari kapal yang penuh dan dimakan oleh sebuah ikan seperti gambar di bawah ini. Melalui relief-relief yang ada lainnya, memang terdapat banyak simbol, yang mengesankan dan identik dengan kisah Sulaiman dan Ratu Saba, sebagaimana seperti keterangan Alquran.
Pertama adalah tentang tabut, yaitu sebuah kotak atau peti yang berisi warisan Nabi Daud AS kepada Sulaiman. Konon, di dalamnya terdapat kitab Zabur, Taurat, dan Tingkat Musa, serta memberikan ketenangan.
Pada relief lain yang terdapat di Borobudur, tampak peti atau tabut itu dijaga oleh seseorang. “Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: ‘Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman’.” (QS Al-Baqarah [2]: 248).
Negeri Saba ada di Indonesia, yaitu Wonosobo (Wana – Saba). menurut bahasa jawa, Wana artinya hutan dan Saba adalah negeri Saba/tempat berkumpul . Dalam Alquran, wilayah Saba ditumbuhi pohon yang sangat banyak. (QS Saba [34]: 15).
Jadi, menurut Fahmi, wana saba atau Wonosobo adalah hutan Saba. Masih banyak lagi bukti-bukti yang dipaparkan oleh sang peneliti KH Fahmi Basya didalam buku yang ia tulis.
Banyak dari sebagian masyarakat di Indonesia, bahkan di dunia bahwa candi borbudur adalah peninggalan dari kerajaan hindu pada zaman dahulu. Candi Borobudur di dalam cerita sejarah dibangun oleh kerabat wangsa syailendra kurang lebih pada masa Abad ke-8 Masehi.
Namun sebuah kelompok orang dari Lembaga Studi Islam dan Kepurbakalaan melakukan sebuah penelitian yang di pimpin oleh Pak Fahmi Basya dosen Matematika Islam UIN syarif Hidayatullah menyimpulkan bahwa kisah nabi Sulaiman itu tidak bisa dipisahkan dari tanah jawa (Negeri Saba’) dan juga nabi Sulaiman mempunyai peninggalan berupa sebuah candi Borobudur, jadi menurut peneliti tersebut candi Borobudur adalah peninggalan nabi Sulaiman.
Tidak main-main, pak Fahmi Basya melakukan penelitian selama 35 tahun dan bukti yang didapat sangat kuat dan juga hasil penelitian tersebut didukung dalil didalam ayat-ayat Al-Quran. Dalam membaca Sejarah Candi Borobudur Versi Islam, Ada baiknya anda juga membaca : Kisah Nabi Sulaiman di Tanah Jawa.
Menurut cerita yang dipaparkan, Candi Borobudur terletak di daerah kekuasaannya Nabi Sulaiman. Nabi Sulaiman adalah nabi yang diberi mukjizat bisa berbicara dengan hewan, juga dapat memerintah jin dengan ijin Allah. Ada seekor burung yang menghilang ketika dicari oleh Sulaiman, burung itu adalah burung Hud-Hud. Sewaktu Sulaiman bertemu dengan burung tersebut, maka burung Hud-Hud melaporkan sebuah alasan yang kuat kenapa ia menghilang dari Sulaiman. Alasan tersebut sekaligus meredam kemarahan Sulaiman atasnya. Sewaktu menghilang Burung Hud-Hud melintasi sebuah negeri, yaitu negeri Saba’ dan para penduduknya menyembah selain Allah, yaitu menyembah Matahari. Juga ada seorang ratu yang menjadi pemimpinnya.
Nabi Sulaiman pun memaklumi alasan tersebut kemudian menyuruh burung Hud-Hud untuk menyampaikan sebuah surat yang ditujukan kepada ratu Saba’, ratu yang menjadi pemimpin negeri Saba’. Surat itu tak lain adalah surat agar Ratu dan penduduk negeri Saba’ bertaubat dan berserah diri kepada Allah. Ratu Saba’ pun kemudian bertabat dan berserah diri. Nabi Sulaiman pun memerintahkan jin untuk memindahkan singgasana ratu Saba ke istananya Sulaiman dalam waktu sekejap sebelum ratu Saba’ datang ke Sulaiman. Singgasana ratu Saba’ adalah singgasana ratu Boko yang ada di Sleman, Yogyakarta, dan dipindahkan ke atas Borobudur di Magelang. terbukti di Istana Ratu Boko ada singgasana yang hilang serta sisa-sisa bangunan tempat berkumpul untuk menyembah matahari. jadi Borobudur itu adalah sebuah bangunan buatan jin atas perintah Nabi Sulaiman. Dari segi relief pun banyak yang menggambarkan cerita Nabi Sulaiman.
Ahli matematika Islam ini meyakini bahwa Borobudur sangat terkait erat dengan sejarah Nabi Sulaiman. Borobudur adalah peninggalan Ratu Saba’ seperti yang diceritakan dalam Al-Quran. Buku ini bukan karya sehari dua hari disusun. Tulisan ini sudah ditulis dengan sangat serius selama puluhan tahun; sejak tahun 1979 hingga 2012. Dalam buku ini penulis menjelaskan dengan sangat detail dan ilmiah bukti-bukti bahwa Borobudur adalah peninggalan Ratu Saba’. Ada 40 bukti eksak yang dijelaskan. Salah satu bukti paling kuat dan belum bisa dibantah adalah ditemukannya surat dari Nabi Sulaiman bertuliskan “Bismilllahirrahmanirrahim” di atas sebuah plat emas di dalam kolam pemandian Ratu Saba’ (Ratu Boko) di daerah Sleman, Jawa Tengah.
Sungguh tidak banyak yang mengetahui bahwa simbul-simbul Islam banyak ditemukan di Borobudur. Karena sudah sejak lama, borobudur menjadi klaim hindu/budha. Ekspedisi Melintas Dua Shubuh bersama KH Fahmi Basya sungguh menakjubkan. Hasil penelitian beliau telah menemukan adanya indikator-indikator bahwa kisah Nabi Sulaiman dan ratu Saba ada di Borobudur dan Ratu Boko. Sleman berasal dari Sulaiman. Wonosobo berasal dari Hutan (ratu) Shaba. Lihat pula relief-relief di sekitarBorobudur, disana sarat dengan cerita-cerita Nabi Sulaiman seperti burung Hud-hud, Tabut dan lain-lain.
Adanya phenomena angka 19 di Candi Borobudur.
Adapun mengenai phenomena angka 19 itu terdapat di dalam Alqur’an berasal dari kalimat Bismillaahirrahmaanirrahiim yang terdiri dari 19 huruf. Kalimat Bismillaahirrahmaanirrahiim ini yang memperkenalkannya kepada kita adalah nabi Sulaiman As. ketika beliau berkirim surat kepada Ratu Saba’
Kop Surat dari Surat nabi Sulaiman As itu adalah kalimat Bismillaahirrahmaanirrahiim .
Isi suratnya adalah: ” Alla ta’luu ‘alaiyya, wa’tuunni muslimiin ” ( Jangan menyombong kepadaku dan datanglah kepadaku dengan berserah diri ). Dan perlu diketahui surat itu sampai sekarang masih ada yaitu di Musium Nasional berupa lempengan emas bertuliskan Bismillah, surat itu awalnya ditemukan dikolam dekat Candi borobudur.
Lempengan emas bertuliskan kalimat ‘Bismillah”
Jadi, dapat dikatakan bahwa phenomena 19 itu sudah diketahui oleh Nabi Sulaiman As. Oleh sebab itu di Candi borobudur ada phenomena 19.
Tuntutlah Ilmu ke Negeri Cina atau Syain ?
Mari kita bangkit dari tidur panjang, kitalah pewaris negri hebat itu. Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negri Syain, adalah rekomendasi yang disampaikan Nabi Muhammad SAW untuk seluruh umatnya.
Negri hebat itu adalah negri kita, Indonesia.
Sayang …, hanya karena candi Borobudur adalah candi Budha, kita menjadi BUTA, bahwa candi Borobudur adalah hasil karya bangsa kita yang kebetulan beragama Budha (?) (masih perlu pembuktian lagi untuk menyebut para pembangun candi Borobudur beragama Budha).
Saat ini Negri Syain oleh kebanyakan orang termasuk Ulama diartikan sebagai Negri Cina. Benarkah demikian ?.
Berikut argumen yang membantah bahwa negri Syain adalah Negri Cina. Yang lebih tepat negri Syain adalah negri Syailendra di Pulau Jawa, INDONESIA .
1. Tinjauan menurut Waktu
Lahirnya Agama Islam semasa dengan berdirinya candi Borobudur, abad 6 akhir atau abad 7 awal. Ketika Nabi Muhammad merekomendasikan Negri Syain bagi umatnya untuk menuntut ilmu pasti didasari pengetahuan yang seumur dengan beliau. Suatu hal yang mustahil bila beliau menyarankan untuk belajar kepada seseorang yang lahir di negri Syain 1500 tahun lagi. Juga mustahil beliau menyarankan untuk belajar kepada seseorang yang lahir di negri Syain 1500 tahun yang lalu. Hal ini menguatkan dugaan bahwa Negri Syain yang dimaksud nabi Muhammad adalah Syailendra di Pulau Jawa, bukanya negri Cina.
2. Tinjauan menurut Hubungan Relegius
Borobudur merupakan miniatur Al-Quran, Borobudur berceritera tentang hal yang bersesuaian dengan Al-Quran dengan cara yang berbeda. Al-Quran berceritera tentang suatu hal dengan bahasa syair, sedang Borobudur bercerita tentang hal yang sama dengan bahasa teater dalam bentuk Relief.
· Puncak Borobudur dengan satu Stupa besar, disekelilingnya terdapat relief yang menggambarkan ceritera yang bersesuaian dengan Surat ke 1 (satu) di Al-quran.
· Lantai dua dari atas terdapat 8 (delapan) Stupa, disekelilingnya terdapat relief yang menceriterakan suatu hal yang bersesuaian dengan Surat ke 8 (delapan) di Al-Quran
· Lantai tiga dari atas terdapat 16 (enam belas) Stupa, disekelilingnya terdapat relief yang menceriterakan suatu hal yang bersesuaian dengan Surat ke 16 (enam belas) di Al-Quran
· Lantai empat dari atas terdapat 32 (tiga puluh dua) Stupa, disekelilingnya terdapat relief yang menceriterakan suatu hal yang bersesuaian dengan Surat ke 32 (tiga puluh dua) di Al-Quran
· Lantai lima dari atas terdapat 64 (enam puluh empat) Stupa, disekelilingnya terdapat relief yang menceriterakan suatu hal yang bersesuaian dengan Surat ke 64 (enam puh empat) di Al-Quran
· Lantai enam dari atas (lantai dasar) terdapat 72 (tujuh puluh dua) Stupa, disekelilingnya terdapat relief yang menceriterakan suatu hal yang bersesuaian dengan Surat ke 72 (tujuh puluh dua) di Al-Quran
Dari kesesuain relief Borobudur dengan Al-Quran diatas, rasanya lebih masuk akal bahwa negri Syain yang dimaksud nabi Muhammad SAW adalah negri Syailendra
3. Tinjauan menurut Kondisi Sosial
Kondisi Sosial Negeri Cina saat awal lahirnya Agama Islam sedang dalam keadaan kacau karena perang saudara. Mustahil Nabi Muhammad menyarankan untuk belajar ke negri yang sedang kacau balau oleh perang saudara. Kalau saat ini tahun 2007, ada orang yang menyarankan untuk belajar ke: Irak, Afganistan atau Lebanon, pasti orang itu akan ditertawakan orang sedunia. Pada saat itu Negri Syailendra berada dalam keadaan makmur sejahtera. Tidak salah kalau nabi Muhammad merekomendasikan sebagai negri rujukan menuntut ilmu.
4. Tinjauan menurut Kemajuan Budaya
Dari catatan sejarah negri Syailendra memiliki keunggulan budaya dibandingkan dengan negri Cina. Syailendra memiliki peninggalan yang menunjukkan seberapa tinggi “budaya” nya saat itu.
Pembangunan Borobudur memakan waktu lebih dari seratus tahun, diketahui dari umur batu di dasar candi berbeda 104 tahun lebih tua dari batu yang terdapat di puncak candi. Hal ini menunjukkan bahwa negri Syailendra punya tenaga-tenaga ahli yang mengorganisir proyek raksasa baik besarnya bangunan, banyaknya orang yang terlibat pembangunannya dan lama pengerjaannya. Tanpa perencanaan yang luar biasa rapinya, mustahil Borobudur berdiri. Struktur bangunan candi yang demikian besar membutuhkan pengetahuan teknik bangunan yang sangat rumit, bahkan ketelitian lingkaran yang ada di borobudur lebih kecil toleransi ukurnya dibandingkan dengan Theodolit modern.
Belum lagi pengetahuan metalurgi pembuatan keris, pada abad ke 7 negri Syailendra sudah menguasai teknik peleburan Titanium bahan pamor keris. Dan masih banyak bukti ketinggian budaya negri Syailendra yang lain
5. Tinjauan menurut Letak Geografis
Negeri Cina dan Jazirah Arab terhubung lewat darat, hanya dengan berkendaraan onta atau kuda saja sudah bisa sampai. Tidak meng- gambarkan kesulitan yang harus ditempuh untuk menuntut ilmu. Negri Syailendra terdapat di Pulau Jawa. Harus mengarung lautan yang luas dan ganas, tanpa kemauan dan perjuangan yang luar biasa berat tidak mungkin sampai. Wallah ‘Alam Bishawab
Metrotvnews.com, Bogor: Penulis buku Borobudur dan Peninggalan Nabi Sulaiman KH Fahmi Basya berkeyakinan terungkapnya misteri Candi Borobudur yang menggambarkan kisah nabi-nabi besar bisa berpotensi mengislamkan masyarakat dunia.
"Daya tarik Candi Borobudur akan mengalahkan lukisan Monalisa dan bangunan bersejarah lain yang ada di dunia. Orang-orang di seluruh dunia akan berdatangan untuk melihat fakta bahwa Borobudur menjelaskan kebenaran Alquran, jadi bukan peninggalan umat Budha," kata KH Fahmi dalam seminar bertema Titik balik Candi Borobudur di Kota Bogor, Jawa Barat, Sabtu (6/4).
Ia menyebutkan Candi Borobudur tersusun dari dua bangunan yaitu bagian bawah merupakan karya masa Nabi Sulaiman dengan bantuan para jin dan bagian puncak merupakan bangunan milik Ratu Saba yang dipindahkan dengan kecepatan cahaya ke bagian atas Candi Borobudur.
Dalam buku tersebut, ia menjelaskan dengan detail dan ilmiah bukti-bukti bahwa Borobudur merupakan peninggakan Nabi Sulaiman seperti adanya relief yang menggambarkan kisah Nabi Yunus yang terlempar dari kapal dan siap diterkam ikan besar.
Kemudian ada relief yang menggambarkan Nabi Sulaiman, Nabi Daud (ayah Sulaiman), kisah Ratu Saba yang mengangkat kain karena dikira lantai yang
diinjak adalah kolam.
Ada 40 bukti eksak yang dijelaskan dalam buku tersebut. Salah satu bukti paling kuat dan belum bisa dibantah ialah ditemukannya surat dari Nabi Sulaiman bertuliskan, 'Bismillahirrahmanirrohim' di atas plat emas di dalam kolam pemandian Ratu Saba atau Ratu Boko di daerah Sleman, Jawa Tengah. Bahkan, diduga Sleman berasal dari nama Nabi Sulaiman.
Fahmi mengharapkan pemerintah Indonesia dapat melakukan kajian atas temuan-temuan dan fakta yang diungkapkan olehnya, sehingga ada ekspedisi yang membuktikan Candi Borobudur bukanlah peninggalan agama Buddha.
"Saya bisa membuktikan Borobudur bukanlah peninggalan Buddha. Tidak ada bukti peninggalan Buddha di Borobudur. Tidak ada di relief candi ini
membuktikan Borobudur peninggalan Buddha," kata ahli matematika Islam ini.
Fahmi menyebutkan perlu perhatian pemerintah untuk melindungi Candi Borobudur. Dari temuan tersebut akan menarik minat masyarakat dunia untuk mendatangi Borobudur.
Mungkin selama ini masyarakat datang berkunjung hanya sekadar melihat dan mendokumentasikan diri. Namun, fakta yang ia ungkapkan bahwa Candi Borobudur menjadi bukti asal muasal bangsa Indonesia.
Pesan lain yang terkandung dalam penemuan itu ialah Nusantara merupakan negeri Saba yang merupakan duplikatnya surga. Menurutnya, jika pemahaman tersebut ditanamkan guru-guru kepada muridnya sejak kecil akan menumbuhkan rasa bangga dan jiwa nasionalisme terhadap bangsa Indonesia.
"Generasi muda kita akan menjadi percaya diri. Pemahaman ini perlu dimasukkan dalam kurikulum. Guru-guru sejarah harus dilatih agar menyebarluaskan pemahaman ini," katanya. (Ant)
Bani Israel itu masih keturunan Suku Jawa, buktinya ibukota Israel pake nama : Java Tel Aviv, Mahkota Rabbi Yahudi yang menjadi imam Sinagog pake gambar Rumah Joglo Jawa. Yang disebut Jawa adalah seluruh Etnik Nusantara yang dulunya penghuni Benua Atlantis sebelum dikirim banjir besar oleh Allah SWT, setelah banjir besar benua ini pecah menjadi 17.000 pulau yang sekarang disebut Indonesia, hanya beberapa etnik yang masih tersisa, selebihnya menjadi cikal bakal bangsa dunia antara lain bangsa India, Cina ( termasuk Jepang ), Eropa, Israel, Arab, dan Indian . Dalam bahasa Jawa Kuno, arti jawa adalah moral atau akhlaq, maka dalam percakapan sehari-hari apabila dikatakan seseorang dikatakan : "ora jowo" berarti "tidak punya akhlaq atau tidak punya sopan santun", sebutan jawa ini sejak dulunya dipakai untuk menyebut keseluruhan wilayah nusantara, penyebutan etnik2 sebagaimana berlaku saat ini adalah hasil taktik politik de vide et impera para penjajah. Sejak zaman Benua Atlantis, Jawa memang menjadi pusat peradaban karena dari bukti2 fosil manusia purba di seluruh dunia sebanyak 6 jenis fosil, 4 diantaranya ditemukan di Jawa. Menurut "mitologi jawa" yang telah menjadi cerita turun temurun, bahwa asal usul bangsa Jawa adalah keturunan BRAHMA DAN DEWI SARASWATI dimana salah satu keturunannya yang sangat terkenal dikalangan Guru Hindustan (India) dan Guru Budha (Cina) adalah Bethara Guru Janabadra yang mengajarkan "ILMU KEJAWEN". Sejatinya "Ilmu Kejawen" adalah "Ilmu Akhlaq" yang diajarkan Nabi Ibrahim AS yang disebut dalam Alqur'an "Millatu Ibrahim" dan disempurnakan oleh Nabi Muhammad SAW dalam wujud Alqur'an dengan "BAHASA ASLI (ARAB)", dengan pernyataannya "tidaklah aku diutus, kecuali menyempurnakan akhlaq". Dalam buku kisah perjalanan Guru Hindustan di India maupun Guru Budha di Cina, mereka menyatakan sama2 belajar "Ilmu Kejawen" kepada Guru Janabadra dan mengembangkan "Ilmu Kejawen" ini dengan nama sesuai dengan asal mereka masing2, di India mereka namakan "Ajaran Hindu", di Cina mereka namakan "Ajaran Budha". Dalam sebuah riset terhadap kitab suci Hindu, Budha dan Alqur'an, ternyata tokoh BRAHMA sebenarnya adalah NABI IBRAHIM, sedang DEWI SARASWATI adalah DEWI SARAH yang menurunkan bangsa2 selain ARAB. Bukti lain bahwa Ajaran Budha berasal dari Jawa adalah adanya prasasti yang ditemukan di Candi2 Budha di Thailand maupun Kamboja yang menyatakan bahwa candi2 tsb dibangun dengan mendatangkan arsitek dan tukang2 dari Jawa, karena memang waktu itu orang Jawa dikenal sebagai bangsa tukang yang telah berhasil membangun "CANDI BOROBUDUR" sebagai salah satu keajaiban dunia. Ternyata berdasarkan hasil riset Lembaga Studi Islam dan Kepurbakalaan yang dipimpin oleh KH. Fahmi Basya, dosen Matematika Islam UIN Syarif Hidayatullah, bahwa sebenarnya "CANDI BOROBUDUR" adalah bangunan yang dibangun oleh "TENTARA NABI SULAIMAN" termasuk didalamnya dari kalangan bangsa Jin dan Setan yang disebut dalam Alqur'an sebagai "ARSY RATU SABA", sejatinya PRINCE OF SABA atau "RATU BALQIS" adalah "RATU BOKO" yang sangat terkenal dikalangan masyarakat Jawa, sementara patung2 di Candi Borobudur yang selama ini dikenal sebagai patung Budha, sejatinya adalah patung model bidadara dalam sorga yang menjadikan Nabi Sulaiman sebagai model dan berambut keriting. Dalam literatur Bani Israel dan Barat, bangsa Yahudi dikenal sebagai bangsa tukang dan berambut keriting, tetapi faktanya justru Suku Jawa yang menjadi bangsa tukang dan berambut keriting ( perhatikan patung Nabi Sulaiman di Candi Borobudur ). Hasil riset tsb juga menyimpulkan bahwa "SUKU JAWA" disebut juga sebagai "BANI LUKMAN" karena menurut karakternya suku tsb sesuai dengan ajaran2 LUKMANUL HAKIM sebagaimana tertera dalam Alqur'an.Perlu diketahui bahwa satu2nya nabi yang termaktub dalam Alqur'an, yang menggunakan nama depan SU hanya Nabi Sulaiman dan negeri yang beliau wariskan ternyata diperintah oleh keturunannya yang juga bernama depan SU dan meninggalkan negeri bernama SLEMAN di Jawa Tengah. Nabi Sulaiman mewarisi kerajaan dari Nabi Daud yang dikatakan didalam Alqur'an dijadikan Khalifah di Bumi ( menjadi Penguasa Dunia dengan Benua Atlantis sebagai Pusat Peradabannya), Nabi Daud juga dikatakan raja yang mampu menaklukkan besi (membuat senjata dan gamelan dengan tangan, beliau juga bersuara merdu)dan juga menaklukkan gunung hingga dikenal sebagai Raja Gunung. Di Nusantara ini yang dikenal sebagai Raja Gunung adalah "SYAILENDRA" ( Syailendra menurut Dr. Daoed Yoesoef berasal dari kata saila dan indra, SAILA = RAJA dan INDRA = GUNUNG).
Rincian tambahan
Sudah menjadi keniscayaan sejarah, bahwa kemenangan Islam tahap pertama waktu "FUTTUL MAKKAH" dimana Nabi Besar Muhammad SAW. bersama orang2 beriman dengan konsisten melaksanakan perintah shalat sebagai kunci kemenangan dengan kondisi susah air, lalu Allah memberinya "SUMUR ZAM ZAM" yang penuh berkah, maka "FUTTUL MAKKAH KEDUA" akan terjadi melalui Indonesia, negeri yang penuh berkah dengan persediaan air tak terbatas ( zam zam di luar Makkah ). Dari Indonesialah pada suatu masa nanti akan bersatu sebuah kekuatan besar yang diinspirasi dari kekuatan spiritual Ibrahim, Daud, Sulaiman dan Muhammad SAW yang akan memenangkan Islam atas Zionis Israel dan para pendukungnya.
CANDI BOROBUDUR
SURYA Online, BOGOR - Penulis buku Borobudur dan Peninggalan Nabi Sulaiman, Kiai Haji Fahmi Basya mengungkapkan, mimpinya bertemu dengan Soekarno saat menjalani masa tahanan di Lapas Suka Miskin Bandung Tahun 1979, memotivasi dirinya menggali misteri Borobudur.
"Saya ditahan di depan ruangan tahanan yang pernah dihuni Soekarno, begitu membayangkan Soekarno saya kok terbersit bayangan Borobudur yang sejak dahulu saya yakini sebagai bentuk model piring terbang," katanya pada Seminar Titik Balik Sejarah Borobudur di Bogor, Sabtu (6/4/2013).
Ia melanjutkan, malam itu terus terbayang tentang Borobudur dan saat tertidur kemudian bermimpi bertemu dengan Soekarno yang terlihat menganguk-anguk membenarkan teorinya bahwa Borobudur adalah sebuah model pesawat luar angkasa.
"Model Borobudur secara ilmiah bisa dibuktikan merupakan model pesawat luar angkasa, demikian juga saya yakin model Tugu Monas juga merupakan kebalikan dari bentuk pesawat tadi karena asapnya berada di atas," katanya.
Tahun 2008, K.H. Fahmi mulai menulis hipotesa tentang keberadaan Borobudur sebagai bentuk peninggalan Nabi Sulaiman. "Saya layangkan kisah ini di internet, tetapi tidak banyak mendapat tanggapan," katanya.
Motivasi semakin kuat setelah Tahun 2001 bertemu dengan temannya yang baru pulang dari ibadah haji. "Jangan-jangan teori Anda benar kalau Sleman itu dari kata Sulaeman," katanya menirukan ucapan temannya itu.
Ia mengungkapkan, saat ini, sudah melakukan ekspedisi Borobudur ke-20 dan bulan ini akan ada ekspedisi ke-21 untuk melihat bukti-bukti teori saya itu.
"Ada 40 bukti eksak yang tidak terbantahkan dan saya membuka diri kepada siapapun untuk menguji teori saya itu," katanya.
Sebelumnya, dia juga berkeyakinan terungkapnya misteri Candi Borobudur yang merupakan peninggalan Sulaiman dan merupakan penjelasan dari ayat-ayat Alquran itu akan berpotensi untuk mengislamkan masyarakat dunia.
"Masyarakat dunia akan berbondong-bondong mendatangi Borobudur untuk melihat bukti-bukti itu," katanya.
Ia menyebutkan, Candi Borobudur tersusun dari dua bangunan, yaitu bagian bawah merupakan karya masa Nabi Sulaiman dengan bantuan para jin dan bagian puncak merupakan bangunan milik Ratu Saba yang dipindahkan dengan kecepatan cahaya ke bagian atas Candi Borobudur.
"Pemindahan Istana Boko milik Ratu Saba itu tertulis dalam Alquran," katanya.
Dalam buku tersebut, dia menjelaskan, dengan detail dan ilmiah bukti-bukti bahwa Borobudur merupakan peninggakan Nabi Sulaeman, seperti adanya relief yang menggambarkan kisah Nabi Yunus yang terlempar dari kapal dan siap diterkam ikan besar.
Kemudian, ada relief yang menggambarkan Nabi Sulaeman, Nabi Daud (ayah Sulaeman), kisah Ratu Saba yang mengangkat kain karena dikira lantai yang diinjaknya adalah kolam.
Bambang Putra, Ketua Yayasan Generasi Ahad, yang mensponsori acara itu mengatakan, hipotesa dari K.H. Fahmi itu perlu diuji untuk lebih menyempurnakan fakta-fakta yang ada.
"Kita membuka diri kepada siapa pun untuk menguji hipotesa itu. Kalau semakin menguatkan, ini sangat berpotensi untuk makin mempertebal rasa nasionalisme kita sebagai bangsa Indonesia," katanya.

Read More »

SEJARAH KABUPATEN SLEMAN

0 komentar

Mengungkap sejarah merupakan perjalanan yang rumit dan melelahkan. Setidaknya pengalaman tersebut dapat dipetik dari upaya Dati II Sleman untuk menentukan hari jadinya. Setelah melalui penelitian, pembahasan, dan perdebatan bertahun-tahun, akhirnya hari jadi Kabupaten Dati II Sleman disepakati.
Perda no.12 tahun 1998 tertanggal 9 Oktober 1998, metetapkan tanggal 15 (lima belas) Mei tahun 1916 merupakan hari jadi Sleman. Di sini perlu ditegaskan bahwa hari jadi Sleman adalah hari jadi Kabupaten Sleman, bukan hari jadi Pemerintah Kabupaten Dati II Sleman. Penegasan ini diperlukan mengingat keberadaan Kabupaten Sleman jauh sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai wujud lahirnya negara Indonesia modern, yang memunculkan Pemerintah Kabupaten Dati II Sleman.
Keberadaan hari jadi Kabupaten Sleman memiliki arti penting bagi masyarakat dan pemerintah daerah untuk memantapkan jati diri, sebagai landasan yang menjiwai gerak langkah ke masa depan. Penetapan hari jadi ini akan melengkapi identitas yang saat ini dimiliki Kabupaten Sleman.
Dalam perhitungan Almanak, hari jadi Kabupaten Sleman jatuh pada hari Senin Kliwon, tanggal 12 (dua belas) Rejeb tahun Je 1846 Wuku Wayang. Atas dasar perhitungan tesebut ditentukan surya sengkala (perhitungan tahun Masehi) Rasa Manunggal Hanggatra Negara yang memiliki arti Rasa = 6, manunggal = 1, Hanggatra = 9, Negara = 1, sehingga terbaca tahun 1916. Sementara menurut perhitungan Jawa (Candra Sengkala) hari jadi Kabupaten Sleman adalah Anggana Catur Salira Tunggal yang berarti Anggana = 6, Catur = 4, Salira = 8, Tunggal = 1, sehingga terbaca tahun 1846. Kepastian keberadaan hari jadi Kabupaten Sleman didasarkan pada Rijksblad no. 11 tertanggal 15 Mei 1916. Penentuan hari jadi Kabupaten Sleman dilakukan melalui penelaahan berbagai materi dari berbagai sumber informasi dan fakta sejarah.
Adapun dasar-dasar pertimbangan yang digunakan adalah:
Usia penamaan yang paling tua Mampu menumbuhkan perasaan bangga dan mempunyai keterkaitan batin yang kuat terhadap masyarakat.
Memiliki ciri khas yang mampu membawa pengaruh nilai budaya .
Bersifat Indonesia sentris, yang dapat semakin menjelaskan peranan ciri keindonesiaan tanpa menyalahgunakan obyektivitas sejarah.
Mempunyai nilai historis yang tinggi, mengandung nilai dan bukti sejarah yang dapat membangun semangat dan rasa kagum atas jasa dan pengorbanan nenek moyang kita.
Merupakan peninggalan budaya Jawa yang murni, tidak terpengaruh oleh budaya kolonial
Periode 1916-1945
Secara administratif, keberadaan Kabupaten Sleman dapat dilacak pada Rijksblad no. 11 tahun 1916 yang membagi wilayah Kasultanan Yogyakarta (Mataram) dalam 3 Kabupaten, yakni Kalasan, Bantul, dan Sulaiman (yang kemudian disebut Sleman), dengan seorang bupati sebagai kepala wilayahnya. Secara hierarkhis, Kabupaten membawahi distrik yang dikepalai seorang Panji.
Dalam Rijksblad tersebut juga disebutkan bahwa kabupaten Sulaiman terdiri dari 4 distrik yakni : Distrik Mlati (terdiri 5 onderdistrik dan 46 kalurahan), Distrik Klegoeng (terdiri 6 onderdistrik dan 52 kalurahan), Distrik Joemeneng (terdiri 6 onderdistrik dan 58 kalurahan), Distrik Godean (terdiri 8 onderdistrik dan 55 kalurahan).
Pada tahun yang sama, berturut-turut dikeluarkan Rijksblad no.12/1916, yang menempatkan Gunung Kidul sebagai kabupaten keempat wilayah Kasultanan Yogyakarta. Kemudian disusul dengan Rijksblad no. 16/1916 yang mengatur keberadaan Kabupaten Kota. Sedangkan Rijksblad 21/1916 mengatur keberadaan kabupaten Kulon Progo. Dengan demikian, pada tahun tersebut wilayah Kasultanan Yogyakarta berkembang dari 3 kabupaten menjadi 6 Kabupaten.
Pembagian wilayah Kesultanan Yogyakarta tersebut ternyata pada tahun 1927 mengalami penyederhanaan melalui munculnya Rijksblad no. 1/1927. Enam Kabupaten yang terdapat di wilayah kasultanan disederhanakan menjadi 4 kabupaten yakni: Kabupaten Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulon Progo dan Gunung Kidul. Dalam hal ini, Kabupaten Sleman mengalami penurunan status menjadi distrik Kabupaten Yogyakarta.
Pada tahun 1940, wilayah Kasultanan Yogyakarta mengalami reorganisasi dengan munculnya Rijksblad Van Jogjakarta no. 13/1940 tanggal 18 Maret 1940. Rijksblad tersebut membagi wilayah kasultanan Yogyakarta tetap dalam 4 Kabupaten dengan pemampatan pada distrik masing-masing kabupaten.
Kabupaten Yogyakarta, terdiri 2 (dua) distrik (Distrik Kota dan Distrik Sleman).
Kabupaten Sleman yang terdiri 4 (empat) distrik.
Kabupaten Kulon Progo terbagi 2 (dua) distrik.
Kabupaten Gunung Kidul terbagi 3 (tiga) distrik.
Pembagian wilayah tersebut tidak berlangsung lama, karena pada tahun 1942 dengan Jogjakarta Kooti, Kasultanan Yogyakarta lebih memerinci wilayahnya sebagai berikut:
Kabupaten Yogyakarta dengan Bupati KRT. Harjodiningrat. Kabupaten Yogyakarta dibagi menjadi 3 (tiga) Kawedanan, yakni kawedanan Sleman dengan penguasa R. Ng. Pringgo Sumadi dan Kawedanan Kalasan dengan penguasa R. Ng. Pringgo Biyono.
Kabupaten Bantul (Ken) dengan Bupati KRT. Dirjokusumo dan wilayahnya dibagi menjadi 4 (empat) kawedanan yakni Bantul, Kotagede, Godean dan Pandak.
Kabupaten Gunung Kidul dengan Bupati KRT. Djojodiningrat dan wilayahnya terbagi menjadi 3 (tiga) kawedanan yakni Wonosari, Playen dan Semanu.
Kabupaten Kulon Progo dengan Bupati KRT. Pringgohadingrat, dengan wilayah yang terbagi menjadi 2 (dua) kawedanan yaitu Nanggulan dan Sentolo.
Pada tanggal 8 April 1945 Sri Sultan Hamengkubuwono IX melakukan penataan kembali wilayah Kasultanan Yogyakarta melalui Jogjakarta Koorei angka 2 (dua). Dalam Koorei tersebut dinyatakan wilayah Kasultanan Yogyakarta dibagi menjadi lima Kabupaten yakni Kabupaten Kota Yogyakarta (Yogyakarta Syi), Kabupaten Sleman (Sleman Ken), Kabupaten Bantul (Bantul Ken), Kabupaten Gunung Kidul (Gunung Kidul Ken) dan Kabupaten Kulon Progo (Kulon Progo Ken). Penataan ini menempatkan Sleman pada status semula, sebagai wilayah Kabupaten.
Periode 1945-1947
Jogjakarta Koorei angka 2 (8 April 1945) menjadikan Sleman sebagai pemerintahan Kabupaten untuk kedua kalinya dengan KRT Pringgodiningrat sebagai bupati. Pada masa itu, wilayah Sleman membawahi 17 kapewon (Son) yang terdiri dari 258 kalurahan (Ku). Ibu kota kabupaten berada di wilayah utara, yang saat ini dikenal sebagai desa Triharjo (Kecamatan Sleman).
Bila dibandingkan dengan pemerintahan kabupaten lainnya di tanah Jawa, infrastruktur yang dimiliki Sleman sangat terbatas. Fasilitas yang dimiliki adalah gedung pusat pemerintahan, pasar (yang saat ini dikenal sebagai pasar Sleman), masjid (masjid Sleman) dan stasiun kereta api (lokasinya sudah berubah menjadi taman segi tiga Sleman). Sedangkan infastruktur seperti alun-alun, penjara, markas prajurit dsbnya, sebagai syarat ibukota, tidak dimiliki.
Di era revolusi, para pegawai pemerintah meninggalkan ibukota Sleman ikut keluar kota mengatur strategi. Dalam keadaan demikian perkantoran pemerintahan Kabupaten Sleman menjadi sepi dan terjadi “bumi angkut” oleh gerombolan masyarakat yang tidak bertanggungjawab. Akibatnya gedung-gedung pemerintah tidak layak lagi menjadi tempat pelayanan masyarakat.
Periode 1945-1947
Dalam kondisi gedung-gedung pelayanan masyarakat yang memprihatinkan, Bupati Sleman KRT Pringgodiningrat pada tahun 1947 memindahkan pusat pelayanan kabupaten ke Ambarukmo, di Petilasan Dalem serta bekas pusat pendidikan perwira polisi yang pertama di Indonesia (saat ini pendopo hotel Ambarukmo). Dalam hal ini, Ambarukmo merupakan pusat kegiatan pelayanan pemerintahan, bukan ibukota kabupaten.
Pada tahun yang sama Bupati KRT Pringgodiningrat diganti oleh KRT Projodiningrat. Dalam periode ini, tepatnya tahun 1948, wilayah Kasultanan Yogyakarta mulai melaksanakan pemerintahan formal. Sesuai dengan UU no. 22 Tahun 1948, penyebutan wilayah Kabupaten Sleman adalah Kabupaten Sleman.
Pada tahun 1950 Bupati KRT Projodiningrat digantikan oleh KRT Dipodiningrat hingga tahun 1955. Selanjutnya, KRT Dipodiningrat digantikan oleh KRT Prawirodiningrat, yang menjabat Bupati Sleman hingga tahun 1959.
Pada masa itu pemerintah RI mengeluarkan UU no. 1 tahun 1957 mengenai Pembagian Daerah Republik Indonesia dan Aturan Otonomi Daerah, maka penyebutan Kabupaten Sleman berubah menjadi daerah Swatantra. Sebagai implementasinya Departemen Dalam Negeri menerbitkan peraturan bahwa selain memiliki seorang Bupati yang diangkat secara sektoral sebagai pegawai Kementrian Dalam Negeri, Kabupaten juga harus memiliki kepala daerah yang dipilih legislatif (DPRD).
Dengan kata lain, dalam periode pemerintahan ini, sebuah kabupaten memiliki 2 (dua) Kepala Daerah. Terpilih sebagai Kepala Daerah Swatantra adalah Buchori S. Pranotodiningrat. Seiring terbitnya Penetapan Presiden no. 6 Tahun 1959 dan no. 5 Tahun 1960, untuk memberlakukan kembali UUD 1945, pemerintahan Kabupaten Sleman kembali dikepalai seorang Bupati/Kepala Daerah, yang dijabat oleh KRT. Murdodiningrat.
Periode 1964-Sekarang
Pada tahun 1964, KRT Murdodiningrat memindahkan pusat pemerintahan ke Dusun Beran, Desa Tridadi Kecamatan Sleman. Lokasinya menempati bangunan kantor Bappeda Sleman (sekarang). Pada masa ini pula Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman mulai memiliki lambang daerah.
Munculnya UU no. 18 tahun 1965 mengenai Hak Otonomi Daerah ditindaklanjuti DPRD Gotong Royong Daerah Tingkat II Sleman dengan menerbitkan SK. no. 19/1966 yang mengubah sebutan Pemerintah Daerah Tingkat II Sleman menjadi Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman, dan DPRD Gotong Royong Tingkat II Sleman menjadi DPRD Gotong Royong Kabupaten Sleman. Pada masa tersebut ketua DPRD Gotong Royong dijabat Soekirman Tirtoatmodjo.
Seiring berakhirnya masa keanggotaan DPRD Gotong Royong pada tahun 1971, jabatan ketua DPRD digantikan oleh Soelanto. Selanjutnya pada tahun 1974, UU no. 18 tahun 1965 digantikan UU no. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah. Berorientasi pada Undang-undang ini pemerintahan daerah Sleman menggunakan penyebutan Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Sleman.
Pada tahun 1974 KRT. Murdodiningrat digantikan oleh KRT Tedjo Hadiningrat, yang hanya menjabat selama 3 bulan. Selanjutnya posisi bupati dijabat Drs. KRT. H. Prodjosuyoto Hadiningrat, yang menjabat 2 periode (th.1974-1985) dengan 2 kali penggantian ketua DPRD. Pada tahun 1977, posisi Soelanto sebagai ketua DPRD digantikan oleh R. Soelarjo hingga tahun 1982, yang selanjutnya digantikan Samingan H.S.
Pada tahun 1985 Drs. KRT. H. Prodjosuyoto Hadiningrat digantikan Drs. Samirin, yang menjabat selama satu periode (1985-1990). Pada masa jabatannya, Drs. Samirin mengalami sekali pergantian ketua DPRD Sleman yakni pada tahun 1987, Samingan H. S. digantikan Letkol. Sudiyono, yang menjabat 2 periode masa jabatan (1987-1997).
Sumber : Pemerintah Kab. Sleman
Lokasi dan Batas Wilayah
Kabupaten ini berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah di utara dan timur, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Bantul, dan Kota Yogyakarta di selatan, serta Kabupaten Kulon Progo di barat. Pusat pemerintahan di Kecamatan Sleman, yang berada di jalur utama antara Yogyakarta - Semarang.
Sleman sempat diturunkan statusnya menjadi distrik di bawah wilayah Kabupaten Yogyakarta. Dan baru pada tanggal 8 April 1945, Sri Sultan Hamengkubuwono IX melakukan penataan kembali wilayah Kasultanan Yogyakarta melalui Jogjakarta Koorei angka 2 (dua). Penataan ini menempatkan Sleman pada status semula, sebagai wilayah Kabupaten dengan Kanjeng Raden T umenggung Pringgodiningrat sebagai bupati. Pada masa itu, wilayah Sleman membawahi 17 Kapenewon/Kecamatan (Son) yang terdiri dari 258 Kalurahan (Ku). Ibu kota kabupaten berada di wilayah utara, yang saat ini dikenal sebagai desa Triharjo. Melalui Maklumat Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 tahun 1948 tentang perubahan daerah-daerah Kelurahan, maka 258 Kelurahan di Kabupaten Sleman saling menggabungkan diri hingga menjadi 86 kelurahan/desa. Kelurahan/Desa tersebut membawahi 1.212 padukuhan.
Pusaka dan Identitas Daerah
Kyai Turunsih
Kabupaten Sleman memiliki tombak "Kyai Turunsih Tangguh Ngayogyakarto", pemberian dari Raja Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X pada Sabtu Kliwon 15 Mei 1999 (Tanggal Jawa, 29 Sapar 1932 Ehe). Penyerahan Pusaka tersebut kepada Bupati Sleman, dikawal 2 bergada prajurit Kraton Yogyakarta yakni Bregada Ketanggung berbendera Cakraswandana dan Bregada Mantrijero berbendera Purnamasidi. Pusaka itu dibawa seorang abdi Keraton Yogyakarta, KRT Pringgohadi Seputra.
Tombak Kyai Turunsih memiliki dhapur (pangkal) cekel beluluk Ngayogyakarta dan pamor beras wutah (wos wutah) wengkon. Pamor pusaka itu sesuai kondisi Sleman sebagai gudang berasnya Daerah Istimewa Yogyakarta. Tombak tersebut memiliki panjang sepanjang kurang lebih 270 cm dan pangkal sepanjang 49 cm.
Menurut Sri Sultan Hamengku Buwono X, Tombak Kyai Turunsih mengisyaratkan laku ambeg paramarta, dijiwai olah rasa kasih sayang, yang mencakup wilayah se Kabupaten Sleman sebagaimana sebuah keluarga besar yang harmonis, mulat sarira sesuai hari jadinya 'Anggana Catur Sarira Tunggal' yang terbaca tahun 1846 Jawa. Candra Sengkala tersebut mengemukakan sikap kearifan tradisional di empat penjuru yang manunggal pada jiwa kesatuan, yang menjadi unsur kasepuhannya.
Salak Pondoh
Salak Pondoh (Sallaca edulis Reinw cv Pondoh) dalam kajian ilmiah termasuk divisi Spermatophyta (tumbuhan berbiji) dengan sub divisi Angiospermae (berbiji tertutup). Sedangkan klasifikasi kelasnya adalah Monocotyledoneae (biji berkeping satu), yang termasuk bangsa Arecales, suku Arecaceae Palmae (keluarga Palem) dan marga Salacca jenis Salacca edulis Reinw dengan anak jenis Salacca edulis Reinw cv Pondoh.
Tanaman ini dipilih menjadi flora identitas Kabupaten Sleman karena merupakan jenis tanaman Salak khas di wilayah Sleman dan telah menjadi kebanggaan masyarakat Sleman. Awalnya, Partodiredjo, seorang Jogoboyo desa pada Kapanewon Tempel, pada tahun 1917 menerima kenang-kenangan empat butir biji salak dari seorang warga negara Belanda yang akan kembali ke negerinya karena masa tugasnya telah berakhir. Biji Salak yang kemudian ditanam dan dibudidayakannya dengan baik ternyata menghasilkan buah yang manis dan tidak sepat, tidak seperti buah Salak yang selama itu dikenalnya. Pada tahun 1948-an tanaman Salak tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Muhadiwinarto (putra Partodiredjo) warga Sokobinangun, Merdikorejo, Tempel. Karena kelebihannya dalam hal rasa, tanaman salak tersebut cepat berkembang pesat penyebarannya.
Burung Punglor
Burung Punglor (Zootheria Citrina) yang tergolong Vertebrata marga Zootheria, bangsa passeriformes, suku Turdidae, dan kelas Aves ini memiliki bulu yang indah. Habitat Punglor adalah hutan sekunder dataran rendah dan dataran yang memiliki ketinggian hingga 900 M di atas permukaan air laut.
Di wilayah Sleman, burung yang bersuara merdu ini berhabitat kebun Salak Pondoh. Dengan makanan utama cacing tanah dan kumbang (uret), Punglor merupakan predator bagi hama tanaman Salak Pondoh.
Tempat wisata
Candi Prambanan
Candi Ratu Boko
Kaliurang
Monumen Yogya Kembali
Museum Affandi
Museum Dapur Tradisional
Museum Gunung Merapi
Museum Ullen Sentalu
Stadion Maguwoharjo
Bupati
KRT. Pringgodiningrat (1945-1947)
KRT. Projodiningrat (1947-1950)
KRT. Dipodiningrat (1950-1955)
KRT. Prawirodiningrat (1955-1959)
KRT. Murdodiningrat (1959-1974)
KRT. Tedjo Hadiningrat (1974 / 3 Bulan)
Drs. KRT. H. Prodjosuyoto Hadiningrat (1974-1985)
Drs. Samirin (1985-1990)
H. Arifin Ilyas (1990-2000)
Drs. Ibnu Subiyanto, Akt. (2000-2009)
Drs. H. Sri Purnomo, M.Si. (2009-2010/Plt Bupati)
Drs. H. Sri Purnomo, M.Si. (2010-2015)
Tokoh Terkenal
Seto Nurdiantoro, Pesepak Bola Nasional
Mbah Maridjan, Juru Kunci Merapi
Mubyarto, Ekonom Indonesia
Leo Sukoto, Uskup Agung
Doni Tata Pradita, Pebalap Indonesia
Muchdi Purwoprandjono, Komandan Jendral Kopassus
Wifqi Windarto, Pebulu Tangkis Nasional
Wahidin Soedirohoesodo, Pahlawan Nasional Indonesia
M. Arief Budiman, Ilmuwan
Sayuti Melik, Pengetik Naskah Proklamasi Kemerdekaan RI
Eross Candra, Musisi, Personil Sheila On 7
Akhdiyat Duta Modjo, Musisi, Personil Sheila On 7
Affandi, Maestro Seni Lukis Indonesia
Pendidikan Tinggi
Universitas :
UGM - Universitas Gajah Mada
UNY - Universitas Negeri Yogyakarta
UAJY - Universitas Atma Jaya Yogyakarta
UIN - Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
UPN - Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta
UII - Universitas Islam Indonesia
USD - Universitas Sanata Dharma
UP 45 - Universitas Proklamasi 45
UKRIM - Universitas Kristen Immanuel
UNRIYO - Universitas Respati Yogyakarta
UTY - Universitas Teknologi Yogyakarta
Misteri Desa Kasuran Sleman Yogyakarta
Dusun Kasuran merupakan salah satu daerah unik di tanah air. Di dusun yang masuk wilayah Sleman ini, seluruh penduduknya tidur tanpa kasur. Mereka tidak berani melanggar karena takut terkena musibah.
Namanya Dusun Kasuran. Letaknya di Desa Margodadi, Kecamatan Seyegan, Sleman, Jogjakarta. Luasnya sekitar 17 hektare. Dusun tersebut berpenduduk 618 jiwa dengan 68 kepala keluarga (KK). Dari Kota Jogjakarta, perjalanan bisa ditempuh dalam waktu sekitar satu jam.
Sekilas tidak ada yang berbeda dengan dusun-dusun lain. Mayoritas rumah warga sudah beratap genting dengan dinding batu bata. Pasokan listrik pun cukup memadai. Hampir setiap rumah memiliki televisi dan lemari pendingin. Jalanan dusun juga beraspal.
Yang membedakan Kasuran dengan dusun yang lain adalah kepercayaan dan kebiasaan penduduknya. Meski bernama Kasuran, hampir tidak ada penduduk dusun itu yang tidur beralas kasur. Mereka tidur di atas dipan kayu atau hanya di atas tikar. Hanya segelintir penduduk yang memakai kasur busa. ’’Asal ndak pakai kasur berbahan kapuk, ya ndak papa. Akhirnya ada yang diganti pakai kasur busa, tetapi itu pun jumlahnya sedikit sekali. Hanya 10 persen dari jumlah penduduk,” jelas Kepala Dusun Wartilah ketika ditemui di kediamannya kemarin (2/1).
Wartilah menuturkan, dusunnya memang memiliki kepercayaan kuat terkait larangan menggunakan kasur sebagai alas tidur. Kepercayaan tersebut sudah berlangsung turun-temurun sejak ratusan tahun lalu. Kepercayaan unik itu tidak luntur hingga kini. Meski tidak ada aturan tertulis, penduduk Dusun Kasuran, baik yang muda maupun yang sepuh, benar-benar patuh pada kepercayaan tersebut.
Ketika mengunjungi beberapa rumah warga, semua kamar tidur memang hanya memakai dipan beralas tikar. Bahkan, ada yang tidur langsung di lantai beralas tikar. Jumari, salah seorang warga, menuturkan, dirinya dan keluarga tetap merasa nyaman meski tidur tanpa kasur. ’’Saya selama hidup ndak pernah tidur pakai kasur. Rasanya tetap nyaman walaupun tidur di atas tikar atau dipan,” ujarnya.
Alasan lain Jumari dan keluarga untuk tidur tanpa kasur adalah takut melanggar kepercayaan turun-temurun tersebut. Jika kepercayaan itu dilanggar atau nekat tidur di atas kasur, mereka khawatir mendapat musibah. ’’Takut saya. Takut ada apa-apa kalau tidur di kasur,” jelas pria 50 tahun itu. http://anedidunia.blogspot.com
Hal tersebut dibenarkan Wartilah. Perempuan 49 tahun ini mengungkapkan, telah banyak kejadian janggal saat ada warganya yang melanggar kepercayaan tersebut. Tidak hanya satu atau dua kasus, tetapi ratusan kasus terjadi hanya gara-gara warganya tidur di atas kasur. ’’Ini percaya atau tidak percaya, tetapi banyak kejadian. Mulai mati muda, ada yang gila sampai sekarang, ada yang buta. Mereka tidak percaya,” tuturnya.
Wartilah yang sudah 20 tahun menjadi kepala dusun itu mencontohkan, ada seorang bidan yang berpraktik di kawasan dusun itu. Untuk memeriksa pasien, bidan tersebut menggunakan kasur di ruang praktik, seperti layaknya bidan lain. Bidan muda itu memiliki dua putra. Sejak kecil hingga dewasa, dua putranya gemar bertengkar hebat hingga ingin saling bunuh.
’’Itu terus terjadi dari kecil sampai mereka besar. Saya pernah kok disuruh misah mereka gara-gara mereka pegang celurit sama pisau dapur. Setelah dikasih tahu sesepuh desa untuk membuang kasurnya, kedua anaknya itu ya jadi akur,” kenang Wartilah.
Ibu tiga anak itu menuturkan, aturan untuk menghindari kasur tersebut juga berlaku bagi para pendatang atau tamu yang berkunjung ke dusun itu. Wartilah mengisahkan, pernah ada seorang pendatang, pembantu rumah tangga yang baru pertama tinggal di dusunnya. Pembantu tersebut sudah diperingatkan sang majikan untuk tidak tidur di kasur. Namun, dia tak menghiraukan larangan tersebut. Pada malam pertama dia tidur di kasur tidak ada yang terjadi. Namun, keesokan harinya, kasur beserta sang pembantu sudah berada di langit-langit kamar. Kasur tersangkut di kayu penyangga langit-langit. ’’Dia teriak-teriak. Banyak orang kok waktu itu yang mbantu nurunkan dia dari atap,” katanya. http://anedidunia.blogspot.com
Ada juga kisah seorang bayi yang tiba-tiba sakit setelah ditidurkan di kasur. Si bayi kecil tersebut mengalami panas dan kejang. Dia juga menjerit-jerit. ’’Tetapi setelah sama budenya si anak itu ditidurkan di lantai, langsung panasnya hilang, tidurnya pulas,” urainya.
Menurut Wartilah yang mendapat cerita secara turun-temurun, larangan tidur di kasur itu merupakan perintah Sunan Kalijaga. Menurut cerita para sesepuh, suatu ketika, Sunan Kalijaga singgah di Dusun Kasuran. Penyebar Islam pada zaman Kerajaan Demak itu mampir di kawasan Grogol, tidak jauh dari Kasuran, saat waktu Duhur. Ketika akan berwudu, dia tidak menemukan air. Lantas, Sunan Kalijaga menghantamkan tongkatnya ke tanah dan secara ajaib air keluar dari tanah. ”Mata air tersebut lalu dinamakan Tuksibeduk,” kisah Wartilah.
Sesudah salat, lanjut dia, sang sunan merasa lelah dan akhirnya mampir di Dusun Kasuran. Di sana, dia meminta pada sesepuh Dusun Kasuran, Kiai dan Nyai Kasur, untuk menyediakan kasur buat beristirahat sejenak. Setelah segar kembali, sunan berpesan pada Kiai dan Nyai Kasur agar menyuruh penduduknya untuk tidak bermalas-malasan, apalagi tidur di kasur. ’’Anak cucu saya jangan tidur di kasur. Boleh tidur di kasur kalau kesaktiannya sudah sepadan atau melebihi saya,” ujar Warsilah menirukan ucapan Sunan Kalijaga seperti yang dituturkan turun-temurun.
Sejak saat itu, seluruh penduduk Dusun Kasuran memegang erat kepercayaan tersebut. Mereka tidak pernah tidur di kasur. Para penduduk pun sudah paham konsekuensinya jika melanggar kepercayaan tersebut. Karena itu, lanjut Wartilah, setiap ada penjual kasur lewat di dusun itu, tidak pernah beruntung. ’’Saya bilang, oalah Pak, ngantos sedino nggih mboten payu kasure (meski sampai sehari ya nggak bakal laku kasurnya, Red),” ujar Wartilah lantas terbahak.
Sejarah Yang tak tertulis
Apakah anda termasuk yg suka sejarah?? ternyata tidak semua sejarah harus berupa data tertulis,berupa relief..tapi banyak bekas peninggalan-peninggalan yg sekarang kita nikmati ternyata menyimpan sejarah yang tak tertulis.
Begitulah sejarah dan para pahlawannya,para pejuang dan pahlawan tidak semuanya mencatat sejarah,namun hampir sebagian besar sejarah ditulis oleh pemegang kekuasaan atau sang pemenang perang.seandainya negeri kita ini dimenangkan oleh belanda,sangat mungkin sejarah-sejarah Indonesia akan dihilangkan terutama yang menyangkut hal-hal yg merugikan pihak mereka.
sama juga ketika kita mempelajari sejarah zaman orde baru yg ternyata tidak sesuai dengan fakta.
Sebagai contoh,apakah anda tahu kota sleman di daerah istimewa Yogyakarta??
Namun sejarah yang tak tertulis mengatakan bahwa nama “Sleman” diambil dari nama seorang aulia atau wali yang menyebarkan dakwah di sekitar daerah tersebut yang susur galur nasabnya menyambung sampai kepada Rasulullah SAW atau yang kita kenal dengan sebutan Habib atau sayyid.( wallahualam bishshawab )
Nama Sleman diambil dari nama beliau,yaitu Sayyid Sulaiman Mojoagung (bergelar pangeran kanigara ) Bin Abdurrahman Tajudin basyaiban dan para anak keturunannya banyak yang menjadi pejabat keraton Yogyakarta yang kurang lebih pada masa Sri sultan Hamengkubuwono II.
Dan ini bisa dibuktikan dengan adanya makam para anak keturunannya di komplek keraton dan beberapa lainnya tersebar di wilayah Pekalongan,Sidoresmo dan Magelang (Tepatnya di makam Khusus Keluarga Basyaiban di Payaman Kab.magelang dan di makam tersebut bersemayam makam Terkenal Kepala Regent magelang pertama atau istilah sekarang adalah Bupati Pertama Magelang yaitu Sayyid Alwi bin Ahmad Basyaiban yg bergelar Raden Ngabei Danoeningrat I).
Mungkin kebiasaan lidah jawa maka menyebut Nama Sayyid Sulaiman dengan sebutan “Sleman” saja hingga sekarang menjadi sebuah Kota yang ramai.
Dan Napak tilas Sayyid Sulaiman Mojoagung basyaiban ini ternyata masih bisa kita lihat di kota Jogjakarta dengan adanya suatu wilayah atau kecamatan Danurejan, karena nama “Danurejan” aslinya berasal dari salah satu anak keturunan dari Sayyid Sulaiman ini yang bernama Sayyid Ahmad bin Muhammad Said bin Abdul wahab bin Sulaiman Basyaiban yg bergelar Pangeran Danurejo krn menjadi salah satu menantu keraton Jogjakarta.
Dan dari pangeran Danurejo atau Sayyid Ahmad Basyaiban inilah lahir Bupati Pertama Magelang yg bergelar Raden Ngabei Danoeningrat I atau Sayydi Alwi Basyaiban yang meninggal pada Tahun 1825.
Mungkin sudah seharusnya kalau masyarakat kota Sleman juga ikut berterima kasih kepada Sayyid Sulaiman Mojoagung Basyaiban ini salah satunya dengan berziarah ke MojoAgung Jawa Timur tempat beliau dimakamkan yang tak pernah sepi peziarah dari berbagai belahan kota di Indonesia bahkan dari mancanegara.
Apa yg saya tulis ini salah satunya karena saya juga sangat mengenal dengan para anak keturunan Sayyid Sulaiman MojoAgung basyaiban yang tersebar di Tiga kota besar, Yaitu Magelang,Sidoresmo dan Pekalongan yang tergabung dalam Suatu wadah Silaturrahmi Ittihad Ansaab Basyaiban atau disingkat IAB yang berpusat di jakarta namun ada 3 cabang di Kota besar tersebut.
Selain itu mungkin anda juga kurang paham bahwa dulu sejarah pernah mencatat di Pasuruan Jawa timur di masa penjajahan ada pasukan yg kita kenal dengan “sebutan arek-arek suroboyo” ternyata mereka juga satunya dipimpin oleh para anak keturunan dari Sayyid Sulaiman Basyaiban ini juga
wallahualam bishshawab...

Read More »

Sejarah Desa Kerto

1 komentar
Siapa menyangka bahwa di sini pernah berdiri sebuah kerajaan besar, Kerajaan Mataram Islam di bawah Sultan Agung, cucu Panembahan Senopati. Sultan Agung adalah Raja Mataram yang berhasil memperluas pengaruh kerajaan sampai ke Jawa Timur, dan kemudian memindahkan pusat kekuasaan Mataram dari Kotagede ke Kerto. Di bawah Sultan Agung, Mataram mencapai jaman keemasannya.
Alamat situs kerto
Dusun Kerto, Desa Pleret, Kecamatan Pleret
Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta
Jejak Mataram di Situs Kerto Pleret Jogja
Situs Kerto Pleret Bantul Jogja merupakan situs yang menjadi saksi bisu jejak keberadaan Kerajaan Mataram yang pernah memiliki keraton di wilayah ini. Setelah meninggalkan Situs Watugilang Kotagede kami meluncur ke arah Selatan menempuh jarak 6,6 km, dengan memutar di Jl Ring Road Selatan menuju ke Barat, lalu belok kiri ke Jl Imogiri Timur.
Di perempatan kami belok kiri ke Jl Kedaton, lalu belok ke kanan di perempatan berikutnya. Tengara Situs Kerto ada di kiri jalan, 350 m dari perempatan terakhir, di kebun di tengah pedesaan.
Lengang. Siapa menyangka bahwa di sini pernah berdiri keraton kerajaan besar, Kerajaan Mataram Islam di bawah Sultan Agung, cucu Panembahan Senopati.
Sultan Agung adalah Raja Mataram yang memperluas pengaruh sampai Jawa Timur, dan memindahkan pusat kekuasaan dari Kotagede ke Kerto. Di bawah Sultan Agung, Mataram mencapai jaman keemasannya. Ia mengirimkan tentaranya untuk mengusir VOC dari Batavia, dan mendapat dukungan Cirebon dan Banten, namun usahanya gagal.
situs kerto pleret bantul
Tengara atau tanda Cagar Budaya Situs Kerto Pleret Bantul yang berada persis di tepi jalan. Tengara sudah terlihat mulai menua dan sedikit tersembunyi diantara bayang pohon-pohon pisang. Sayangnya juga tidak terlihat ada tengara atau poster lain di sekitar Situs Kerto yang memberi penjelasan kepada pengunjung tentang latar belakang sejarah situs ini.
Setelah sempat berbincang sejenak dengan seorang penduduk setempat yang tengah bekerja di kebun sebelah, yang sayangnya ia tidak tahu banyak tentang Situs Kerto ini, saya pun berjalan memasuki area situs. Situs Kerto Pleret yang menyimpan sisa-sisa peninggalan Keraton Mataram ini berada di dalam kebun terbuka tanpa pagar.
Peninggalan Keraton Mataram jaman Sultan Agung di Situs Kerto itu kini hanya menyisakan sejumlah umpak batu andesit berukuran besar yang biasa digunakan sebagai landasan pilar utama atau soko guru bangunan keraton. Umpak ini berada di tempat terbuka, dan hanya beberapa meter dari bibir tebing pendek yang tampaknya rawan longsor.
Umpak batu di Situs Kerto ini memiliki lubang di atasnya sebagai dudukan pilar, serta ada ornamen daunan di setiap sisinya. Saya hanya bisa berangan bahwa mudah-mudahan suatu ketika nanti dinas terkait dan masyarakat bisa merekonstruksi peninggalan ini. Setidaknya membersihkan umpak, dan meletakkannya dalam sebuah pendopo terbuka.
Adalah Amangkurat I, anak Sultan Agung, yang memindahkan Keraton dari Kerto ke Pleret pada 1647. Tidak diketahui alasannya, karena lokasi tidak terlalu jauh. Pleret kemudian diserbu, diduduki, serta dijarah oleh Trunojoyo pada 1677, yang membuat Amangkurat I lari ke arah Barat menuju Batavia, namun meninggal di Tegal Arum, Tegal.
Lekukan ornamen yang ada pada keempat sisi umpak di Situs Kerto Pleret. Besarnya umpak batu andesit ini bisa menjadi gambaran besarnya pilar bangunan keraton pada waktu itu. Mendapatkan kayu jati tua berukuran besar dan tinggi di masa itu tentunya masih sangat mudah, tidak sebagaimana saat ini. Sayangnya pilar kayu tak berumur lama.
Umpak batu kedua Situs Kerto Pleret berjarak beberapa puluh meter dari umpak batu pertama. Seorang penduduk setempat kemudian mendekat. Menurutnya beberapa meter dari umpak kedua ini ada susunan batu memanjang menyerupai dinding. Saya memang melihat ada semacam pembatas rendah dengan kebun sebelah, namun tidak terlihat lagi susunan batunya.
Orang itu kemudian mengantarkan saya ke lokasi penggalian situs Kerto lainnya, dengan berjalan melewati beberapa kebun milik penduduk. Lokasi ini terletak sekitar 200 m dari umpak batu, dengan spanduk kecil yang menandai status Cagar Budaya, serta himbauan untuk menjaga, peringatan serta ancaman bagi hukum bagi yang melanggarnya.
Kegiatan penggalian Situs Kerto ini tampaknya dihentikan sejak 2007. Hanya tersisa pagar pelindung sederhana yang terbuat dari bambu di Situs Kerto di lokasi ini yang bisa dilihat, dan entah sampai kapan akan bertahan terus seperti itu. Sebuah koran menyebut bahwa tempat ini diduga merupakan sisa-sisa Siti Hinggil Keraton Mataram.
------------
Sangat sedikit yang tahu jika Sultan Agung Hanyokrokusuma mengendalikan pemerintahannya dari sebuah daerah bernama Kerto. Kini pun orang juga hampir tidak peduli dengan situs bekas ibu kota Mataram Islam yang paling jaya sepanjang sejarah Mataram itu.
Selepas ibu kota Mataram berada di Kotagede, Sultan Agung memindahkan ibu kota ke Kerto disebelah selatan Kotagede. Kepindahan ke Kerto sebenarnya sudah dimulai saat ibu kota Mataram masih berada di Kotagede pada tahun 1614 dan baru ditempati pada tahun 1618.
Dari sini Sultan Agung yang bergelar Sultan Agung Senapati ing Ngalaga Abdurrahman mengendalikan roda pemerintahannya. Termasuk 2 penyerangan fenomenal dalam Situs Kerto ,
Usaha penaklukan Batavia pada tahun 1628 dan 1629. Meskipun kedua serangan Mataram ke Batavia yang dikuasai VOC gagal, toh serangan kedua membuat Gubernur Jenderal VOC Jaan Pieter Zoon Coen meninggal dunia diduga akibat wabah kolera yang diciptakan para prajurit Mataram dengan cara membendung dan mengotori sungai Ciliwung hingga membuat wabah kolera di sana.
Kini, jika berkunjung ke situs Kerto, maka petilasan yang masih tampak adalah dua batu besar berupa umpak berdiameter hampir satu meter. Umpak itu sebagai penyangga saka guru bangunan utama keraton. Sebenarnya ada 3 umpak yang masih berada di situ. Satu yang lain kini berada di Masjid Saka Tunggal di dekat Taman Sari, Yogyakarta sebagai umpak Situs Kertopenyangga utama saka tunggal di dalam masjid.
Di dekat umpak yang sekarang dikelilingi kawat berduri dan tiang cor beton itu juga terdapat seperti anak tangga. Konon tangga itu menuju siti hinggil, bagian tertinggi keraton. Warga sekitar juga sering menyebut daerah itu sebagai lemah dhuwur, tanah tinggi.
Jika kini kita sedang berada di tengah-tengah situs Kerto, ada rasa yang membuat diri kita merasa masih berada di tengah-tengah keraton berabad yang lalu. Dan kita pun seperti sedang tidak percaya, bahwa di pelosok pojok tenggara Kota Jogja berdiri kerajaan yang pangkuan kekuasannya sampai Situs Kertohampir di seluruh Nusantara. Ada banyak yang berpendapat, Sultan Agung memerintah kerajaan dengan sahaja tetapi kegemarannya memperluas wilayah membuat Mataram menjadi jaya di zamannya.
Jejak Mataram di Kerto tidak hanya itu. Masjid Taqarrub yang kini masih tegak berdiri dan tetap dipakai untuk shalat berjamaah juga bagian dari Mataram di Kerto. Bagan Keraton Mataram selalu ada alun-alun di depan keraton, lalu di barat keraton ada masjid dan di depan alun-alun ada pasar sebagai pusat ekonomi. Masjid Taqarrub adalah masjid Keraton Mataram di Kerto zaman Sultan Agung jumeneng.
Empat tiang utama masjid yang berada di tengah-tengah bangunan utama ini sekarang ditinggikan sekitar 120 sentimeter dari ukuran aslinya. Serambi juga diperlebar Situs Kertodan diperluas. Seiring perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat kini bangunan masjid diperbarui. Tetapi 4 saka guru yang menjadi tiang bangunan utama tidak pernah diganti dan bangunan utama masjid masih utuh seperti sedia kala.
Keaslian yang lain juga tampak dengan adanya plakat tanda dari Patih Danureja yang ke-9 yang isinya lebih kurang tentang pemugaran Masjid Taqarrub. Plakat itu bertuliskan huruf Jawa dengan beberapa tulisan tahun aksara Arab. Ada dua plakat yang berada di dalam masjid, semua tergantung di serambi menuju ke pintu masuk masjid utama.
Di samping utara masjid terdapat sebuah prasasti dari masa Hindu berbentuk lingga. Prasasti ini sebagai penanda bahwa tanah di daerah tersebut telah diberikan oleh penguasa untuk masyarakat sekitar. Tidak diketahui secara pasti tentang detail isi prasasti. Prasasti tersebut merupakan duplikat dari prasasti asli yang sekarang tersimpan di Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY.
Lokasi:
Keduanya, Situs Kerto dan Masjid Taqarrub berada di Dusun Kanggotan, Desa Sebuah kayu berukir pada puncak beranda masjid.Kerto, Kecamatan Pleret, Bantul.
Transportasi:
Disarankan dengan kendaraan pribadi. Hampir semua lokasi ini menyatu dan seiring dengan jalur menuju Situs Keraton Pleret yang berjarak lebih kurang 16,5 kilometer arah tenggara Kota Jogja.
----------------
IMG_5500+Kuliner:
Sama dengan saat berada di Situs Keraton Pleret yang di sepanjang jalan dipenuhi dengan warung-warung sate yang cukup melegenda.

Keraton yang Hilang
Menelusuri jejak keraton Pleret dan Kerto yang sekarang terletak di Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, seperti berlomba dengan cepatnya waktu. Puing-puing yang tersisa dari dua keraton di zaman Kerajaan Mataram Islam itu terus terancam oleh lubang-lubang galian dari usaha batu bata dan pembangunan tak terencana.
Tahun 2003 adalah awal persaingan warga Desa Pleret dengan Tim Arkeolog dari Dinas Kebudayaan DIY serta Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3). Mereka berlomba menggali lahan pekarangan dan persawahan di sekitar Pleret. Bedanya, Tim Arkeolog menggali untuk mencari dan menyelamatkan situs Mataram Islam di Pleret dan Kerto, sementara warga menggali lahan untuk bahan baku batu bata.
Di sejumlah titik, pembangunan pun semakin merambah lahan-lahan yang berpotensi memendam sisa-sisa bangunan keraton. Karena keberadaan bangunan baru itu, upaya ekskavasi makin sulit dilakukan.
Keraton Kerto dan Pleret pernah menjadi pusat pemerintahan kerajaan besar Mataram Islam pada abad XVII. Dari Keraton Kerto, Sultan Agung memimpin zaman keemasan Mataram Islam dan menggerakkan perlawanan kepada Belanda. Putra Sultan Agung yang bergelar Sunan Amangkurat I kemudian memindahkannya ke Pleret.
Dua keraton
Saat ini dua keraton bersejarah itu tinggal puing-puing yang tersebar atau terpendam tanah. Padahal, sebagai pusat kerajaan besar, Pleret dan Kerto dibangun dengan berbagai fasilitas. Berbagai fasilitas seperti Masjid Agung Pleret, beteng, dan alun-alun itulah yang coba digali Tim Arkeolog.
Koordinator Lapangan Tim Arkeolog Rully Andriadi mengatakan, ekskavasi dilakukan rutin untuk merekonstruksi dan mendokumentasikan detail kehidupan masa itu. Ekskavasi dan pendataan harus dilakukan secepat mungkin karena lubang-lubang galian batu bata yang dibuat penduduk beberapa kali merusak sisa-sisa struktur bangunan keraton. Batu bata maupun struktur bangunan yang berada di atas tanah pun banyak diambil untuk berbagai kepentingan.
”Belum lagi cepatnya pembangunan di kawasan. Lahan yang diduga masih mengandung sisa-sisa keraton ternyata telah digunakan membangun rumah sehingga tak bisa diketahui lagi apa yang tersimpan di lahan itu,” ujar Rully di Yogyakarta, akhir Juli 2010.
Dikubur lagi
Struktur bangunan yang ditemukan dalam ekskavasi pun sering kali terpaksa dikubur lagi. Hal ini untuk menghindari perusakan serta menghindari konflik dengan pemilik lahan. Sebagian lahan di sekitar situs keraton Pleret dan Kerto memang masih dimiliki dan digunakan warga.
Kondisi-kondisi ini jelas mempercepat hilangnya puing-puing yang tersisa. Untuk mencegahnya, ekskavasi dan pendataan harus dilakukan secepat mungkin. Namun, secepat apa pun Tim Arkeolog berusaha, upaya ini rupanya tetap sulit bersaing dengan laju kerusakan. ”Sampai sekarang baru sekitar 10 persen saja dari dua keraton ini yang berhasil diekskavasi dan didokumentasikan,” kata Rully.
Padahal, hingga saat ini masih banyak yang belum diketahui dari dua keraton ini. Referensi baru diperoleh secara sekilas dari naskah ilmuwan Belanda, surat-surat warga Belanda yang pernah ditawan Sultan Agung, dan beberapa naskah sastra kuno (babad) yang ditulis sastrawan keraton. Referensi-referensi tersebut tak banyak memberi gambaran rinci seperti teknologi yang telah dikembangkan di keraton.
Temuan berupa saluran air yang telah dilengkapi sistem saringan berlapis tahun 2008, misalnya, menunjukkan adanya teknologi yang telah berkembang di Keraton Kerto. ”Kalau teknologi-teknologi ini bisa diungkap, bisa jadi sumber ilmu bagi bangsa Indonesia,” ujar Rully.
Lurah Desa Pleret Nur Subiyantoro mengakui, pembangunan perumahan memang cukup pesat di daerah Pleret. Pleret menjadi pilihan para pengembang karena aksesnya yang mudah serta jaraknya yang tak terlalu jauh dari Kota Yogyakarta.
Bagi warga, kepentingan utama menggali lahan adalah untuk bahan batu bata. Di Desa Pleret ada ratusan perajin batu bata. ”Harga galian tanah sangat menggiurkan. Ada dua sistem yang biasanya dipakai, yakni menjual tanah dengan sistem truk. Harganya Rp 125.000 sampai Rp 140.000 per truk. Kedua, sistem penjualan per kubik dengan harga sekitar Rp 20.000 per meter kubik,” kata Nur.
Lahan yang digali tak hanya pekarangan, tetapi juga persawahan. Bekas galian dibiarkan begitu saja tanpa penanganan. Pemilik biasanya menjual lahan yang sudah rusak dengan harga murah. ”Setelah tidak bisa digali lagi, sawah saya jual seharga Rp 50 juta. Luas sawah sekitar 300 meter persegi,” kata Sakiyem (45), pembuat batu bata di Desa Pleret.
Saat menggali, tak jarang warga menemukan situs-situs peninggalan Mataram Islam. Kadang kondisinya rusak karena penggaliannya asal-asalan. Salah satunya adalah penemuan sumur tua yang diperkirakan dibuat abad ke-17. Dindingnya terbuat dari gerabah dengan diameter 70 cm dan tinggi 35 cm. Sumur tersebut ditemukan di Dusun Gunungkelir, Desa Pleret, pada tahun 2008.
Batu bata
Tradisi pembuatan batu bata juga tak lepas dari keberadaan Mataram Islam. Saat Sunan Amangkurat I berkuasa, ia memerintahkan rakyatnya untuk membuat batu bata sebanyak-banyaknya. Tujuannya untuk membangun sebuah istana di Pleret. Perintah Sunan Amangkurat I, yang ditulis dalam Babad Tanah Jawi I tersebut, menjadi titik awal tradisi pembuatan batu bata di Kecamatan Pleret.
Keraton dibangun pada abad XVI dengan luas 2.256 meter dikelilingi tembok dengan tinggi 6 meter dan tebal 1,5 meter. Semuanya terbuat dari batu bata. Setelah dihancurkan Belanda, batu bata bekas keraton lalu dimanfaatkan untuk membangun pabrik gula.
Pembangunan Keraton Pleret konon melibatkan sekitar 300.000 penduduk dengan sistem kerja paksa. Pembangunan tersebut telah banyak menularkan teknik pembuatan batu bata ke banyak warga. Setelah keraton berdiri megah, warga tetap membuat batu bata.
Usaha batu bata memuncak pascagempa bumi 2006. Banyaknya aktivitas pembangunan fisik pascagempa membuat permintaan akan batu bata melonjak tinggi. Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bantul, jumlah rumah yang rusak total 71.763 unit, rusak berat 71.372 unit, dan rusak ringan 73.669 unit.
Juru Pelihara Situs Keraton Pleret yang juga anggota Badan Perwakilan Desa Pleret, Rahmat Fauzi, mengaku prihatin dengan kondisi tersebut. Dia berharap pemerintah dan aparat desa setempat memberikan perlindungan terhadap lahan-lahan situs yang berpotensi masih mengandung sisa-sisa keraton zaman Mataram Islam. Perlindungan diperlukan sebelum keraton itu benar-benar hilang.
Talut Air Peninggalan Kerajaan Mataram Islam Ditemukan
Tim Ekskavasi Dinas Kebudayaan Provinsi DIY kembali menemukan situs bersejarah berupa struktur bangunan air sepanjang 4 meter di Desa Kerto, Kecamatan Pleret, Bantul, Yogyakarta, di depan rumah seorang warga bernama Misbakhul Munir (80 tahun). Talut air tersebut diperkirakan peninggalan Keraton Kerto yang berdiri pada zaman Mataram Islam.
Selain talut air, tim juga menemukan kerang serta artefak yang berupa fragmen gerabah dan keramik dari China. Menurut Koordinator Lapangan Ekskavasi Rully Andriadi, kareng adalah bukti adanya endapan air. "Sepertinya tempat tersebut adalah bekas kolam keraton," Rully menduga-duga. Sementara itu, temuan lain berupa artefak menjadi bukti adanya hunian dan aktivitas manusia.
Sebulan sebelumnya Rully dan timnya menemukan situs bersejarah berupa konstruksi benteng sisi selatan Keraton Pleret berupa batu bata merah yang terkubur hingga 1,5 meter. Keraton Kerto dan Pleret adalah bagian Kerajaan Islam yang saat ini menjadi kawasan cagar budaya. Kawasan ini mempunyai nilai sejarah tinggi karena memiliki banyak peninggalan arkeologi Hindu, Buddha, Islam, serta kolonial Belanda.
Sejak tahun 2005, penelitian dilakukan untuk menemukan posisi asli, tata ruang, dan komponen keraton. Rully mengaku kesulitan melacak bukti-bukti sejarahnya. "Selain sudah dihuni perkampungan penduduk, jejak kedua keraton juga sudah hilang karena berbagai peristiwa," kata Rully. Peristiwayang dimaksud meliputi pemberontakan pada masa Amangkurat I dan IV, pertempuran Diponegoro, serta penghancuran bangunan keraton untuk pabrik gula.
Arsip mengenai kedua keraton ini sangat minimal. Menurut Rully, bahkan Keraton Yogyakarta pun tidak memilikinya. Informasi mengenai Keraton Pleret dikumpulkan Rully lewat tulisan orang Belanda bernama Jan Vos yang dulu pernah berkunjung ke Pleret. "Semua tulisan itu ada di Belanda,” katanya.
Beberapa situs bersejarah yang sudah ditemukan adalah konstruksi benteng sebelah barat Keraton Pleret, artefak, situs Masjid Kauman Pleret, hingga makam istri Raja Amangkurat I. Benda-benda berserajah tersebut sebagian disimpan di Museum Pleret, Bantul, Yogyakarta.

Read More »

KABUPATEN BANTUL

1 komentar

Kabupaten Bantul (Hanacaraka: ꦨꦤ꧀ꦠꦸꦭ꧀) adalah kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Ibukotanya adalah Bantul. Moto kabupaten ini adalah Projotamansari singkatan dari Produktif-Profesional, Ijo royo royo, Tertib, Aman, Sehat, dan Asri. Kabupaten ini berbatasan dengan Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman di utara, Kabupaten Gunung Kidul di timur, Samudra Hindia di selatan, serta Kabupaten Kulon Progo di barat. Obyek wisata Pantai Parangtritis terdapat di wilayah kabupaten ini.
Bagian selatan kabupaten ini berupa pegunungan kapur, yakni ujung barat dari Pegunungan Sewu. Sungai besar yang mengalir di antaranya Kali Progo (membatasi kabupaten ini dengan Kabupaten Kulon Progo, Kali Opak, Kali Tapus, beserta anak-anak sungainya.
Pada 27 Mei 2006, gempa bumi besar berkekuatan 5,9 skala Richter mengakibatkan kerusakan yang besar terhadap daerah ini dan kematian sedikitnya 3.000 penduduk Bantul. Daerah terparah akibat gempa adalah Pundong dan Imogiri
Sejarah
Bantul memang tak bisa dilepaskan dari sejarah Yogyakarta sebagai kota perjuangan dan sejarah perjuangan Indonesia pada umumnya. Bantul menyimpan banyak kisah kepahlawanan. Antara lain, perlawanan Pangeran Mangkubumi di Ambar Ketawang dan upaya pertahanan Sultan Agung di Pleret. Perjuangan Pangeran Diponegoro di Selarong. Kisah perjuangan pioner penerbangan Indonesia yaitu Adisucipto, pesawat yang ditumpanginya jatuh ditembak Belanda di Desa Ngoto. Sebuah peristiwa yang penting dicatat adalah Perang Gerilya melawan pasukan Belanda yang dipimpin oleh Jenderal Sudirman (1948) yang banyak bergerak di sekitar wilayah Bantul. Wilayah ini pula yang menjadi basis, "Serangan Oemoem 1 Maret" (1949) yang dicetuskan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Tolok awal pembentukan wilayah Kabupaten Bantul adalah perjuangan gigih Pangeran Diponegoro melawan penjajah bermarkas di Selarong sejak tahun 1825 hingga 1830.
Seusai meredam perjuangan Diponegoro, Pemeritah Hindia Belanda kemudian membentuk komisi khusus untuk menangani daerah Vortenlanden yang antara lain bertugas menangani pemerintahan daerah Mataram, Pajang, Sokawati, dan Gunung Kidul. Kontrak kasunanan Surakarta dengan Yogyakarta dilakukan baik hal pembagian wilayah maupun pembayaran ongkos perang, penyerahan pemimpin pemberontak, dan pembentukan wilayah administratif.
Pemerintah Hindia Belanda dan sultan Yogyakarta pada tanggal 26 dan 31 Maret 1831 mengadakan kontrak kerja sama tentang pembagian wilayah administratif baru dalam kasultanan disertai penetapan jabatan kepala wilayahnya. Saat itu Kasultanan Yogyakarta dibagi menjadi tiga kabupaten yaitu Bantulkarang untuk kawasan selatan, Denggung untuk kawasan utara, dan Kalasan untuk kawasan timur.
Menindaklanjuti pembagian wilayah baru Kasultanan Yogyakarta, tanggal 20 Juli 1831 atau Rabu Kliwon 10 Sapar tahun Dal 1759 (Jawa) secara resmi ditetapkan pembentukan Kabupaten Bantul yang sebelumnya dikenal bernama Bantulkarang tersebut di atas. Seorang nayaka Kasultanan Yogyakarta bernama Raden Tumenggung Mangun Negoro kemudian dipercaya Sri Sultan Hamengkubuwono V untuk memangku jabatan sebagai bupati Bantul.
Pada masa pendudukan Jepang, pemerintahan berdasar pada Usamu Seirei nomor 13 sedangkan 'stadsgemente ordonantie' dihapus. Kabupaten memiliki hak mengelola rumah tangga sendiri (otonom). Kemudian setelah kemerdekaan, pemerintahan ditangani oleh Komite Nasional Daerah untuk melaksanakan UU No 1 tahun 1945. Akan tetapi di Yogyakarta dan Surakarta undang-undang tersebut tidak diberlakukan hingga dikeluarkannya UU Pokok Pemerintah Daerah No 22 tahun 1948 dan selanjutnya mengacu UU Nomor 15 tahun 1950 yang berisi tentang pembentukan Pemerintahan Daerah Otonom di seluruh Indonesia.
Tanggal 20 Juli ini lah yang setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Jadi Kabupaten Bantul. Selain itu tanggal 20 Juli tersebut juga memiliki nilai simbol kepahlawanan dan kekeramatan bagi masyarakat Bantul mengingat Perang Diponegoro dikobarkan tanggal 20 Juli 1825.
Pusaka dan Identitas Daerah
Tombak Kyai Agnya Murni
Tombak Kyai Agnya Murni berasal dari kata agnya berarti perintah atau pemerintahan dan murni adalah suci/bersih. Sehingga dengan tegaknya pusaka itu membawa pesan ditegakkannya nilai kehidupan berperadaban sebagai pilar utama membangun pemerintahan yang bersih. Tombak pusaka Kyai Agnya-murni mengisyaratkan pamoring kawula Gusti. Dalam khasanah Jawa, dikenal istilah budaya berpamor agama. Sehingga dalam dimensi vertikal memiliki makna pasrah diri dan tunduk patuh insan ke haribaan Sang Khalik. Dalam dimensi horizontal mengisyaratkan luluhnya pemimpin dengan rakyat.
Tombak pusaka ini diberikan oleh Raja Kraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X pada Peringatan Hari Jadi ke-169 Kabupaten Bantul, Kamis 20 Juli 2007. Tombak ini memiliki dapur Pleret, yang mengisyaratkan Kabupaten Bantul agar mengingat keberadaan Pleret sebagai historic landmark yang menandai titik awal pembaharuan pemerintahan Mataram Sultan Agungan yang cikal bakalnya berada di Kerta Wonokromo. Tombak yang memiliki pamor wos wutah wengkon (melimpahnya kemakmuran bagi seluruh rakyat), dapat eksis bila ditegakkan pada landeyan (dasar) kayu walikukun. Landeyan itu simbul keluhuran budaya berbasis ilmu berintikan keteguhan iman.
Geografi
Kabupaten Bantul terletak antara 07° 44′ 04″ – 08° 00′ 27″ Lintang Selatan dan 110° 12′ 34″ – 110° 31′ 08″ Bujur Timur. Luas wilayah Kabupaten Bantul 508,85 Km2 (15,90 5 dari Luas wilayah Provinsi DIY) dengan topografi sebagai dataran rendah 140% dan lebih dari separonya (60%) daerah perbukitan yang kurang subur, secara garis besar terdiri dari : Bagian Barat, adalah daerah landai yang kurang serta perbukitan yang membujur dari Utara ke Selatan seluas 89,86 km2 (17,73 % dari seluruh wilayah). Bagian Tengah, adalah daerah datar dan landai merupakan daerah pertanian yang subur seluas 210.94 km2 (41,62 %). Bagian Timur, adalah daerah yang landai, miring dan terjal yang keadaannya masih lebih baik dari daerah bagian Barat, seluas 206,05 km2 (40,65%). Bagian Selatan, adalah sebenarnya merupakan bagian dari daerah bagian Tengah dengan keadaan alamnya yang berpasir dan sedikit berlaguna, terbentang di Pantai Selatan dari Kecamatan Srandakan, Sanden dan Kretek.
Kabupaten Bantul dialiri 6 Sungai yang mengalir sepanjang tahun dengan panjang 114 km2. Yaitu :
1. Sungai Oyo : 35,75 km
2. Sungai Opak : 19,00 km
3. Sungai Code : 7,00 km
4. Sungai Winongo : 18,75 km
5. Sungai Bedog : 9,50 km
6. Sungai Progo : 24,00 km
Iklim dan topografi
Kecamatan
Kabupaten Bantul terdiri atas 17 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Pusat pemerintahan di Kecamatan Bantul, sekitar 11 km sebelah selatan Kota Yogyakarta.
Bupati
Raden Tumenggung Mangun Negoro 20 Juli 1831
Raden Tumenggung Jayadiningrat -
Raden Tumenggung Nitinegoro -
Raden Tumenggung Danukusumo -
Raden Tumenggung Djojowinoto -
Raden Tumenggung Djojodipuro -
Raden Tumenggung Surjokusumo -
Raden Tumenggung Mangunyuda 1899 - 1913
K.R.T. Purbo Dininggrat 1913 - 1918
K.R.T. Dirdjokusumo 1918 – 1943
K.R.T. Djojodiningrat 1943 – 1947
K.R.T. Tirtodiningrat 1947 - 1951
K.R.T. Purwaningrat 1951 – 1955
K.R.T. Brataningrat 1955 - 1958
K.R.T. Wiraningrat 1958
K.R.T. Setyosudarmo 1958 – 1960
K.R.T. Sosrodiningrat 1960 – 1969
K.R.T. Projo Harjono (Pejabat) 1969 – 1970
R. Sutomo Mangkusasmito, SH. 1970 – 1980
Suherman Partosaputro 1980 – 1985
K.R.T. Suryo Padmo Hadiningrat (Moerwanto Suprapto) 1986 – 1991
K.R.T. Yudadiningrat (Sri Roso Sudarmo) 1991 – 1998
Drs. H. Kismosukirdo (PJ) 1998 – 1999
Drs. HM. Idham Samawi 1999 – 2004
Drs. Mujono NA Desember 2004 - Januari 2005 (Pelaksana Tugas Harian)
Drs. HM. Idham Samawi 2005 - 2010 (Terpilih kembali melalui Pilkada Bantul 2005)
Hj. Sri Suryawidati 27 Juli 2010 - sekarang
Kabupaten dilintasi oleh jalan nasional sebagai jalan arteri primer, di antaranya Jalan Pansela (Dalam Pembangunan) melewati kecamatan Srandakan, Sanden, dan Kretek. Jalan nasional penghubung dengan Kota Yogyakarta melewati jalan Bantul segmen utara, Jalan Lingkar timur Kota Bantul, Jalan Bakulan, dan Jalan Parangtritis segmen selatan. Dan juga Jalan Nasional penghubung Kota Yogyakarta dan Jakarta di kawasan jalan wates segmen Sedayu serta sebagian segmen jalan nasional ring road yogyakarta. Untuk jalan provinsi diantaranya jalan srandakan, jalan bantul segmen selatan, jalan parangtritis segmen utara, jalan wonosari segmen banguntapan dan piyungan, jalan imogiri timur, jalan imogiri barat, dan jalan jogja outering road sedayu-pandak-bantul-imogiri-jetis-pleret-banguntapan. Sistem perkeretaapian di Bantul sudah dibangun sejak zaman kolonial belanda. Jalur kereta api di Bantul terdiri atas jalur yogyakarta - bandung di kecamatan sedayu dengan Stasiun Rewelu (hanya digunakan untuk depo BBM) serta jalur rel kereta mati yang direncanakan akan dihidupkan kembali antara yogyakarta - bantul - brosot dengan stasiun di madukismo, cepit, bantul kota, palbapang, dan srandakan dan juga jalur mati yogyakarta - kota gede - pleret - pundong.
Kuliner Khas Bantul
Kabupaten Bantul memiliki makanan khas, yaitu:
geplak
Tolpit
Sate Klathak
Peyek Undur-Undur
Kabupaten Bantul memiliki beberapa event, yaitu:
Kirab Budaya Dlingo
Rekreasi
Objek Wisata
Pantai Parangtritis Dokar Pantai
Pantai Parangendok Pantai di Pinggir tebing terdapat Air Terjun
Pantai Parangkusumo Pantai Mistis tempat bertemunya Raja Jawa dan Nyi Roro Kidul
Pantai Depok Pantai dengan TPI (pelelangan Ikan) dan Warung-warung Lesehan Pinggir Pantai
Pantai Samas Muara Sungai Opak
Pantai Pandansari Patehan Terdapat Mercusuar
Pantai Kuwaru Terdapat Kolam renang anak, sirkuit ATV di bawah pepohonan cemara laut
Pantai Goa Cemara Terdapat Goa dari rimbunya pohon cemara laut
Pantai Baru Dicanangkan banyak Kincir Angin Raksasa seperti di Belanda
Pantai Pandansimo Pantai Ujung Barat Bantul
Objek Wisata Alam Di Kabupaten Bantul
Goa Cerme Goa Horisontal ber Air dengan Stalagtit Stalagmit
Goa Selarong Goa Markas Pangeran Diponegoro
Goa Sunan Mas Goa petilasan Amangkurat Mas terdapat Mata Air dan Arca
Goa Jepang Goa Persembunyian Jepang, Terdapat 17 Goa salah satunya menghadap ke Pantai
Kebun Buah Mangunan dan Gardu Pandang Oyo Terlihat Sungai Oyo berlekuk-lekuk
Gumuk Pasir Bantul Pantai dengan TPI (pelelangan Ikan) dan Warung-warung Lesehan Pinggir Pantai
Sendang Beji Pajangan Sendang Air Jernih
Air Terjun Banyunibo Dlingo Hidden paradise
Air Terjun Gedangan Giriloyo Hidden paradise
Air Terjun Pulosari Pajangan Hidden paradise
Air Terjun Lepo Dlingo Hidden paradise
Air Terjun Senthong Pundong Hidden paradise
Hutan Pinus Mangunan Dicanangkan banyak Kincir Angin Raksasa seperti di Belanda
Pantai Parangtritis merupakan obyek wisata yang paling terkenal di kabupaten ini.
Wisatawan juga dapat mengunjungi objek wisata budaya/religi seperti Pemakaman Imogiri.
Sementara itu, terdapat berbagai desa wisata di Kabupaten Bantul yang umumnya merupakan desa penghasil kerajinan. Desa-desa tersebut antara lain adalah Kasongan (penghasil gerabah), Pundong (penghasil gerabah), Pucung (penghasil kerajinan kulit), Gendeng (penghasil kerajinan kulit terutama wayang), dan Krebet (penghasil kerajinan kayu termasuk topeng batik). Batik Bantul sangat terkenal, dan dapat diperoleh baik di sekitar makam Imogiri, Giriloyo (utara Imogiri), dan di Wijirejo. Kerajinan kulit untuk barang sehari-hari (tas, jaket, sandal dan sebagainya) juga dapat diperoleh di desa Manding.
Selain di desa-desa wisata tersebut, kerajinan juga dapat diperoleh di Pasar Seni Gabusan yang terletak di Jalan Parangtritis.

NAMA BANTUL

Berawal dari Kisah Seorang Ki Ageng Mangir. Ki Ageng Mangir, bukan nama asing dalam sejarah Mataram. Di mata Mataram, Mangir dikenal sebagai tokoh pemberontak karena dituduh ingin melepaskan diri dari Mataram. Dia mati di tangan Panembahan Senopati yang sebenarnya merupakan mertuanya sendiri. Panembahan Senopati mengatur skenario dengan menjebak Ki Ageng Mangir dengan mengirimkan Pembayun, putrinya untuk memikat Mangir dengan cara menyamar sebagai penari tayub.
Strateginya berhasil dan kemudian dia meminta Ki Ageng Mangir untuk mau datang menghadap ayahandanya. Namun saat menghadap dan sujud di depan Panembahan Senopati, kepalanya dibenturkan ke batu gilang tempat duduk sang raja.
Siapa sebenarnya Ki Ageng Mangir . Dalam Babad Mangir disebutkan setidaknya ada tiga tokoh yang menggunakan nama Mangir. Trah Mangir ini dalam babad diceritakan berasal dari Brawijaya V yang berputra Radyan Alembumisani. Alembumisani ini melarikan diri dari Majapahit ke arah barat bersama istrinya. Kemudian dia mempunyai seorang putra yang diberi nama Radyan Wanabaya. Radyan Alembumisani meninggal di daerah Gunungkidul. Radyan Wanabaya inilah yang kemudian tinggal di Mangir sehingga ia terkenal dengan nama Ki Ageng Mangir Wanabaya (Mangir I).
Ki Ageng Mangir Wanabaya I menurunkan Ki Ageng Mangir Wanabaya II. Mangir I juga mempunyai istri (selir), putri dari Demang Jalegong. Dalam cerita tutur dikenal Rara Jalegong melahirkan anak yang berupa naga yang diber nama Ki Bagus Baruklinting ini mempunyai kesaktian yang luar biasa pada lidahnya sehingga lidahnya dibuat menjadi sebilah mata tombak oleh ayahnya sendiri dan diberi nama Kiai Baru.
Dalam cerita rakyat dipercaya bahwa Ki Bagus Baruklinting adalah naga yang berubah wujud menjadi tombak pusaka (Kiai Baruklinting). Tombak Kiai Baruklinting senantiasa disanding oleh Ki Ageng Mangir. Namun senjata ini tidak dibawa menghadap Panembahan Senopati karena syarat menghadap raja semua senjata harus dilepas.
Dusun Mangir sekarang terbagi atas tiga wilayah, yakni Dusun Mangir Lor, Mangir Tengah dan Mangir Kidul. Lokasi ini terletak kira-kira 20 kilometer dari Kota Jogja. Secara administratif dusun ini masuk dalam wilayah Kalurahan Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, Peninggalan yang masih ada di daerah ini antara lain batu persegi dengan ukuran 1×1 meter yang dipercaya sebagai tempat duduk Ki Ageng Mangir, arca lembu (kendaraan Dewa Siwa) dan beberapa fragmen arca.
Selain itu ada beberapa peninggalan lain yang cukup tersebar di Dusun Mangir, yakni berupa onggokan batu bata dalam ukuran lebih besar dari rata-rata ukuran batu bata di zaman sekarang, onggokan batu bata yang hampir tersebar di seluruh Dusun Mangir ini diperkirakan merupakan sisa-sisa bangunan keraton Ki Ageng Mangir di masa lalu. (ZUH/Harian Jogja)
Cerita mengenai saat-saat boyongan dari Mangir ke Mataram merupakan sebuah kisah yang dramatis, hanya sayang tidak banyak masyarakat yang mengetahuinya. Kisah ini dapat dibaca dalam Babad Mangir. Dalam adegan ini pulalah kata BANTUL berasal, karena banyaknya EMBAN yang membawa uba rampe serta srah-srahan dengan cara dipikul yang MENTUL-MENTUL. Itulah asal dari kata BANTUL, yang kini menjadi salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta

Read More »

SEJARAH CANDI BOROBUDUR

sesuai kajian Islam VERSI KH FAHMI BASYA. Menurut sebuah penelitian oleh Pak KH Fahmi Basya memperoleh kesimpulan bahwa kisah nabi...