Ki Sodewo, Pahlawan Mataram yang terlupakan.
Dalam dinasti Mataram, dikenal beberapa tokoh sebagai Pahlawan Nasional, antara lain Sultan Agung, Pangeran Diponegoro dan Pangeran Sambernyowo.
Dari sekian banyak raja, ratu, pangeran dan tokoh-tokoh Mataram sebetulnya terdapat banyak cerita kepahlawanan yang belum terungkap. Penyebab utamanya bisa karena dokumen sejarah pendukung yang kurang. Sebagian besar kisah kepahlawanan hanya beredar dari mulut ke mulut.
Dari sekian banyak raja, ratu, pangeran dan tokoh-tokoh Mataram sebetulnya terdapat banyak cerita kepahlawanan yang belum terungkap. Penyebab utamanya bisa karena dokumen sejarah pendukung yang kurang. Sebagian besar kisah kepahlawanan hanya beredar dari mulut ke mulut.
Lain halnya tokoh yang rajin menulis seperti Raden Mas Said (Pangeran Sambernyowo) misalnya yang mendokumentasikan sendiri perjuangannya melalui tulisan-tulisannya. Oleh karenanya ajaran Pangeran Sambernyowo mengenai Tri Dharma ( handarbeni, hangrungkepi, mulat sarira hangrosowani) menjadi populer.
Belum banyak masyarakat yang tahu kisah kepahlawanan Ki Sodewo, Putra kandung Pangeran Diponegoro yang berjuang di wilayah Bagelen dan Kulonprogo pada masa Perang Diponegoro atau yang dikenal Belanda sebagai Perang Jawa. Hanya sedikit penduduk di sekitar kota Wates yang tahu lokasi makam tubuh Ki Sodewo. Bahkan makam ini tidak terletak di Taman Makam Pahlawan Giripeni yang berjarak hanya beberapa ratus meter dari pemakaman umum Sideman, tempat dimana Ki Sodewo dimakamkan.
Sungguh ironis bagi Ki Sodewo yang asli 100% seorang pahlawan. Dan mungkin tinggal tersisa sangat sedikit orang yang tahu bahwa di daerah Jrangking, dekat pemandian Clereng Kulon Progo ada daerah bernama Gunung Songgo yang merupakan petilasan tempat disangganya kepala Ki Sodewo dengan bambu. Belanda sengaja memisahkan kepala dari makam tubuhnya karena menurut cerita apabila kepala dan tubuh Ki Sodewo masih menyatu Belanda khawatir Ki Sodewo bisa hidup kembali karena kesaktiannya yang luar biasa.
Belum banyak masyarakat yang tahu kisah kepahlawanan Ki Sodewo, Putra kandung Pangeran Diponegoro yang berjuang di wilayah Bagelen dan Kulonprogo pada masa Perang Diponegoro atau yang dikenal Belanda sebagai Perang Jawa. Hanya sedikit penduduk di sekitar kota Wates yang tahu lokasi makam tubuh Ki Sodewo. Bahkan makam ini tidak terletak di Taman Makam Pahlawan Giripeni yang berjarak hanya beberapa ratus meter dari pemakaman umum Sideman, tempat dimana Ki Sodewo dimakamkan.
Sungguh ironis bagi Ki Sodewo yang asli 100% seorang pahlawan. Dan mungkin tinggal tersisa sangat sedikit orang yang tahu bahwa di daerah Jrangking, dekat pemandian Clereng Kulon Progo ada daerah bernama Gunung Songgo yang merupakan petilasan tempat disangganya kepala Ki Sodewo dengan bambu. Belanda sengaja memisahkan kepala dari makam tubuhnya karena menurut cerita apabila kepala dan tubuh Ki Sodewo masih menyatu Belanda khawatir Ki Sodewo bisa hidup kembali karena kesaktiannya yang luar biasa.
Ki Sodewo terlahir di wilayah Madiun pada tahun 1810, bernama Bagus Singlon. Putera Pangeran Diponegoro dengan R. Ayu Citrowati (dari Madiun) ini pada masa kecilnya dititipkan pada seorang kyai bernama Ki Tembi di Madiun. Hal ini untuk menghindari penangkapan yang dilakukan Belanda terhadap anak turun Pangeran Diponegoro. Ketika berumur 15 tahun pada tahun 1825 setelah mulai mengenal asal usul dan jati dirinya, Bagus Singlon mencari ayahnya. Bersama dengan Ki Tembi, Bagus Singlon menuju Tegal Rejo, Goa Selarong dan route perjuangan Diponegoro lainnya. Sambil menunggu saat perjumpaan dengan ayahandanya, Bagus Singlon tinggal bersama Kyai Gothak di daerah Panjatan Kulon Progo. Bagus Singlon rajin menempa ilmu kanuragan dari Kyai Gothak maupun para guru lain. Bahkan Bagus Singlon belajar ilmu Pancasona sampai ke daerah Bagelen. Dengan bantuan telik sandi, Bagus Singlon akhirnya berjumpa dengan ayahandanya Pangeran Diponegoro. Oleh ayahandanya Bagus Singlon diberi julukan Ki Sodewo karena kesaktian dan kehebatannya dalam bertempur. Nama itu berasal dari kata Laksono Dewo (bagaikan dewa), dewa yang maha sakti dalam berperang. Ki Sodewo lalu membantu pertempuran bersama para pengikut Diponegoro. Salah satu bukti kedidayaan Ki Sodewo adalah kemampuannya membunuh Jendral Van De Cohlir, salah satu jendral andalan Jendral Van De Kock, panglima perang Hindia Belanda. Ki Sodewo membangun persaudaraan dengan tokoh-tokoh seperti Kyai Gothak dan Kyai Josuto untuk mendapatkan bala tentara. Sebuah benteng pertahanan dibangun di wilayah dusun Bosol. Benteng tersebut terbuat dari pohon bambu ori yang ditanam di sepanjang sungai serang di wilayah dusun Bosol. Wilayah tersebut lalu terkenal dengan Jeron Dabag (dalam dabag atau benteng). Bersama pengikutnya yang disebut Laskar Sodewo dia melakukan perlawanan secara gerilya melawan Belanda. Rute gerilya yang pernah dilewati Ki Sodewo antara lain Panjatan, Milir, Beji, Sentolo, Pengasih, Brosot, Lendah, Nanggulan, Kalibawang, Bagelen dan Wates. Bagi rakyat Kulon progo pada masa itu Ki Sodewo adalah pahlawan, namun Belanda melakukan propaganda bahwa Ki Sodewo adalah pemimpin gerombolan perampok. Salah satunya tercatat dalam sejarah kabupaten Purworejo bahwa Ki Sodewo adalah sekutu penjahat bernama Amat Sleman pada tahun 1838 yang merupakan musuh dari Bupati Cakranegoro yang pro Belanda.
Darah Biru
Darah yang mengalir dalam diri Bagus Singlon memang penuh dengan kisah yang mewarnai babad para raja di tanah Jawa mulai abad 12 dari masa kerajaan Singasari sampai dengan ayahandanya Diponegoro. Menurut sejarah, Mahisa Wongateleng, salah satu anak dari Ken Dedes dan Ken Arok-lah yang menurunkan raja-raja penerus Singasari, Raja-raja Majapahit, Raja-raja Demak sampai Raja-Raja Mataram. Dari Raden Wijaya , Tribuwana Tunggadewi, Brawijaya, Ki Ageng Selo, Ki Ageng Pemanahan, Panembahan Senopati, Hamengku Buwono I, Hamengku Buwono II, Hamengkubuwono III adalah para simbah dan leluhur Ki Sodewo.
Mungkin sangat sedikit literature tentang Ibu Bagus Singlon, R. Ay. Citrowati yang menurunkan Bagus Singlon sebagai hasil pernikahan dengan Pangeran Diponegoro. Hanya sedikit diceritakan bahwa Ibu Bagus Singlon, turut dibunuh Belanda pada masa perjuangan. Sehingga Bagus Singlon dititipkan kepada Ki Tembi di Madiun. Kematian Ibunya dan semangat para simbah dan leluhur Bagus Singlonlah mungkin yang membakar jiwa kepahlawanan Bagus Singlon dalam membantu Pangeran Diponegoro mempertahankan martabat keluarga dan bangsanya.
Makam Seorang Pahlawan ?
Seperti diceritakan turun-temurun keluarga trah Ki Sodewo maupun buku dongeng rakyat Kulon Progo, kesaktian ilmu ‘pancasona bumi’ Ki Sodewo mampu membuatnya hidup kembali meskipun terbunuh selama raganya masih menyentuh bumi. Perjuangan Ki Sodewo berakhir ketika dikhianati, yaitu ketika rahasia kesaktiannya dibocorkan oleh adik seperguruan di Bagelen. Karena khawatir akan kesaktian Ki Sodewo, Belanda kemudian memenggal kepala Ki Sodewo dan kemudian tubuh dan kepalanya dimakamkan secara terpisah.
Makam tubuh Ki Sodewo berada di kota Wates. Namun pada saat Kota Wates dibangun, makam tersebut sempat dipindahkan. Pada saat hendak dipindahkan terdapat kendala ketika tidak seorangpun mampu memindahkan makam tersebut. Sehingga dicarilah keturunan Ki Sodewo untuk dimintai tolong memindahkan makam. Akhirnya salah satu keturunan Ki Sodewo yang bernama Mentoirono mampu memindahkannya ke makam Sideman.
Adapun petilasan makam kepala Ki Sodewo saat ini sungguh memprihatinkan. Menurut cerita turun temurun pada zaman Belanda kepala Ki Sodewo tidak dikebumikan namun disangga dengan bambu-bambu di atas perbukitan, yang kemudian dinamakan Gunung Songgo. Saat ini terdapat 2 versi cerita mengenai makam kepala Ki Sodewo. Versi pertama menyebutkan setelah dirasa aman kemudian Belanda memindahkan makam kepala tersebut menyatu dengan tubuhnya. Versi lainnya menyebutkan kepala telah dimakamkan di lokasi Gunung Songgo tersebut dengan hanya ditandai dengan beberapa buah batu bata. Sungguh memprihatinkan untuk ukuran seorang Putra Diponegoro yang ikut berjuang menjaga martabat Mataram.
versi lain, setelah keadaan aman beberapa pendukung Ki Sodewo menukar tubuh yg dimakamkan dan mengambil kepalanya untuk disatukan, Ki Sodewo hidup lagi. lalu lari ke timur membawa anak perempuannya. menyamar dan mengabdi pada bupati Magetan yang pro Belanda. sejak ada Ki Sodewo yang mengenalkan dirinya sebagai Ki Dekso para perampok yg menguasai wilayah itu tak lagi mengganggu wilayah Magetan. saat puteri nya beranjak dewasa sang bupati ingin mengambilnya menjadi selir namun karena Ki Dekso tidak menyetujui ia di penjarakan dan hendak diserahkan pada belanda. dengan berpura2 setuju dan hendak mempersiapkan puterinya untuk diserahkan Ki Dekso bisa kabur lalu menjemput dan membawa puterinya kabur pula. saat itu bupati telah memanggil pasukan belanda untuk mengejar Ki Sodewo. Ki Sodewo yg berjakan kaki bersama puterinya tak bisa cepat dan terkejar di dekat perbatasan desa Temboro dalam jarak belasan langkah si penembak sudah siap dengan senapannya di belakang Ki Dekso alias KI Sodewo. Ki Sodewo telah putus asa untuk bertahan mengambil sebatang tebu dari dekat situ, wilayah Temboro dipenuhi kebun tebu. saat Ki Dekso menoleh si penembak melihat wajahnya yg sangat dikenalnya tak lain adalah Ki Sodewo yang pernah dirobohkannya dengan peluru emas lalu dipenggal kepalanya di depan matanya. bahkan sebelum2nya ia juga pernah menembak jatuh orang yg ada di depannya itu, ia tahu benar kehebatan Ki Sodewo . serta merta ia dan pasukannya mengurungkan niatnya lalu balik kanan lari. orang2 sekitar mengira tebu yg dibawa Ki Dekso itulah yg membuat pengejarnya lari dikatakan tebu itu menyala seperti tombak sakti yang siap menyerang. sejak para pengejar kembali ke barat pencarian Ki Sodewo diteruskan beberapa penyerbuan ke desa2 wilayah Magetan dilakukan lagi.
orang2 di lingkungan kabupaten Magetan saat itu banyak keliru menyebut keberadaan Ki Sodewo yang mengaku sebagai Ki Dekso sering diucapkan Jekso, mbah Jekso, orang mengira di Magetan ada seorang jaksa di jaman itu. ( oleh - keturunan mbah Dekso di Timur ) wallahualam bishshawab....
Kisah versi lain yang serupa....
Sejarah Perjuangan Raden Mas Singlon atau Ki Sodewo
Dikenal di kalangan masyarakat petani di wilayah Kulon Progo sebagai pembela kepentingan rakyat kecil di jaman penjajahan pemerintah Kolonial Belanda. Tetapi pada jamannya, Ki Sodewo dan keturunan serta para pengikutnya oleh pemerintah Kolonial disebut sebagai perampok dan pemberontak. Pemerintah Kolonial selalu mempropagandakan kepada masyarakat dan kaum bangsawan di istana Mataram bahwa Ki Sodewo dan anak turunnya adalah perampok dan pembunuh kejam yang harus dikucilkan dan dimusuhi. Bahkan pemerintah Kolonial akan memberikan hadiah yang sangat besar bagi siapa saja yang bisa menyerahkan Ki Sodewo dan anak turunnya serta para pembantunya baik dalam keadaan hidup maupun mati.
Karena dianggap perampok dan pemberontak maka Ki Sodewo berusaha menyembunyikan identitas keluarga dan lokasinya. Ki Sodewopun tidak pernah menetap di satu tempat, tetapi selalu hidup berpindah-pindah sambil terus melakukan perang gerilya. Nama Ki Sodewo dikenal oleh kalangan generasi tua di wilayah Samigaluh, Nanggulan, Kalibawang, Sentolo, Panjatan, Lendah, Wates, Pengasih, Girimulyo, Kokap dan Bagelen. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan peta perang gerilya yang dilakukan Ki Sodewo.
Anggapan perampok dan pemberontak membuat trah Ki Sodewo tidak berani tampil secara terbuka untuk menunjukkan identitas diri. Sebab pada saat itu mata-mata pemerintah Kolonial berada di mana-mana. Di setiap keramaian seperti di pasar maupun tontonan, pemerintah Kolonial selalu mengumumkan sayembara berhadiah bagi yang bisa menyerahkan atau memberi informasi keberadaan Ki Sodewo dan keturunannya. Masyarakat luas yang tidak mengetahuipun akhirnya banyak yang terpengaruh dan menganggap bahwa Ki Sodewo adalah penjahat.
Di pasar-pasar atau di setiap pertemuan, Ki Sodewo semakin menjadi pembicaraan yang hangat dengan pro dan kontranya. Yang pro Sodewo mengatakan bahwa Ki Sodewo adalah pembela masyarakat kecil, sedangkan yang tidak tahu menahu dan yang kontra mengatakan bahwa Ki Sodewo adalah penjahat dan harus dimusuhi. Hal ini semakin mempersempit ruang gerak keturunan Ki Sodewo dalam menjalin komunikasi satu dan yang lainnya baik dalam menjalankan tali silaturahmi maupun dalam menjalankan tugas membantu Ki Sodewo untuk mengusir penjajah Belanda.
Dikenal di kalangan masyarakat petani di wilayah Kulon Progo sebagai pembela kepentingan rakyat kecil di jaman penjajahan pemerintah Kolonial Belanda. Tetapi pada jamannya, Ki Sodewo dan keturunan serta para pengikutnya oleh pemerintah Kolonial disebut sebagai perampok dan pemberontak. Pemerintah Kolonial selalu mempropagandakan kepada masyarakat dan kaum bangsawan di istana Mataram bahwa Ki Sodewo dan anak turunnya adalah perampok dan pembunuh kejam yang harus dikucilkan dan dimusuhi. Bahkan pemerintah Kolonial akan memberikan hadiah yang sangat besar bagi siapa saja yang bisa menyerahkan Ki Sodewo dan anak turunnya serta para pembantunya baik dalam keadaan hidup maupun mati.
Karena dianggap perampok dan pemberontak maka Ki Sodewo berusaha menyembunyikan identitas keluarga dan lokasinya. Ki Sodewopun tidak pernah menetap di satu tempat, tetapi selalu hidup berpindah-pindah sambil terus melakukan perang gerilya. Nama Ki Sodewo dikenal oleh kalangan generasi tua di wilayah Samigaluh, Nanggulan, Kalibawang, Sentolo, Panjatan, Lendah, Wates, Pengasih, Girimulyo, Kokap dan Bagelen. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan peta perang gerilya yang dilakukan Ki Sodewo.
Anggapan perampok dan pemberontak membuat trah Ki Sodewo tidak berani tampil secara terbuka untuk menunjukkan identitas diri. Sebab pada saat itu mata-mata pemerintah Kolonial berada di mana-mana. Di setiap keramaian seperti di pasar maupun tontonan, pemerintah Kolonial selalu mengumumkan sayembara berhadiah bagi yang bisa menyerahkan atau memberi informasi keberadaan Ki Sodewo dan keturunannya. Masyarakat luas yang tidak mengetahuipun akhirnya banyak yang terpengaruh dan menganggap bahwa Ki Sodewo adalah penjahat.
Di pasar-pasar atau di setiap pertemuan, Ki Sodewo semakin menjadi pembicaraan yang hangat dengan pro dan kontranya. Yang pro Sodewo mengatakan bahwa Ki Sodewo adalah pembela masyarakat kecil, sedangkan yang tidak tahu menahu dan yang kontra mengatakan bahwa Ki Sodewo adalah penjahat dan harus dimusuhi. Hal ini semakin mempersempit ruang gerak keturunan Ki Sodewo dalam menjalin komunikasi satu dan yang lainnya baik dalam menjalankan tali silaturahmi maupun dalam menjalankan tugas membantu Ki Sodewo untuk mengusir penjajah Belanda.
***
Terlahir dengan nama Raden Mas Singlon tahun 1810 di wilayah Madiun. Tumbuh dan besar dalam asuhan Ki Tembi yang mengajarkan padanya ilmu bela diri dan keagamaan yang sangat kuat.
Dalam keterampilan ilmu bela diri Raden Mas Singlon pandai menggunakan segala macam jenis senjata perang, seperti cemeti, pedang, tombak, panah dan sebagainya. Raden Mas Singlon juga rajin menjalankan semadi serta ritual untuk menambah ilmu kekebalan tubuh serta ajian-ajian kanuragan. Kepribadiannya semakin kuat dengan menjalankan ajaran-ajaran agama Islam.
Prinsip-prinsip keberanian, kejujuran dan kepemimpinan mengalir dalam tubuh Raden Mas Singlon hingga dia menjadi seorang remaja yang ideal pada jamannya. Ia menjadi pemuda yang sangat disegani dan menjadi teladan bagi teman-teman sepergaulan. Keberaniannya dalam membela kebenaran membuat dia memiliki banyak teman dan lawan. Raden Mas Singlon menjadi teman bagi orang yang tertindas tetapi akan menjadi lawan bagi orang yang berjiwa serakah.
Ketika telah mencapai usia dewasa dan matang dalam berfikir Raden Mas Singlon bertanya pada Ki Tembi pengasuhnya, siapakah ayah dan ibunya. Ki Tembi kemudian menceritakan bahwa Raden Mas Singlon adalah Putra dari Raden Ontowiryo atau Gusti Bendoro Pangeran Haryo Diponegoro sedangkan ibundanya adalah Bendoro Raden Ayu Citrowati Sosrodirjo putri Raden Rangga Prawirodirjo III bupati Madiun, namun Ibundanya telah wafat pada saat pasukan Jawa-Belanda pimpinan Tumenggung Sumonegoro menyerbu Madiun tahun 1810 ketika Raden Mas Singlon masih bayi. Ki Tembi mengatakan bahwa nenek moyang Raden Mas Singlon memang orang-orang yang sangat anti terhadap Pemerintah Kolonial Belanda. Itu terjadi sejak jaman kerajaan Mataram dipimpin oleh Sultan Agung.
Kemudian Ki Tembi menceritakan bahwa Gusti Bendoro Pangeran Haryo Diponegoro adalah putra yang lahir tertua dari Sri Sultan Hamengubowono III yang bertahta di Ngayogyokarto Hadiningrat. Pangeran Diponegoro saat ini sedang melaksanakan perang gerilya untuk mengusir penjajah Belanda di hampir seluruh Tanah Jawa. Pangeran Diponegoro lebih memilih berada di tengah-tengah rakyat yang menderita daripada duduk di singgasana menggantikan ayahandanya.
Untuk menghindari sergapan tentara Belanda, Pangeran Diponegoro bersama laskarnya melakukan taktik perang gerilya, yaitu perang dengan medan yang berpindah-pindah. Itulah sebabnya Pangeran Diponegoro menitipkan Raden Mas Singlon kepadanya dengan tujuan agar tidak diketahui oleh pasukan Belanda.
Menangis hati Raden Mas Singlon mendengar cerita Ki Tembi. Dia marah karena ibundanya telah wafat di tangan pasukan Belanda. Jiwa mudanya bergolak untuk ikut menghancurkan pasukan Belanda bersama ayahandanya.
Dengan tekad bulat untuk membantu ayahandanya maka berangkatlah Raden Singlon bersama Ki Tembi mencari Pangeran Diponegoro dengan cara mengikuti peta perang gerilya dari Serang, Sukowati, Pacitan, Prambanan dan Yogyakarta. Ketika sampai di ndalem Tegalrejo tempat tinggal resmi Pangeran Diponegoro, di dapatinya tempat itu telah kosong karena baru saja diserang oleh pasukan Belanda. Telik sandi atau mata-mata Pangeran Diponegoro lalu memberikan informasi kepada keduanya bahwa Kanjeng Pangeran Diponegoro sedang mesanggrah di Goa Selarong di arah selatan kota kerajaan Ngayogyokarto. Goa Selarong sendiri terletak di daerah perbukitan di dekat hulu kali Bedhog.
Raden Mas Singlon bersama Ki Tembi bergegas menuju Selarong. Tetapi sesampainya di sana yang didapati hanyalah sisa-sisa pertempuran. Raden Singlon dan Ki Tembi mengikuti jejak-jejak pasukan Pangeran Diponegoro melalui Pajangan dan menyeberang ke Lendah di seberang sungai Progo. Sambil menunggu saat yang tepat untuk bertemu dengan Pangeran Diponegoro, oleh Ki Tembi Raden Mas Singlon dititipkan kepada Kyai Gothak di Panjatan. Di sinilah Raden Mas Singlon mempelajari ilmu kanuragan, ilmu agama dan ilmu kepemimpinan lebih dalam.
Raden Mas Singlon kemudian mengajak Ki Tembi menghadap Pangeran Diponegoro setelah mendapatkan bisikan gaib dalam pertapaannya. Dalam pertapaannya, Raden Mas Singlon mendapatkan bisikan untuk menghadap seorang raja yang sangat dicintai rakyat. Pada saat itu memang Pangeran Diponegoro oleh pengikutnya diangkat sebagai raja dengan gelar Sultan Herucakra Senopati Hing Ngalogo Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah pada tahun 1826. Pengangkatan dilaksanakan di Dekso, sebuah daerah di Kulon Progo yang juga merupakan wilayah perang Pangeran Diponegoro.
Setelah menghadap Pangeran Diponegoro, Ki Tembi menyampaikan maksud kedatangannya yaitu mengantar Raden Mas Singlon putera Pangeran Diponegoro dari Garwo Ampeyan Bendoro Raden Ayu Citrowati Putri Raden Rangga III dari Madiun. Pangeran Diponegoro menyambut dengan senang hati kedatangan putranya yang lama ditinggalkan untuk menjalankan perang gerilya. Pangeran Diponegoro semakin senang setelah melihat bahwa Raden Mas Singlon memiliki jiwa dan kesaktian yang hebat. Saat itu pula Raden Mas Singlon lalu dikukuhkan sebagai salah satu senopati perang untuk memimpin pasukan melawan Belanda dan diberi nama Raden Mas Notodirjo.
Kesaktian yang dimiliki tidak membuat Raden Mas Singlon puas. Setiap mendengar ada perguruan, beliau selalu datang dan menuntut ilmu. Di Bagelen Purworejo, Raden Mas Singlon berguru dan mendapatkan ilmu Pancasona Bumi, suatu ilmu kedigjayaan yang apabila dimiliki oleh seseorang maka dia tidak bisa mati bila badan dan kepalanya masih bersentuhan dengan tanah. Raden Mas Singlon juga berguru kepada Ki Josuto di wilayah yang sekarang terkenal dengan nama Josutan.
Kehebatan Raden Mas Singlon dalam berperang membuat Pangeran Diponegoro kagum. Pangeran diponegoro melihat puteranya bertempur bagaikan seorang dewa, itulah sebabnya Raden Mas Singlon mendapatkan julukan Ki Sodewo singkatan dari Laksono Dewo yang berarti laki-laki bagaikan dewa.
Selain menguasai ilmu agama dan ilmu beladiri, Ki Sodewo juga seorang ahli strategi perang. Ki Sodewo selalu menyerang patroli Belanda dari tempat-tempat yang strategis. Ki Sodewo menguasai perbukitan Gothakan tepi aliran sungai Serang di wilayah Giripeni. Di wilayah tepian sungai inilah Ki Sodewo sempat membuat sebuah pesanggrahan untuk menyembunyikan keluarganya. Tempatnya sangat strategis karena dikelilingi oleh sungai dan sebelah timur adalah bukit Gothakan.
Setelah tertangkapnya Pengeran Diponegoro, maka Ki Sodewo bersama laskarnya meneruskan perjuangan melawan Belanda. Ki Sodewo tidak mengenal kata berunding dengan pemerintah Belanda. Status keningratannyapun telah ditanggalkan agar dirinya bebas bergerak tanpa ikatan dengan istana pada waktu itu. Kekejaman Ki Sodewo dalam membantai musuh-musuh rakyat sangat ditakuti Belanda. Tumbak, Cemeti, Panah dan Keris Ki Sodewo selalu memakan korban di setiap pertempuran.
Daerah-daerah yang pernah dijadikan medan pertempuran oleh Pangeran Diponegoro, sebagian besar telah berada dalam genggaman Ki Sodewo. Sayang, penghianat telah berhasil mengetahui kelemahan Ki Sodewo dan akhirnya dengan kekayaan dan uang, informasi kelemahan Ki Sodewo bisa di beli oleh Belanda.
Ki Sodewo gugur dalam sebuah pertempuran di sungai Serang setelah kepalanya dipisahkan dari badannya. Badan Ki Sodewo di makamkan di sebelah Utara Pasar Wates, sedangkan kepalanya di letakkan di sebuah songgo yang ditancapkan di sebuah bukit di Kaliagung, Sentolo. Kini bukit itu terkenal dengan nama gunung Songgo.
Dalam keterampilan ilmu bela diri Raden Mas Singlon pandai menggunakan segala macam jenis senjata perang, seperti cemeti, pedang, tombak, panah dan sebagainya. Raden Mas Singlon juga rajin menjalankan semadi serta ritual untuk menambah ilmu kekebalan tubuh serta ajian-ajian kanuragan. Kepribadiannya semakin kuat dengan menjalankan ajaran-ajaran agama Islam.
Prinsip-prinsip keberanian, kejujuran dan kepemimpinan mengalir dalam tubuh Raden Mas Singlon hingga dia menjadi seorang remaja yang ideal pada jamannya. Ia menjadi pemuda yang sangat disegani dan menjadi teladan bagi teman-teman sepergaulan. Keberaniannya dalam membela kebenaran membuat dia memiliki banyak teman dan lawan. Raden Mas Singlon menjadi teman bagi orang yang tertindas tetapi akan menjadi lawan bagi orang yang berjiwa serakah.
Ketika telah mencapai usia dewasa dan matang dalam berfikir Raden Mas Singlon bertanya pada Ki Tembi pengasuhnya, siapakah ayah dan ibunya. Ki Tembi kemudian menceritakan bahwa Raden Mas Singlon adalah Putra dari Raden Ontowiryo atau Gusti Bendoro Pangeran Haryo Diponegoro sedangkan ibundanya adalah Bendoro Raden Ayu Citrowati Sosrodirjo putri Raden Rangga Prawirodirjo III bupati Madiun, namun Ibundanya telah wafat pada saat pasukan Jawa-Belanda pimpinan Tumenggung Sumonegoro menyerbu Madiun tahun 1810 ketika Raden Mas Singlon masih bayi. Ki Tembi mengatakan bahwa nenek moyang Raden Mas Singlon memang orang-orang yang sangat anti terhadap Pemerintah Kolonial Belanda. Itu terjadi sejak jaman kerajaan Mataram dipimpin oleh Sultan Agung.
Kemudian Ki Tembi menceritakan bahwa Gusti Bendoro Pangeran Haryo Diponegoro adalah putra yang lahir tertua dari Sri Sultan Hamengubowono III yang bertahta di Ngayogyokarto Hadiningrat. Pangeran Diponegoro saat ini sedang melaksanakan perang gerilya untuk mengusir penjajah Belanda di hampir seluruh Tanah Jawa. Pangeran Diponegoro lebih memilih berada di tengah-tengah rakyat yang menderita daripada duduk di singgasana menggantikan ayahandanya.
Untuk menghindari sergapan tentara Belanda, Pangeran Diponegoro bersama laskarnya melakukan taktik perang gerilya, yaitu perang dengan medan yang berpindah-pindah. Itulah sebabnya Pangeran Diponegoro menitipkan Raden Mas Singlon kepadanya dengan tujuan agar tidak diketahui oleh pasukan Belanda.
Menangis hati Raden Mas Singlon mendengar cerita Ki Tembi. Dia marah karena ibundanya telah wafat di tangan pasukan Belanda. Jiwa mudanya bergolak untuk ikut menghancurkan pasukan Belanda bersama ayahandanya.
Dengan tekad bulat untuk membantu ayahandanya maka berangkatlah Raden Singlon bersama Ki Tembi mencari Pangeran Diponegoro dengan cara mengikuti peta perang gerilya dari Serang, Sukowati, Pacitan, Prambanan dan Yogyakarta. Ketika sampai di ndalem Tegalrejo tempat tinggal resmi Pangeran Diponegoro, di dapatinya tempat itu telah kosong karena baru saja diserang oleh pasukan Belanda. Telik sandi atau mata-mata Pangeran Diponegoro lalu memberikan informasi kepada keduanya bahwa Kanjeng Pangeran Diponegoro sedang mesanggrah di Goa Selarong di arah selatan kota kerajaan Ngayogyokarto. Goa Selarong sendiri terletak di daerah perbukitan di dekat hulu kali Bedhog.
Raden Mas Singlon bersama Ki Tembi bergegas menuju Selarong. Tetapi sesampainya di sana yang didapati hanyalah sisa-sisa pertempuran. Raden Singlon dan Ki Tembi mengikuti jejak-jejak pasukan Pangeran Diponegoro melalui Pajangan dan menyeberang ke Lendah di seberang sungai Progo. Sambil menunggu saat yang tepat untuk bertemu dengan Pangeran Diponegoro, oleh Ki Tembi Raden Mas Singlon dititipkan kepada Kyai Gothak di Panjatan. Di sinilah Raden Mas Singlon mempelajari ilmu kanuragan, ilmu agama dan ilmu kepemimpinan lebih dalam.
Raden Mas Singlon kemudian mengajak Ki Tembi menghadap Pangeran Diponegoro setelah mendapatkan bisikan gaib dalam pertapaannya. Dalam pertapaannya, Raden Mas Singlon mendapatkan bisikan untuk menghadap seorang raja yang sangat dicintai rakyat. Pada saat itu memang Pangeran Diponegoro oleh pengikutnya diangkat sebagai raja dengan gelar Sultan Herucakra Senopati Hing Ngalogo Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah pada tahun 1826. Pengangkatan dilaksanakan di Dekso, sebuah daerah di Kulon Progo yang juga merupakan wilayah perang Pangeran Diponegoro.
Setelah menghadap Pangeran Diponegoro, Ki Tembi menyampaikan maksud kedatangannya yaitu mengantar Raden Mas Singlon putera Pangeran Diponegoro dari Garwo Ampeyan Bendoro Raden Ayu Citrowati Putri Raden Rangga III dari Madiun. Pangeran Diponegoro menyambut dengan senang hati kedatangan putranya yang lama ditinggalkan untuk menjalankan perang gerilya. Pangeran Diponegoro semakin senang setelah melihat bahwa Raden Mas Singlon memiliki jiwa dan kesaktian yang hebat. Saat itu pula Raden Mas Singlon lalu dikukuhkan sebagai salah satu senopati perang untuk memimpin pasukan melawan Belanda dan diberi nama Raden Mas Notodirjo.
Kesaktian yang dimiliki tidak membuat Raden Mas Singlon puas. Setiap mendengar ada perguruan, beliau selalu datang dan menuntut ilmu. Di Bagelen Purworejo, Raden Mas Singlon berguru dan mendapatkan ilmu Pancasona Bumi, suatu ilmu kedigjayaan yang apabila dimiliki oleh seseorang maka dia tidak bisa mati bila badan dan kepalanya masih bersentuhan dengan tanah. Raden Mas Singlon juga berguru kepada Ki Josuto di wilayah yang sekarang terkenal dengan nama Josutan.
Kehebatan Raden Mas Singlon dalam berperang membuat Pangeran Diponegoro kagum. Pangeran diponegoro melihat puteranya bertempur bagaikan seorang dewa, itulah sebabnya Raden Mas Singlon mendapatkan julukan Ki Sodewo singkatan dari Laksono Dewo yang berarti laki-laki bagaikan dewa.
Selain menguasai ilmu agama dan ilmu beladiri, Ki Sodewo juga seorang ahli strategi perang. Ki Sodewo selalu menyerang patroli Belanda dari tempat-tempat yang strategis. Ki Sodewo menguasai perbukitan Gothakan tepi aliran sungai Serang di wilayah Giripeni. Di wilayah tepian sungai inilah Ki Sodewo sempat membuat sebuah pesanggrahan untuk menyembunyikan keluarganya. Tempatnya sangat strategis karena dikelilingi oleh sungai dan sebelah timur adalah bukit Gothakan.
Setelah tertangkapnya Pengeran Diponegoro, maka Ki Sodewo bersama laskarnya meneruskan perjuangan melawan Belanda. Ki Sodewo tidak mengenal kata berunding dengan pemerintah Belanda. Status keningratannyapun telah ditanggalkan agar dirinya bebas bergerak tanpa ikatan dengan istana pada waktu itu. Kekejaman Ki Sodewo dalam membantai musuh-musuh rakyat sangat ditakuti Belanda. Tumbak, Cemeti, Panah dan Keris Ki Sodewo selalu memakan korban di setiap pertempuran.
Daerah-daerah yang pernah dijadikan medan pertempuran oleh Pangeran Diponegoro, sebagian besar telah berada dalam genggaman Ki Sodewo. Sayang, penghianat telah berhasil mengetahui kelemahan Ki Sodewo dan akhirnya dengan kekayaan dan uang, informasi kelemahan Ki Sodewo bisa di beli oleh Belanda.
Ki Sodewo gugur dalam sebuah pertempuran di sungai Serang setelah kepalanya dipisahkan dari badannya. Badan Ki Sodewo di makamkan di sebelah Utara Pasar Wates, sedangkan kepalanya di letakkan di sebuah songgo yang ditancapkan di sebuah bukit di Kaliagung, Sentolo. Kini bukit itu terkenal dengan nama gunung Songgo.
0 komentar: